RINGKASAN BUKU FILSAFAT ILMU
(SUMMARY OF THE BOOK PHILOSOPHY OF SCIENCE)*
A. ONTOLOGI
ILMU PENGETAHUAN (HAKIKAT APA YANG DIKAJI)
Kajian ontologis merupakan telaahan secara
filsafat yang ingin menjawab pertanyaan tentang obyek apa yang ditelaah oleh
ilmu, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, bagaimana hubungan
antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan. Secara umum semua pengetahuan apakah
itu ilmu, seni atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai landasan
ontologis ini. Yang berbeda adalalah materi perwujudannya serta sejauhmana
landasan ontologis ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua
pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis lebih jauh
berkembang dibanding pengetahuan lainnya dan dilaksanakan secara konsekuen dan
penuh disiplin. Sehingga dari pengertian inilah berkembang pengertian ilmu
sebagai disiplin yaitu pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan
aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.
Bidang
telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika merupakan landasan untuk
menelaah pemikiran filsafat. Dalam metafisika terdapat beberapa
tafsiran-tafsiran. Tafsiran pertama diberikan oleh manusia terhadap alam ini
adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan
wujud-wujud ini lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang
nyata. Salah satu kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatural ini
adalah paham animisme yang merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam
sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan saat ini masih dipeluk oleh
beberapa masyarakat di muka bumi. Paham animisme percaya bahwa terdapat roh-roh
yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda yang seperti batu, pohon,
air terjun dan sebagainya.
Tafsiran
kedua sebagai lawan dari supernatural maka terdapat paham naturalisme yang
menolak pendapat bahwa wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme
yang rmerupakan paham naturalisme ini berpendapat bahwa gejala-gejala alam
tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang gaib, melainkan oleh kekuatan yang
terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian
dapat diketahui. Prinsip-prinsip materialisme ini dikembangkan oleh Democritos
(460-370 SM) yang mengembangkan teori tentang atom yang dipelajari dari gurunya
Leucippus. Menurut Democritos, unsur dasar dari alam adalah sebuah atom.
Democritos menyatakan bahwa hanyapa berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis,
panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Dalam kenyataan hanya
terdapat atom dan kehampaan, artinya obyek dari penginderaan sering kita anggap
nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat
nyata. Dengan perkataan lain, manis, panas, dingin atau warna adalah
terminologi yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat panca
indera. Rangsangan pancaindera ini disalurkan ke otak kita dan menghadirkan
gejala tersebut. Dengan demikian maka gejala alam dapat didekati dari segi
proses kimia-fisika yang diterapkan kepada zat-zat yang mati seperti batuan dan
lain-lain.
Sedangkan
bagi manusia, terdapat perbedaan pendapat antara penganut paham mekanistik dan
paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk manusia) hanya
merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik makhluk
hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses
mekanistik tersebut. Menurut kaum vitalistik bahwa manusia mempunyai pikiran dan
kesadaran yang bersumber dari otak manusia yang menghasilkan pengetahuan
tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun apakah kebenaran hakikat pikiran
tersebut apakah dia berbeda dengan zat yang ditelaahnya ataukah bentuk lain
dari zat tersebut. Dalam hal ini maka aliran monistik mempunyai pendapat yang
tidak membedakan antara pikiran dan zat, mereka hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama, dengan
kata lain proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
Berbeda
hanya dengan paham dualistik yang berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh
pikiran termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia adalah bersifat
mental, yang bersifat nyata adalah pikiran sebab berpikirlah maka sesuatu
lantas ada : Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) yang dikemukakan
oleh Rene Descartes. Dalam metafisika maka penafsiran dualistik membedakan
antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara substantif. Pikiran
manusia dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin di mana pengalaman indera
kemudian melengket pada lempeng tersebut yang makin lama makin banyak
pengalaman yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman indera ini seterusnya
membuahkan ide yang kian lama kian rumit. sehingga pikiran dapat diibaratkan
sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera. Dengan demikian,
pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh
kaitannya tergantung dari manusia itu sendiri. Ilmu merupakan pengetahuan yang
mencoba menafsirkan alam semesta ini sebagaimana adanya. Semakin jauh kita
menjelajahinya maka semakin banyak masalah-masalah yang timbul yang pada
akhirnya dari masalah tersebut menghasilkan ilmu atau pengetahuan yang berasal
dari kesadaran mental atau dari rangsangan penginderaan manusia.
