KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP JUSTICE
COLLABORATOR
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan tindak
pidana korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sehingga dapat dikatakan
bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan mudahnya menyebar ke seluruh
tubuh pemerintahan dan cenderung mengalami peningkatan yang signifikan dari
tahun ke tahun baik secara kualitas maupun kuantitasnya sehingga menjadi salah
satu permasalahan krusial nasional. Perkembangan korupsi yang demikian
mempunyai relevansi dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan
kroninya.[1]
Korupsi dalam sudut pandang
hukum pidana memiliki sifat dan karakter sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Paling
tidak ada empat sifat dan karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime, Pertama, korupsi merupakan
kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi biasanya
dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk
membuktikannya, Ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan
yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat
dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.[2]
Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak
pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) seperti
dikemukakan oleh Romli Atmasasmita, sebagai berikut :
Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi
kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam,
maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan
merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya
jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan
kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas
bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat
Indonesia. [3]
Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), penanganan
tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara biasa. Pemberantasan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara biasa atau kovensional selama ini terbukti
tidak efektif karena mengalami banyak kendala. Hal tersebut disebabkan karena
virus korupsi tidak saja menyerang badan eksekutif dan legislatif, melainkan
juga menyeruak pada kalangan yudikatif yang dilakukan oleh hakim, kejaksaan dan
kepolisian sebagai institusi penegak hukum, oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode
penegakan hukum secara luar biasa untuk memberantas korupsi.[4]
Perlunya penanganan secara luar
biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi disebabkan karena tindak pidana korupsi
dilakukan oleh orang-orang berdasi atau yang memiliki intelektualitas tinggi (white
collar crime) dan dilakukan dalam suatu jaringan kejahatan yang
terorganisasi (organized crime) dan terstruktur sedemikan tertutupnya
dengan berbagai macam modus operandi sehingga menimbulkan kesulitan oleh aparat
penegak hukum dalam hal pemberantasannya. Salah satu cara yang dapat ditempuh
oleh aparat penegak hukum adalah dengan bantuan dari orang dalam yang juga
terlibat dalam jaringan kejahatan tersebut.
Penggunaan Justice collaborator dalam
peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat digunakan untuk memberantas
tindak pidana korupsi yang melibatkan pelaku tindak pidana itu sendiri, di mana pelaku itu bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Peranan saksi sebagai Justice collaborator sangat penting diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi,
karena Justice collaborator
itu
sendiri tidak lain
adalah
orang
terlibat
di dalam
kejahatan tersebut atau pelaku
minor dalam jaringan tindak pidana tersebut yang digunakan untuk mengungkap otak pelaku
yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak berhenti hanya
pada pelaku yang
berperan minim dalam tindak pidana korupsi
tersebut. Bertolak dari hal tersebut perlu
dikaji dan diteliti
lebih dalam berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang
mengatur tentang Justice
collaborator tindak pidana
korupsi di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana saat ini terhadap
Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia ?
2. Bagaimanakah prospek pengaturan Justice collaborator
tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang?
C. Tujuan
dan Manfaat
1. Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice
collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia.
b. Untuk mengetahui prospek pengaturan Justice collaborator tindak
pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum
serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat, praktisi dan
aparat penegak hukum khususnya tentang kebijakan hukum pidana terhadap Justice
collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa
Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang
secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk
mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum
dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik,
masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan
perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum)
yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat
(warga negara).[5]
Bertolak dari kedua
istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut
dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik
hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal
policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek..[6]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah politik dalam 3
(tiga) batasan pengertian, yaitu : [7]
1.
Pengetahuan mengenai ketatanegaraan
(seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);
2.
Segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat dan sebagainya);
3. Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan.
Mengkaji
politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri
atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai
dalam berbagai arti, yaitu : [8]
1. Perkataan politiek dalam bahasa
Belanda, berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;
2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau
berhubungan dengan negara.