Ilmu
memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Hal-hal yang terjadi sebelum manusia hidup dan setelah
kematian manusia semua itu berada di luar penjelajahan ilmu. Ilmu membatasi
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia terletak pada fungsi ilmu dalam
kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Selain itu ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris
melalui pembuktian secara metodologis. Ruang penjelajahan ilmu kemudian menjadi
kapling-kapling berbagai disiplin ilmu. Pada fase permulaan hanya terdapat
ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral
philosophy) yang kemudian berkembang menjadi cabang-cabang keilmuan.
Ilmu
berkembang dengan sangat pesat demikian pula dengan cabang-cabangnya. Hasrat
untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan
analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan obyek forma (obyek
ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Hingga saat ini telah
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan yang pada mulanya berasal dari dua
rumpun ilmu yaitu ilmu alam dan ilmu sosial.
B. EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN (CARA
MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR)
1 . Perkembangan Metode Ilmiah
Setiap jenis pengetahuan mempunyai
ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan
untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut tersusun. Ketiga landasan ini saling
bekaitan; sehingga ontologi ilmu terkait dengan epistemologi dan epistemologi
terkait dengan aksiologi ilmu. Jadi, jika kita ingin membicarakan epistemologi
ilmu, maka kita harus kaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Ilmu
mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman
manusia. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu untuk menjawab permasalahan
kehidupan sehari-hari yang dihadapi manusia. Pengetahuan ilmiah atau ilmu dapat
diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapinya. Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi ilmu maka bagaimana
sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang baik. Landasan
epistimologi pada dasarnya bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
mempertibangkan aspek ontologis dan aksiologis masing-masing. Masalah yang
dihadapi epistemogi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar
untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan dalam
kehidupan manusia.
Sejak
dahulu kala, manusia telah berusaha untuk menjelaskan alam dengan memperhatikan
berbagai kekuatan dan gejala-gejala alam yang berada di sekelilingnya seperti
hujan, banjir, topan, gempa bumi, letusan gunung berapi dan sebagainya. Mereka
tidak berdaya menghadapi kekuatan yang sangat dahsyat dan dianggapnya sebagai
kekuatan yang luar biasa sehingga mereka mencoba untuk mengaitkannya dengan
makhluk yang luar biasa dan berkembanlah berbagai mitos tentang para dewa
dengan berbagai kesaktian dan perangainya. Munculah dewa-dewa yang dipersamakan
dengan gejala-gejala alam yang terjadi sehingga untuk mencegah malapetaka yang
diakibatkan oleh kelakuan para dewa tersebut, manusia melakukan suatu ritual
dengan menyiapkan persembahan atau sajian yang diperuntukan kepada dewa-dewa
sehingga malapetaka akibat gejala alam tersebut dapat dihindari. Dalam
perkembangan kebudayaan manusia, manusia mulai mencoba menafsirkan dunia
terlepas dari mitos-mitos yang berkembang pada masa sebelumnya. Manusia mulai
mempelajari alam dan mulai mengembangkan pengetahuan berdasarkan pengalaman
yang mempunyai kegunaan praktis seperti untuk mempuat tanggul, bercocok tanam
atau menbasmi hama. Berkembanglah pengetahuan yang berakar pada pengalaman
berdasarkan akal sehat yang didukung oleh metode mencoba-coba (tial and
eror).
Perkembangan berdasarkan pengalaman menyebabkan
tumbuhnya pengetahuan yang disebut seni terapan (applied arts) yang
mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan sehari-hari disamping seni halus (fine
arts). Sebagai contoh peradaban Mesir kuno sekitar 3000 tahun SM telah
mengembangkan irigasi dan dapat meramalkan gerhana. Demikian pula peradaban
lain seperti Cina dan India terkenal dengan perkembangan seni terapan yang
tinggi. Di Indonesia dapat dilihat pada masa kejayaan kerajaan Majapahit dan
Sriwijaya yang telah mampu membuat kapal-kapal untuk melayari samudera selain
bangunan-bangunan candi-candi yang merupakan bukti sejarah ketinggian mutu
arsitektur pada zaman tersebut. Seni pada hakikatnya mempunyai dua ciri yaitu
deskriptif-fenomologis dan ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif seni mencerminkan
proses pengkajian yang menitikberatkan pada gejala-gejala yang bersifat empiris
tanpa kecenderungan untuk mengembangkan postulat yang bersifat teoritis.
Sehingga perkembangan seni terapan sangat tergantung pada pengembangan
pengetahuan yang menggunakan seni terapan tersebut apakah bersifat kuantitatif
atau kualitatif. Pada pengembangan yang bersifat kualitatif lebih mengembangkan
konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis yang selanjutnya
dijadikan tumpuan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah.