Menurut
Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah, yang meliputi : [9]
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan
dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan;
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Selanjutnya,
definisi politik hukum menurut Bellefroid, sebagai berikut: [10]
Politik hukum
merupakan cabang dari salah satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang
menyatakan politik hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang
perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru
di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah
perkembangan tertib hukum, dari ius constitutum yang telah ditentukan
oleh kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum berusaha untuk
menyusun Ius constituendum atau hukum pada masa yang akan datang.
Menurut
Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan
dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial.
Politik hukum membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku)
dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai
Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru). [11]
Sacipto
Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan pada hukum yang
seharusnya berlaku (Ius constituendum).
Sedangkan pengertian Politik hukum menurut Muchtar Kusumatmadja, adalah
kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaruan hukum. Proses
pembentukan hukum harus dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang
atau masalah yang hendak diatur dalam undang-undang itu, apabila
perundang-undangan itu merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. [12]
Menurut
Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang
bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu,
dengan kata lain politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa
mendatang (Ius constituendum). [13]
Teuku
Mohammad Radie, mengemukakan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun. Pernyataan hukum yang berlaku di wilayahnya
mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (Ius constitutum),
dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun, mengandung pengertian hukum
yang berlaku di masa datang (Ius constituendum) [14].
Menurut Garda Nusantara,
Politik hukum meliputi : [15]
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
secara konsisten;
2. Pembangunan hukum yang intinya adalah
pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang dan
penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;
3. Penegasan kembali fungsi lembaga penegak atau
pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;
4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.
Dengan
demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau
kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam
mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu
diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara
(pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat
menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau
politik hukum pidana.[16]
Pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana
maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:[17]
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Selanjutnya,
Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata sesuai
dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.[18]
Menurut
Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan
yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan.[19]
Politik
hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan
kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut
persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai
tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang
ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang.
Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan
merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif
terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum
pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara
terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan
sebagai tindak pidana. [20]
Politik
hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses
menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses
pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diatara berbagai
alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun
berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum
pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggung jawaban
pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun
tindakan). [21]
Dalam
hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi
perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan
hukum pidana, dalam mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi
kebijakan legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan, tahap perencanaan
yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukan, dalam
mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana, dan kejahatan yang terjadi
selalu berorientasi pada kebijakan penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai
upaya yang rasional guna pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
perlindungan masyarakat. [22]
B. Justice Collaborator
Istilah
Justice collaborator berasal dari bahasa Inggris yang
diadopsi dari Amerika
yang tidak ditemui dalam KUHAP, namun istilah tersebut
sudah dipakai pada praktik hukum
Indonesia. Pengertian Justice collaborator
menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 adalah seseorang yang
merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan yang
dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan
keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan yang sangat signifikan
sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap
pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan
aset-aset/hasil suatu tindak pidana. [23]
Justice
collaborator adalah pelaku yang bekerjasama yaitu orang baik dalam status
saksi, pelapor atau informan yang memberikan bantuan kepada penegak hukum
misalnya dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti- bukti yang kuat atau
keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkap suatu tindak
pidana, di mana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya
tersebut atau bahkan suatu tindak pidana lainnya.[24]
Istilah Justice collaborator
dapat disebut juga sebagai pembocor rahasia atau peniup pluit yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum atau
partisipant whistleblower. Si pembocor rahasia haruslah orang yang ada di dalam organisasi yang dapat saja terlibat atau tidak terlibat didalam
tindak pidana yang dilaporkan itu. [25]
1. Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan atau
teroganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, TPPU, traficing, kehutanan. Jadi untuk hal tindak pidana ringan tidak mengenal istilah ini.
2. Keterangan yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan yang diberikan
benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga memudahkan kinerja aparat penegak
hukum.
3. Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama dalam perkara tersebut karena kehadirannya
sebagai justice collaborator
adalah untuk mengungkapkan
siapa pelaku utama
dalam
kasus tersebut. Dia
hanya berperan
sedikit didalam terjadinya perkara itu tetapi mengetahui banyak tentang perkara pidana yang terjadi itu.