Selain
perkembangan dengan menggunakan akal sehat dan coba-coba, perkembangan
selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalitas yang secara kritis mempermasalahkan
dasar-dasar pikiran yang bersiat mitos. Menurut Popper maka tahap ini adalah
penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya
tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin
yang digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang
masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang berifat kritis.
Namun terdapat kelemahan dalam berpikir rasional sehingga memunculkan metode
eksperimen yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan
islam antara abad IX dan XII Masehi yang meneruskan semangat mencari kebenaran
yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani yang hampir padam sejak jatuhnya
kekaisaran Romawi. Metode eksperimen dimulai oleh ahli-ahli kimia didorong oleh
tujuan untuk mendapatkan obat ajaib untuk awet muda dan rumus membuat emas dari
logam biasa. Kemudian metode eksperimen diperkenalkan di dunia barat oleh
filsuf Roger Bacon (1214-1294 M) dan berhasil menyakinkan masyarakat ilmuwan
untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah.
Pengembangan
metode eksperimen mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat
diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau
tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara
berpikir deduktif dengan induktif. Dengan berkembangya metode ilmiah dan
diterimanya metode eksperimen sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka
sejarah manusia menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Ilmu
mendaptkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan terus mengalami
perkembangan. Gejala ini tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah
memanfaatkan kelebihan metode-metode berpikir yang ada dan mencoba untuk
memperkecil kekurangannya. Pengatahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab
pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat
melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk
dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu sajs tidak semua masalah
dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya manusia masih memerlukan
pengetahuan lain untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya sebab bagaianapun
majunya ilmu secara hakiki masih terbatas dan tidak lengkap untuk menjawab
permasalahan yang dialami manusia.
2. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu demikian juga sebaliknya, ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode ilmiah. Tidak
semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu karena ilmu didapatkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah.
Menurut Senn, metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan
pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Secara
filsafati metodologi termasuk epistemologi yang merupakan pembahasan bagaimana
kita mendapatkan ilmu pengetahuan, apakah sumber pengetahuan, apakah hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan, apakah manusia dimungkinkan untuk
mendapatkan pengetahuan, sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin ditangkap
oleh manusia.
Metode
ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran, dengan cara bekerja
ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai
karakteristik-kerakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu
sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya
merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah
mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam
membangun tubuh pengetahuannya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian maka
ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik
sebab penemuan dengan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai rumah atau
batu bata yang tercerai-berai.
Menurut
Ritchie Calder, proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu
sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan yang disebabkan oleh adanya
kontak manusia dengan dunia empiris. Dapat disimpulkan bahwa karena ada masalah
maka proses kegiatan berpikir ilmiah dimulai dan karena masalah ini berasal
dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada obyek yang
bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris pula. Perkembangan cara
berpikir manusia dalam menghadapi masalah oleh Van Peursen dibagi menjadi tiga
kebudayaan yaitu pertama tahap mistis adalah sikap yang merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib, kedua tahap ontologis adalah sikap yang
tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan gaib dan bersikap
mengambil jarak dari obyek yang ada disekitarnya serta mulai melakukan
penelaahan terhadap obyek tersebut, dan ketiga tahap fungsional adalah sikap
yang telah terbebas dari kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan
penelaahan terhadap obyek di sekitarnya, namun lebih dari itu dia
memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.
Secara
rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan
fakta dengan yang tidak. Maka teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama,
yaitu pertama harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan
tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan
kedua, harus sesuai dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun
konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan
antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisme
hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Oleh sebab
itu jika belum teruji kebenarannya secara empris, semua penjelasan rasional
yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara atau disebut dengan
hipotesis.
Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi yang
membantu kita dalam melakukan penyelidikan untuk melakukan verifikasi apakah
jawaban itu benar atau tidak. Hipotesis pada dasarnya disusun secara deduktif
dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui
sebelumnya. Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam
mengembangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan efek kumulatif dalam
kemajuan ilmu. Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka
metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verivikasi
atau menurut Tyndall sebagai perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi
dan induksi. Proses penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka
permasalahan yang bereksistensi secara empiris dengan pengamatan kita yang
turut mempengaruhi proses berpikir deduktif. Kegiatan ini akan mendekatkan
hipotesis yang kita susun denga dunia fisik yang secara teoritis memperbesar
peluang bagi hipotesis tersebut untuk diterima.
Selanjutnya
setelah menyusun hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan
mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata. Langkah sementara yakni
menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan
verifikasi terhadap hipotesis tersebut. Proses pengujian ini merupakan
pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan yang dapat kita
lakukan secara langsung dengan panca indera atau dengan bantuan alat atau
instrumen pembantu panca indera. Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi
vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-pernyataan yang dikandungnya
dapat diterima kebenarannya atau tidak secara ilmiah. Seorang ilmuwan pada
mulanya bersikap skeptis yang selalu meragukan sesuatu. Secara sederhana proses
berpikir seorang ilmuwan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai dengan
ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya.
Alur
berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa
langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir
ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut yaitu : Pertama,
perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris dan
faktor-faktor yang terkait, Kedua, penyusunan kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan antara berbagai
faktor yang saling berkaitan dalam permasalahan, Ketiga, perumusan hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan yang diajukan, Keempat,
pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis untuk mengetahui apakah terdapat fakta-fakta yang medukung hipotesis
tersebut atau tidak, dan Kelima, penarikan kesimpulan yang merupakan
penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan dapat diterima atau ditolak.
Keseluruhan langkah-langkah tersebut harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat
disebut ilmiah. Metode ilmiah tersebut pada dasarnya adalah sama bagi semua
disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu
sosial. Bila pun terdapat perbedaandalam kedua kelompok keilmuan itu, maka perbedaan
tersebut terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir
atau aspek metodologisnya. Dengan demikian, maka penguasaan metode ilmiah
merupakan persyaratan untuk dapat mencari jawaban atas permasalahan yang
dihadapi sehingga dapat menemukan suatu ilmu pengetahuan dengan cara yang benar
dan dapat diterima secara ilmiah.
C. SARANA
BERPIKIR ILMIAH
Kegiatan ilmiah dapat dilakukan dengan
baik memerlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan
dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana
berpikir ilmiah merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang
ilmuwan. Tanpa menguasai hal tersebut, maka kegiatan ilmiah yang baik tidak
dapat dilakukan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu
kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah
tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Sarana merupakan alat
yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu atau dengan perkataan
lain sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan
ilmiah secara menyeluruh. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi
cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan
metode ilmiah.
Secara
lebih sederhana sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam
melakukan fungsinya secara baik. Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode
tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya,
sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bukan
merupakan ilmu itu sendiri. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan
kita menguasai metode penelitian ilmiah yang didukung oleh penguasaan sarana
berpikir ilmiah serta peranan masing-masing sarana tersebut dalam keseluruhan
proses penelitian ilmiah. Adapun sarana berpikir ilmiah untuk dapat melakukan
kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa,
logika, matematika, dan statistika
1. Bahasa
Salah
satu kemampuan yang dimiliki oleh manusia adalah kemampuan berbahasa. Ernst
Cassirer menyebut manusia sebagai Animal
symbolicum atau manusia yang menggunakan simbol yang secara generik
mempunyai cakupan yang lebih luas dari Homo sapiens yakni manusia yang
berpikir, sebab dalam kegiatan berpikir manusia menggunakan simbol. Manusia
dapat mengembangkan kebudayaannya karena manusia mempunyai bahasa untuk
meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini, maka kegiatan berpikir secara
sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Manusia dapat berpikir
dengan baik karena mempunyai bahasa. Tanpa bahasa manusia tidak akan dapat
berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan
ilmiah. Demikian juga, tanpa bahasa, manusia tidak dapat mengkomunikasikan
pengetahuannya kepada orang lain.
Bahasa
memungkinkan manusia berpikir secara abstrak di mana obyek-obyek yang faktual
ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yag bersifat abstrak. Dengan
adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai suatu obyek
tertentu meskipun obyek tersebut secara faktual tidak berada di tempat di mana
kegiatan berpikir dilakukan. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini
memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berkelanjutan.
Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat
perbendaharaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan
suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Menurut Kneller bahasa mempunyai
tiga fungsi yaitu fungsi simbolik yang menonjol dalam komunikasi ilmiah, fungsi
emotif yang menonjol dalam komunikasi estetik, dan fungsi afektif.
Bahasa
mempunyai ciri sebagai serangkaian bunyi dalam hal ini manusia mempergunakan
bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa juga merupakan lambang di mana
rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita
kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek tertentu. Manusia mengumpulkan
lambang-lambang dan menyusun sebagai perbendaharaan kata-kata yang pada
hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran manusia, artinya
perbendaharaan kata-kata yang manusia punya, maka manusia dapat
mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran meraka. Hal tersebut
menyebabkan bahasa terus berkembang karena disebabkan pengalaman dan pemikiran
manusia yang juga berkembang oleh seluruh lapisan masyarakat yang menggunakan
bahasa tersebut. Bahasa tidak saja membuat manusia dapat berpikir secara
teratur, namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan kepada
orang lain juga dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita kepada orang
lain.