4. Dia mengakui perbuatannya di depan hukum dan bersedia mengembalikan aset yang
diperolehnya dengan cara kejahatan itu secara tertulis.
5. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan
keterangan dan bukti-bukti
yang
sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap
tindak pidana yang dimaksud
secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak pidana.
C. Tindak Pidana Korupsi
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah
yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu strafbar feit. Walaupun
istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda,
demikian juga dalam Wetboek van Strafrecht Hindia Belanda (KUHP), tetapi
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbar feit. Para
ahli hukum memberikan arti dan isi dari istilah strafbar feit yang
terdiri dari tiga kata, yakni straf, bar dan feit. Kata straf diterjemahkan
dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan
boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan, sehingga istilah strafbar feit mempunyai berbagai istilah yaitu tindak
pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh
dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. [27]
Moeljatno, menerjemahkan
strafbar feit dengan istilah
perbuatan pidana, menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang
menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dan dimana pelakunya dapat
dikenakan sanksi pidana. [28] E.Utrecth
memandang bahwa istilah peristiwa pidana lebih tepat mengenai pengertian strafbar feit, memiliki rumusan yang lebih lengkap meliputi diancam dengan
pidana oleh hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang
bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.[29]
Komariah
E. Sapardjaja menggunakan istilah Tindak Pidana dalam menerjemahkan strafbaar
feit. Menurutnya bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang
memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan
perbuatan itu.[30]
Istilah Tindak
pidana sebagai terjemahan strafbar feit adalah diperkenalkan oleh pihak
pemerintah dan banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus,
misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana
Narkotika dan sebagainya. Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik
tingkah laku jasmani seseorang. Hal tersebut terdapat juga seseorang untuk
tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan
tindak pidana. [31]
2. Tindak Pidana Korupsi
Kata korupsi berasal dari
bahasa Latin yaitu coruptio atau corruptus, kemudian dari turun
ke bahasa di negara-negara Eropah seperti Inggris ; corruption, Perancis
; corruption, Belanda ; corruptie yang kemudian dari bahasa
Belanda tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia yaitu Korupsi.[32] Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.[33]
Dalam Kamus Hukum menuturkan bahwa perkataan korup berarti busuk; rusak;
busuk; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan
atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan
pribadi. Korupsi dalam kamus tersebut diartikan penyelewengan uang perusahaan
atau sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.[34] Dalam Ensiklopedi
Indonesia, korupsi yaitu gejala bahwa pejabat badan-badan negara
menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.[35]
Menurut
Black Law Dictionary, pengertian korupsi (corruption) adalah the act of doing something with an intent to give some
adventage inconsistent with official duty and the rights of others ;
fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit
either personally of for someone else, contrary to the rights of others. [36]
Secara
harfiah, pengertian korupsi dapat berupa : [37]
a. Kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran;
b. Perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya;
c. Perbuatan
yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk ; perilaku yang jahat
dan tercela, atau kebejatan moral ; sesuatu yang dikorup, seperti kata yang
diubah atau diganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat; pengaruh-pengaruh
yang korup.
Menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan Corruption,
yang berarti kerusakan. Di samping itu, perkataan korupsi dipakai pula untuk
menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada
ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan. [38]
Pengertian yuridis dari tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang
dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang, yang memberi batas-batas dalam
pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Menurut Barda Nawawi Arief, jika dilihat dari
sistematika Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, maka ruang lingkup tindak pidana korupsi yang akan diberantas terdiri
dari dua kelompok tindak pidana, yaitu : [39]
Ke-1:
Kelompok tindak pidana (TP) dalam Bab II yang berjudul ”Tindak Pidana
Korupsi”…, yaitu delik-delik yang langsung berhubungan dengan perbuatan
melakukan atau menunjang terjadinya korupsi (diatur dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 16); dan
Ke-2:
Kelompok tindak pidana (TP) dalam Bab III yang berjudul “Tindak Pidana Lain
yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi”…, yaitu delik-delik yang
berhubungan dengan proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (dilakukan
oleh orang-orang yang menghalangi proses, si pengadu, saksi, dan aparat/pejabat
yang menangani perkara korupsi). Tindak Pidana (TP) ini diatur dalam Pasal 21
sampai dengan Pasal 24.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kebijakan
Hukum Pidana Saat Ini Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia
Pengaturan
tentang Justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
merupakan sesuatu hal yang baru jika dibandingkan dengan praktik hukum yang
terjadi karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun peraturan
perundang-undangan lainnya secara eksplisit tidak mengatur tentang Justice
collaborator dalam peradilan pidana, atau dengan kata lain istilah Justice
collaborator terlebih dahulu dikenal dalam praktik penegakan hukum pidana
dan kemudian mendapatkan perhatian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum
positif di Indonesia. Adapun kebijakan hukum pidana saat ini baik yang berasal
dari dokumen internasional maupun nasional yang memberikan pengaturan berkaitan
dengan Justice collaborator sebagai berikut :
1. United Nations Convention Against Corruption/UNCAC (Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Konvensi PBB
Anti Korupsi).
Instrumen ini merupakan dasar hukum yang melatarbelakangi lahirnya ide
tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana. Pengaturan
berkaitan dengan Justice collaborator dalam peradilan pidana yang diatur
dalam Pasal 37 sebagai berikut :
Ayat
(2) : Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan
dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang
memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu
kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Ayat (3) : Setiap Negara wajib mempertimbangkan
kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk
memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang-orang yang memberikan kerjasama
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang
ditetapkan dalam konvensi ini.
2. United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC (Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2009
tentang Konvensi PBB
Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir).
Demikian halnya dengan Konvensi PBB anti Korupsi, di dalam Konvensi
ini juga memberikan ide pengaturan berkaitan dengan Justice collaborator dalam
peradilan pidana yakni diatur dalam Pasal 26 sebagai berikut :
Ayat (2) : Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk
membuka kemungkinan, dalam keadaan yang tepat, pengurangan hukuman atas
tertuduh yang memberikan kerjasama yang berarti dalam penyelidikan atau
penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.
Ayat (3) : Setiap Negara Pihak
wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan atas penuntutan terhadap seseorang
yang memberikan kerja sama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas
tindak pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang perlindungan saksi dan korban ini secara eksplisit tidak
memberikan pengaturan yang tegas mengenai definisi tentang Justice
collaborator di mana undang-undang ini hanya mengatur pengertian saksi dan
pelapor tindak pidana. Pengaturan yang berkaitan dengan Justice
collaborator diatur dalam Pasal 10 sebagai berikut :
Ayat
(2) : Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata ia terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim
dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan
Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Perkara
Tindak Pidana Tertentu
Latar belakang lahirnya SEMA ini adalah karena banyaknya kasus
tindak pidana yang ditangani oleh aparat penegak hukum namun belum adanya
peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum yang memberikan
pengaturan terhadap Justice collaborator dalam peradilan pidana. Untuk
memberikan dasar hukum maka dikeluarkanlah SEMA ini dengan tujuan untuk
memberikan pedoman kepada hakim di Jajaran Mahkamah Agung ketika menangani
seorang Justice collaborator dalam peradilan pidana. Surat edaran ini
juga memberikan batasan terhadap tindak pidana tertentu yang bersifat serius
yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika,
tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, maupun tindak
pidana lainnya yang bersifat terorganisir yang telah menimbulkan masalah dan
ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga
meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
SEMA ini juga bertujuan
untuk menumbuhkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana yang
bersifat terorganisir dengan cara menciptakan iklim yang kondusif dengan cara
memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang
mengetahui, melaporkan, atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat
penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana terorganisir secara
efektif, mengingat belum adanya peraturan perndang-undangan yang memberikan
pengaturan yang memadai tentang peranan saksi pelapor dan saksi pelaku yang
bekerjasama (Justice collaborator) dalam peradilan pidana.