Dengan
bahasa yang jelas, seseorang dapat mengemukakan pendapat dan jalan pikirannya
dengan jelas. Pernyataan-pernyataan dalam suatu karya ilmiah merupakan suatu
pengetahuan yang ingin dikomunikasikan kepada orang lain. Untuk mampu
mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas, maka seseorang harus menguasai
tata bahasa yang baik. Menurut Charlton Laird, tata bahasa merupakan alat dalam
mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan
emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Penguasaan tata bahasa yang
baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Karya
ilmiah mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk
mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional yang merupakan
kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu, gaya penulisan ilmiah dihindari
seminimal mungkin penggunaan tata bahasa dengan kata-kata yang mengandung
unsur-unsur emotif.
Namun
demikian, bahasa mempunyai beberapa kekurangan diantaranya berkaitan dengan
fungsi bahasa itu sendiri yaitu emotif dan afektif. Meski dalam penulisan
ilmiah penggunaan fungsi simbolik lebih diutamakan, nanum penggunaan bahasa
tetap mengandung fungsi emotif yang mempunyai kecenderungan emosional. Bahasa
ilmiah seharusnya bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap, atau
bahasa ilmiah haruslah berifat antiseptik dan reproduktif. Kekurangan yang lain
yaitu bahasa mempunyai arti yang tidak jelas dan eksak serta bahasa mempunyai
beberapa kata yang mempunyai arti yang sama. Terlepas dari kekurangan bahasa
tersebut, bahasa bukan saja merupakan alat bagi berfilsafat dan berpikir, namun
juga merupakan bahan dasar dan dalam hal tertentu marupakan hasil akhir dari
filsafat.
2. Matematika
Matematika adalah bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang
matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah
makna diberikan kepadanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan
rumus-rumus yang mati. Matematika digunakan untuk mengatasi kekurangan yang
terdapat dalam bahasa verbal, dalam hal ini matematika adalah bahasa yang
berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan eomosional dari bahasa
verbal. Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artifisal dan individual
yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita
kaji. Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa
saja sesuai dengan perjanjian kita.
Matematika
mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal, di mana matematika
mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran
secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang
bersifat kualitatif. Untuk itu matematika mengembangkan konsep pengukuran
sehingga dapat dibuat pernyataan kuantitatif. Sifat kuantitatif dari matematika
ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu yang memberikan jawaban
yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih
tepat dan cermat. Melalui matematika, memungkinkan ilmu –ilmu sosial mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan
suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang
lebih tepat dan cermat dari ilmu.
Secara
deduktif, matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis
yang tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan
konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan
sebelumnya. Meskipun tak pernah ada kejutan dalam logika, namun pengetahuan
yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan
yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui
kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya
perbendaharaan ilmiah kita. Selain sarana berpikir deduktif, matematika juga
merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan
yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus
menggunakan matematika.
Sebagai
sarana ilmiah, maka matematika itu sendiri tidak mengandung kebenaran tentang
sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris. Matematika merupakan alat
yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat
berbagai disiplin keilmuan. Matematika sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam
hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda yakni sebagai ratu
sekaligus pelayanan ilmu. Sebagai ratu, matematika merupakan bentuk tertinggi
dari logika, sedangkan sebagai pelayanan ilmu matematika memberikan bukan saja
sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga
pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja
menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus
yang jika ditulis dalam bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali,
maka dalam bahasa matematika cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali
sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya salah informasi dan interpretasi.
3. Statistika
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah
adalah bersifat faktual, di mana konsekuensinya dapat diuji bagik dengan jalan
menggunakan panca indera maupun dengan menggunakan alat-alat yang membantu
panca indera tersebut. Pengujian secara empirin untuk membuktikan apakah suatu
hipotesis dapat diterima atau ditolak berdasarkan fakta-fakta empiris.
Pengujian dilakukan untuk menarik suatu kesimpulan baik yang bersifat deduktif
maupun yang bersifat induktif yang mempunyai perbedaan antara keduanya. Dalam
penalaran deduktif, maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya
premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan
kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun
premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah,
maka kesimpulan itu belum tentu benar, yang dapat kita katakan bahwa kesimpulan
itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang
memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak, di mana
peluang merupakan dasar dari teori statistika.
Statistika
memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan
mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Penarikan kesimpulan
seperti ini berdasarkan contoh (sample) dari populasi yang bersangkutan,
tidak selalu akan seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni
dengan jalan mengamati keseluruhan populasi tersebut, namun dalam tataran
pragmatis, sesuatu yang tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggungjawabkan
adalah dapat memenuhi syarat. Statistika dapat memberikan secara kuantitatif
tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya
didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang
diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut demikian
sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat
ketelitiannya. Statistika juga mampu memberikan kemampuan kepada kita untuk
mengetahui apakah hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat
kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat
empiris.
Melalui
penarikan kesimpulan secara statistika memungkinkan kita untuk melakukan
kegiatan ilmiah secara ekonomis di mana tanpa statistika hal tersebut tak
mungkin dapat dilakukan atau kita melakukan penarikan kesimpulan induktif
secara tidak sah. Dengan demikan, penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk
dapat berpikir ilmiah dengan sah karena statistika merupakan sarana berpikir
yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari
perangkat metode ilmiah, maka statistika membantu kita untuk melakukan
generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan
bukan secara kebetulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa statistika merupakan
salah satu sarana berpikir ilmiah.
D. AKSIOLOGI
ILMU PENGETAHUAN (NILAI KEGUNAAN ILMU)
Ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan peradaban manusia. Berkat kemajuan di bidang ini maka pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan begitu cepat dan lebih mudah di samping
penciptaan berbagai kemudahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti
kesehatan, transportasi, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Dalam
kenyataannya, ilmu pengetahuan selain memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia, juga membawa kerugian bagi manusia itu sendiri diantaranya ilmu yang
digunakan dengan tujuan perang yang bukan saja digunakan untuk menguasai alam
melainkan juga digunakan untuk memerangi sesama manusia dan menguasai sesama
manusia. Penggunaan ilmu pengatahuan dengan menciptakan berbagai macam persejataan
pembunuh berhasil dikembangkan yang dapat menjadi alat untuk saling membunuh
diantara manusia.
Perkembangan
ilmu sering melupakan faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan
dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya manusialah yang pada akhirnya
harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Saat ini, teknologi
kadang kala tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi
kehidupan manusia, melainkan teknologi berada untuk eksistensinya sendiri.
Sesuatu yang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti
kemanusiannya. Manusia sering dihadapkan pada situasi yang tidak manusiawi,
terpenjara dalam kisi-kisi teknologi yang merampas kemanusiaan dan
kebahagiannya. Menghadapi kenyataa seperti itu, ilmu yang pada hakikatnya
mempelajari alam sebagaimana mulai mempertanyakan hal-hal untuk apa seharusnya
ilmu itu harus dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan ilmu, dan
kearah mana ilmu itu harus diarahkan. Pertanyaan seperti itu merupakan urgensi
bagi seorang ilmuwan yang tidak bisa terelakan dan untuk menjawab pertanyaan
itu maka ilmuwan seharusnya menggunakan hakikat moral.
Sejak
awal perkembangannya, ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif yang berbeda. Secara metafisik, ilmu ingin mempelajari alam
sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan pertanyaan-pertanyaan (nilai-nilai) yang terdapat dalam
ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan diantaranya agama sehingga timbulah
konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik antara bidang ilmu dengan di
luar bidang keilmuan. Seperti yang dialami oleh Copernicus (1473-1543) yang
mengajukan teori tentang kesemestaan alam dan bumi berputar mengelilingi matahari,
yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-1642) menyebabkan pengadilan
inkuisisi yang mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun
waktu tersebut terjadi pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari
nilai-nilai di luar bidang keilmuan. Para ilmuwan berjuang untuk menegakkan
ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan ilmu
yang bebas nilai. Pada akhirya para ilmuwan mendapatkan kemenangan, ilmu
memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam
semesta sebagaimana adanya.
Setelah
mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik
maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional
yang bersifat komtemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep
ilmiah pada masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak
menjelma dalam bentuk konkret berupa teknologi. Dalam tahap ini ilmu tidak
hanya bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pemahaman, namun
lebih jauh lagi yaitu untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan
gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Dalam
tahap manipulasi ini, maka masalah moral muncul kembali dalam kaitan dengan
faktor lain. Jika dalam tahap kontemplasi, masalah moral berkaitan dengan
metafisika keilmuan, maka dalam tahap manipulasi, masalah moral berkaitan
dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filsafati dapat
dikatakan bahwa pada tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang
ditinjau dari segi ontologi ilmu, sedangkan pada tahap penerapan konsep,
masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Sehubungan
dengan masalah moral dalam mengadapi dampak ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak, terdapat dua pendapat ilmuwan. Golongan pertama mengingikan bahwa ilmu
harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun
aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan
selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah
pengetahuan itu digunakan untuk tujuan yang baik, atau untuk tujuan yang buruk.
Golongan kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaanya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan asas-asas moral. Golongan pertama ini ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total pada waktu Galileo, sedangkan golongan kedua
mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan
ilmu dan masyarakat.