Pengaturan berkaitan
dengan Justice collaborator diatur dalam Point 9 tentang pedoman untuk
menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice
collaborator) adalah sebagai berikut :
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana
tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang
dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan
keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
b. Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga
penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara
efektif, mengungkap pelaku- pelaku lainnya yang mempunyai peran lebih besar
dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi yang bekerjasama
sebagaimana dimaksud di atas, hakim dapat menentukan pidana yang akan
dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
i. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat
khusus dan/atau
ii. Menjatuhkan pidana penjara berupa pidana
penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah
dalam perkara yang dimaksud.
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk
keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
5. Peraturan Bersama Aparat Penegak
Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama
Peraturan bersama ini dimaksudkan untuk menyamakan pandangan dan
persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap
tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan memberikan pedoman bagi para
penegak hukum dalam melakukan koordinasi dan kerjasama di bidang pemberian
perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
dalam perkara pidana.
Sedangkan tujuan peraturan
bersama ini adalah untuk mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat
penegak hukum dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui
upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi Pelapor,
Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara tindak
pidana, menciptakan rasa aman baik dari tekanan fisik maupun psikis dan
pemberian penghargaan bagi warga masyarakat yang mengetahui tentang terjadinya
atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir untuk melaporkan
atau memberikan keterangan kepada aparat penegak hukum; dan membantu aparat
penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau terorganisir dan
membantu dalam pengembalian aset hasil tindak pidana secara efektif.
Adapun pengaturan berkaitan
dengan Justice collaborator diatur dalam Pasal 1 sebagai berikut :
Point
(3) : Saksi Pelaku yang
Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang
bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau
akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil
suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan
B. Prospek
Pengaturan Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Pada Masa
Mendatang.
Justice collaborator memiliki peranan
yang sangat dominan dan
strategis dalam membantu aparat
penegak hukum untuk membongkar dan mengungkap tindak
pidana. Hal itu dikarenakan, seorang Justice collaborator adalah orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak
pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana
korupsi. Namun posisi
seorang Justice
collaborator bukan merupakan
pelaku
utama dari terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Orang
yang demikian tersebut dapat dijadikan sumber informasi dalam kaitannya
dengan adanya tersangka dan alat bukti
lain
dalam tindak pidana korupsi
yang belum ditemukan oleh penegak
hukum. Justice collaborator sering
digunakan untuk
mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya
sendiri dan rekan-rekannya dalam
suatu
tindak
pidana. Upaya ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena ia harus mengungkapkan
dengan
jujur
apa
yang telah ia lakukan dengan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana terorganisir yang
dalam hal ini ia juga akan mendapatkan beban atas yang
diungkapnya dalam kesaksian tersebut. Apabila ditinjau berdasarkan peran justice collaborator yang strategis untuk mempercepat
pengungkapan tindak pidana terorganisir, maka kebutuhan akan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai
justice collaborator sangat diperlukan sehingga diperlukan political will yang kuat baik dari pemerintah dan DPR serta dari semua pihak yang
berkepentingan
untuk mengimplementasikan
Justice collaborator terutama dalam kasus korupsi.
Problematika
yang dihadapi di Indonesia saat ini bahwa pengaturan Justice Collaborator belum
diatur dalam KUHAP. Ketentuan di dalam KUHAP hanya mengatur tentang hak-hak
seorang pelaku dalam proses peradilan pidana. Hingga saat ini pengaturan
tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya terdapat dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
perlakuan
bagi pelapor
tindak
pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam perkara tindak pidana
tertentu.
SEMA ini dalam fungsinya hanya sebagai surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang
tata
cara pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup kewenangannya
sehingga SEMA ini belumlah cukup
untuk
memberikan landasan hukum tentang Justice collaborator, karena seorang Justice collaborator muncul sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, hingga tahap pemeriksaan di persidangan,
sedangkan SEMA ini hanya mengatur justice
collaborator yang telah memasuki tahap persidangan
sedang pada tahap sebelum persidangan SEMA ini hanya bersifat tembusan sehingga tidak terlalu mengikat dalam pelaksanaannya tergantung dari aparat penegak hukum lain apakah akan mengikuti aturan di dalam SEMA tersebut
atau tidak tanpa adanya daya paksa
kepada aparat penegak hukum lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam SEMA tersebut.
Demikian halnya dengan ketentuan yang
tercantum dalam Peraturan
Bersama aparat penegak hukum (Kementrian Hukum dan Ham, Kejagung, Polri, KPK
dan LPSK) tanggal 14 Desember 2011 tentang perlindungan bagi pelapor, saksi
pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam penerapannya belum dapat
menjadi dasar hukum yang kuat tentang Justice collaborator dalam
peradilan pidana oleh aparat penegak hukum, karena Peraturan Bersama ini hanya
bersifat petunjuk teknis bagi aparat penegak hukum yang berada di instansinya masing-masing
sehingga tidak mempunyai kekuatan yang mengikat seperti halnya undang-undang.
Salah satu langkah yang sedang ditempuh oleh
pemerintah saat ini untuk memberikan pengaturan tentang Justice collaborator
dalam peradilan pidana adalah dengan melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban sesuai
dengan amanat dalam ketentuan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi dan Pasal 26
Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang terorganisir. Adapun revisi
tersebut dilakukan dengan memasukkan kedalam Pasal 1 yang berisi tentang ketentuan
umum pengertian Justice collaborator yaitu saksi/atau yang juga pelaku
tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
pidana dan/atau pengembalian aset-aset/hasil suatu tindak pidana kepada Negara
dengan memberikan kesaksian atau informasi lain. Selain itu, dalam draft revisi
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut juga memasukan ketentuan-ketentuan
yang memberikan perlakuan khusus terhadap Justice collaborator berkaitan
dengan perlindungan keamanan selama dalam proses peradilan hingga penjatuhan
vonis dan pelaksanaan pidana berupa pemisahan tempat tahanan dan penjara yang
berjauhan dengan tersangka/narapidana lain yang diungkap, pemberkasan dengan
tersangka/terdakwa lain yang diungkapnya, penundaan penuntutan atas tidak
pidana yang diungkapnya dengan tindak pidana yang diakuinya, serta penghargaan terhadap
pelapor pelaku berupa keringanan hukuman, penghapusan penuntutan dan pemberian
remisi atau grasi dengan pertimbangan khusus apabila pelapor pelaku adalah
seorang narapidana.
Pengaturan baru lainnya yang
terdapat dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut adalah
mengenai syarat-syarat untuk dapat menentukan apakah seseorang dianggap sebagai
Justice collaborator yaitu keseriusan tindak pidana yang diungkap, sifat
pentingnya keterangan yang diberikan oleh pelapor pelaku, pelapor pelaku bukan
pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya atau tindak pidana lain yang
dilakukannya, pelapor pelaku mengakui sendiri tindak pidana yang pernah ia
lakukan sebelumnya yang belum pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan,
tindak pidana lain yang dilakukannya merupakan tindak pidana yang lebih ringan
dibandingkan dengan tindak pidana yang diungkapnya di mana tindak pidana lain
yang dilakukannnya tidak termasuk tindak pidana pembunuhan atau kekerasan
seksual, tindak pidana di mana korbannya tidak setuju dengan restitusi yang
diberikan, dan tindak pidana yang mendapat tuntutan dari masyarakat agar
pelapor pelaku diadili.
Jika ditinjau dari substansi
yang terdapat dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 di atas,
maka dapat dikatakan bahwa pemerintah telah menyadari betapa pentingnya peranan
Justice collaborator dalam peradilan pidana khususnya dalam mengungkap
kejahatan terorganisir sehingga memerlukan adanya suatu landasan hukum yang
kuat untuk memberikan perlindungan kepada Jusitice collaborator. Dalam
aspek hukum acara pidana sendiri, pengaturan tentang saksi pelaku yang
bekerjasama (Justice collaborator) dilakukan dengan melakukan revisi
terhadap ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dengan memberikan pengaturan yang memadai dalam peradilan
pidana. Dalam draft revisi KUHAP saat ini telah memasukan pengaturan tentang
saksi mahkota yang dahulu belum mendapatkan pengaturan dalam proses peradilan
pidana.
Namun demikian, istilah yang
digunakan dalam KUHAP mempunyai perbedaan dan tidak mengenal istilah Justice
collaborator untuk menunjukan pada seseorang yang membantu aparat penegak
hukum untuk membantu mengungkap tindak pidana. KUHAP memakai istilah saksi
mahkota (Crown witness) yang merupakan istilah hukum yang digunakan
dalam Wetboek van Strafvordering (KUHAP) Belanda. Meskipun terdapat
persamaan antara saksi mahkota dan Justice collaborator yaitu
kedua-duanya merupakan pelaku dalam suatu tindak pidana, namun jika dilihat dari
aspek inisiatif untuk memberikan keterangan/informasi tentang suatu tindak
pidana, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara saksi mahkota yang
dikenal dalam KUHAP dan Justice collaborator yang merupakan istilah yang
diadopsi dari Amerika. Pada saksi mahkota, inisiatif untuk memberikan
keterangan berasal dari aparat penegak hukum yang kesulitan untuk mengungkap
suatu tindak pidana karena kekurangan alat bukti lainnya (bewijs minimum)
sehingga aparat penegak hukum mengambil salah satu pelaku yang mempunyai
peranan yang minim untuk dijadikan saksi terhadap pelaku lainnya dengan cara
memisahkan berkas perkara (split) antara saksi mahkota dengan pelaku
yang lain.
Sedangkan pada Justice
collaborator, inisiatif untuk memberikan keterangan/informasi tentang
tindak pidana berasal dari dalam diri pelaku yang dengan kesadarannya mengakui
perbuatan yang dilakukannya dan kemudian membantu aparat penegak hukum dengan
memberikan keterangan berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya serta
keterlibatan pelaku utama lainnya dalam jaringan tindak pidana. Dengan
demikian, istilah yang saat ini digunakan dalam revisi Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP yakni saksi mahkota untuk menunjuk pada seorang pelaku
yang dijadikan saksi oleh aparat penegak hukum mempunyai pengertian yang
berbeda dengan istilah Justice collaborator yang dimaksud untuk menunjuk
pada seorang yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana.
Jika kita kembali kepada esensi politik hukum pidana itu
sendiri yang berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang
akan datang, dengan kata lain bahwa politik hukum pidana berusaha meneliti
perubahan-perubahan yang terjadi untuk dapat merumuskan kembali peraturan
perundang-undangan saat ini (Ius constitutum) menuju peraturan
perundang-undangan masa mendatang (Ius constituendum) sehingga peraturan
tersebut dapat berdayaguna dan berlaku secara efektif sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali definisi saksi mahkota
dan Justice collaborator itu sendiri, apakah kedua istilah tersebut
merupakan satu kesatuan sehingga pengaturannya dapat disatukan, ataukah kedua
istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri yakni untuk saksi mahkota dan Justice collaborator dalam
rumusan ketentuan yang berbeda sehingga tidak terjadi multi tafsir dalam
penerapannya oleh aparat penegak hukum.
Dengan demikian, dalam rangka pembaharuan hukum
pidana Indonesia khususnya hukum pidana formill (hukum acara pidana) berkaitan
dengan pengaturan Justice collaborator perlu dikaji dengan baik dan
cermat dengan meninjau kembali hakikat keberadaan dan peranan Justice
collaborator dalam peradilan pidana untuk dapat merumuskan menjadi suatu
kebijakan hukum pidana yang baik, sehingga politik hukum pidana berkaitan
dengan Justice collaborator dalam
peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi dapat mencapai sasaran yang
diinginkan guna memberantas tindak pidana korupsi dalam mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice
collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia belum mendapatkan pengaturan yang memadai untuk
menjadi landasan hukum bagi aparat penegak hukum. Hingga saat ini pengaturan
tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan
bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang
bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara pidana tertentu, sehingga SEMA tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya Undang-Undang.
2. Prospek pengaturan terhadap Justice
collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang
memiliki peluang yang besar mengingat peranannya yang sangat strategis dalam
mengungkap jaringan tindak pidana korupsi yang terorganisir. Langkah yang
ditempuh pemerintah saat ini yaitu dengan melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan menambahkan
ketentuan-kententuan yang mengatur tentang Justice collaborator.
Disamping itu juga pengaturan tentang Justice collaborator dapat dimasukkan
ke dalam draft revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan
terlebih dahulu merumuskan kembali definsi saksi mahkota dan Justice
collaborator dengan rumusan
yang tepat apakah kedua-duanya merupakan satu kesatuan atau kedua istilah
tersebut masing-masing berdiri sendiri sehingga tidak terjadi multi tafsir
dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum.
B. Saran-Saran
Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan
sebagaimana telah disimpulkan di atas, maka disarankan :
1. Kepada pemerintah dan DPR agar
segera membuat suatu kebijakan hukum pidana dalam bentuk Undang-Undang atau
melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait dalam hal ini
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Undang-undang tentang
perlindungan saksi yang memberikan pengaturan yang memadai terhadap Justice
collaborator dalam peradilan pidana dengan melakukan peninjauan kembali
tentang hakikat Justice collaborator secara cermat dan teliti guna
menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang baik sehingga dapat
memberikan dayaguna yang maksimal dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
2. Kepada aparat penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi, walaupun hingga saat ini belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang Justice collaborator, namun
kiranya dapat lebih memperhatikan keberadaan Justice collaborator serta
dapat memberikan perlindungan yang optimal sehingga keberadaan Justice
collaborator dalam peradilan pidana dapat memberikan peran yang maksimal
dalam mengungkap tindak pidana dan pelaku utama lainnya dalam jaringan tindak
pidana terorganisir.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdul
Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2011.
Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2010.
Aloysius
Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1999.
Andi
Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rieneka Cipta, 2008.
Andi Hamzah, Pemberantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.
Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2010.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Brian A. Garner et
all, ed, Black Law Dictionary (7th Ed), St. Paull : West
Group, 1999.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta : Kencana, 2008.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1998.
Firman Wijaya, Whistle
Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta : Penaku,
2012.
Hasan
Sadily et all, ed, Ensiklopedi Indonesia (Jilid 4) , Jakarta : Ichtiar
Baruvan Hoeve dan Elsecier Publishing Project, 1983.
Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2010.
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia ; Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, Bandung
: PT. Alumni, 2007.
Moempoeni
Martojo, Politik Hukum dalam Sketsa, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP,
2000.
Moh.
Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama
Media, 1999.
Romli
Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Internasional, Bandung : Mandar Maju, 2004.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta :
Balai Pustaka, 2001.
Sudarsono, Kamus Hukum,
Jakarta : Rineka Cipta,1992.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,
Bandung : Alumni, 1986.
Syaiful Bakhri, Pidana
Denda dan Korupsi, Yogyakarta : Total Media, 2009.
Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2005.
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi
Hukum, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.
B. Artikel, Jurnal, Makalah, Modul dan
Penelitian
Edward O.S Hiariej, Pembuktian
Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi : Pidato Pengukuhan Guru
Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada, 2012.
Febriansyah, et all, Laporan
Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi Koordinasi dan
Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta : Indonesia
Corruption Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations
Office on Drugs and Crime), 2011