Golongan
kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni, pertama, ilmu secara
faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan
dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan,
kedua, ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan, ketiga, ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat
kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah masyarakat dan kemanusiaan yang paling
hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Berdasarkan ketiga hal tersebut maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat
atau mengubah hakikat kehidupan manusia.
E. TANGGUNG
JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu
pengetahuan merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji
secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karya itu memenuhi persyaratan
keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan
selanjutnya digunakan oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, penciptaan
ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial.
Komunikasi individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat
terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif. Sehingga
jelas bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial bukan saja karena dia
adalah warga masyarakat yang mempunyai kepentingan langsung pada masyarakat,
namun yang lebih penting karena seorang ilmuwan mempunyai fungsi tertentu dalam
kelangsungan hidup masyarakat. Fungsi sebagai ilmuwan tidak terhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggung jawab
agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ruang
lingkup tanggung jawab seorang ilmuwan dikembalikan kepada hakikat ilmu itu
sendiri. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan
keilmuan yang dilakukan. Ilmu itu netral dan terbebas dari nilai, para
ilmuwanlah yang kemudian memberi nilai, dalam hal ini masalah apakah ilmu itu
terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua tergantung kepada langkah-langkah
keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan.
Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan terhadap ilmu yang ditelaahnya dalam
menentukan dan memberikan jawaban permasalahan yang akan ditimbulkan oleh ilmu
yang ditelaahnya tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk
menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dimengerti tentang
prediksi akan apa yang terjadi di masa yang akan datang sehubungan dengan
penemuan yang ditemukannya tersebut. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan
adalah memberikan perspektif yang benar tentang untung dan ruginya, baik dan
buruknya, sehingga penyelesaian obyektif dapat dimungkinkan.
Kemapuan
analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif bagi obyek
permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Dengan kemampuan analisis
tersebut dapat digunakan untuk mengubah kegiatan non-produktif menjadi kegiatan
yang produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Seorang ilmuwan dengan
kemampuan pengetahuannya harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap
masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Terhadap suatu pandangan atau
pemikiran yang keliru, maka sikap seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah
manusia yang biasa lebih berpikir dengan teratur dan teliti. Dengan jalan
pikiran yang mengalir melalui pola-pola teratur, juga segenap materi yang
menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti.
Seorang
ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa suatu
pemikiran yang cermat, yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan cara
berpikir seorang awam yang dapat dengan mudah mempercayai sesuatu yang tidak
benar yang sepintas lalu kelhiatannya masuk akal.Kelebihan pemikiran seorang
ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan
mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti menyampaikan kepada masyarakat
sekiranya dia mengetahui bahwa pemikiran masyarakat itu keliru dan menunjukkan
di mana mereka keliru, apa yang membuat mereka keliru, dan lebih penting lagi
harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Tanggung
jawab sosial seorang ilmuwan dalam bidang etika, tidak hanya memberikan
informasi namun memberi contoh yang harus tampil di depan bagaimana caranya
bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan berani mengakui kesalahan. Di
tengah situasi di mana segenap nilai mengalami keguncangan maka seorang ilmuwan
harus tampil ke depan berbekal dengan pengetahuan yang dimilikinya merupakan
kekuatan yang memberikannya keberanian, demikian juga dalam masyarakat yang
sedang membangun maka ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan
memberikan suri teladan.
F. ILMU
DAN BAHASA
Manusia
dengan kemampuan pikiran dan pancaindra dan intuisi yang dimilikinya mampu
mempelajari dan mngungkap alam ke dalam kehidupannya dan mengabtrasikannya
dalam bentuk ketahuan misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan
filsafat. Terminologi ketahuan adalah terminoogi artiisial yang bersifat
sementara sebagai alat analisis yang diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari
produk kegiatan manusia dalam usaha mengetahui sesuatu. Cara dengan
memperhatikan sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya
dikategorikan sebagai ketahuan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan knowledge.
Adapun kriteria untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota ketahuan
atau knowledge yaitu : pertama, apakah obyek yang ditelaah yang
membuahkan ketahuan (knowledge) atau ontologis, kedua, cara yang dipakai
untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) atau epistemologis, dan ketiga,
untuk apa ketahuan (knowledge) itu dipergunakan atau nilai kegunaan apa
yang dipunyai olehnya atau aksiologis. Dengan kata lain, ketahuan (knowledge)
ditandai dengan obyek ontologis yaitu segenap wujud yang dapat dijangkau lewat
pancaindra atau alat yang membantu pancaindra, epistemologis yaitu metode
ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan induktif, dan aksiologis yaitu
kemaslahatan manusia artinya segenap wujud ketahuan itu secara moral ditujukan
untuk kebaikan hidup manusia.
Permasalahan
yang terjadi dalam pemaknaan kata ketahuan dalam bahasa Inggris antara knowledge
dan science yaitu antara bentuk ketahuan yang bersifat generik dan
bentuk ketahuan spesifik yang mempunyai obyek ontologis, epistemologis dan
aksiologis yang khas. Alternatif yang digunakan untuk mencoba mencari padanan
kata knowledge dan science dalam bahasa Indonesia yaitu, pertama,
menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge
yang saat ini sering digunakan walaupun mempunyai kelemahan yaitu, pertama, knowledge
merupakan termonologi generik dan science
adalah anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut sehingga
kurang layak jika pengetahuan merupakan terminologi generik dan ilmu
pengetahuan merupakan anggota yang termasuk ke dalamnya. Kelemahan kedua, kata
sifat dari science yakni scientific yang sekiranya secara
konsekuen kita gunakan untuk ilmu adalah pengetahuan ilmiah atau keilmu
pengetahuaan yang sangat menyesatkan dan kurang nyaman dipergunakan.
Pengetahuan ilmiah bisa diartikan scientific knowledge sinonim dengan science,
sedangkan keilmu pengetahuan terasa hanya dibuat-buat. Ketiga, tidak
konsekuensinya mempergunakan terminologi ilmu pengetahuan untuk science
di mana biologi disebut ilmu hayat dan fisika adalah ilmu pengetahuan alam.
Alternatif kedua, didasarkan asumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah dua kata
benda yakni ilmu dan pengetahuan yang sudah biasa dalam bahasa indonesia
sehingga tinggal mencarikan sinonim science dan knowledge, maka
yang lebih tepat kiranya adalah kata pengetahuan untuk knowledge dan
ilmu untuk science. Dengan demikian maka social science diterjemahkan
dengan ilmu-ilmu sosial dan natural science diterjemahkan ilmu-ilmu
alam. Sehingga kata sifat dari ilmu adalah ilmiah atau keilmuan, metode yang
dipergunakan dalam kegiatan ilmiah (keilmuan) adalah metode ilmiah, dan ahli
dalam bidang keilmuan adalah ilmuwan.
Jika
kita kembali pada hakikat fungsi utama bahasa yaitu sebagai sarana komunikasi
antara manusia (fungsi komunikatif), dan fungsi bahasa sebagai sarana budaya
yang mempersatukan kelompok manusia yang menggerakkan bahasa tersebut (fungsi
kohesif atau integratif) maka sekiranya perkembangan bahasa haruslah
memperhatikan kedua fungsi tersebut agar terjadi keseimbangan yang saling
menunjang dalam pertumbuhannya seperti manusia yang menggunakan bahasa harus
tumbuh berkembang seiring dengan pergantian zaman. Sebagai alat komunikatif,
bahasa mempunyai tiga unsur yaitu bahasa untuk menyampaikan pesan yang
berkonotasi perasaan (emotif), berkonotasi sikap (afektif), dan berkonotasi
pikiran (penalaran) atau secara umum dikatakan bahwa fungsi komunikatif bahasa
yaitu emotif, afektif dan penalaran.
Perkembangan
bahasa pada dasarnya adalah pertumbuhan ketiga fungsi komunikatif bahasa agar
mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut. Sebagai contoh, perkembangan seni dan ilmu, secara
teoritis dapat dikatakan bahwa kemajuannya terkait dengan perkembangan bahasa
dalam fungsi emotif dan afektif untuk seni, dan perkembangan bahasa dalam
fungsi penalaran untuk ilmu. Fungsi komunikatif bahasa harus secara terus
menerus dikembangkan, namun harus tetap menjaga fungsi kohesif dari bahasa
sebagai alat integrasi bangsa. Untuk itu, dalam pembentukan kata-kata bary yang
berasal dari daerah maupun asing harus diarahkan kepada perkembangan bahasa
sebagai bahasa nasional. Dapat dikatakan bahwa perkembangan bahasa Indonesia menjadi
bahasa yang moderen, haruslah memperhatikan ketiga unsur fungsi bahasa yang
komunikatif dan fungsi kohesif bahasa dengan seimbang . Untuk itu, haruslah
dipikirkan dalam politik bahasa nasional untuk mengkaji permasalahan ini secara
integral dan menyeluruh sehingga fungsi bahasa sebagai komunikatif dan kohesif
dapat tetap terjadi keseimbangan dalam mengahadapi perkembangan zaman di masa
mendatang.
###
* Ringkasan buku Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 2009.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar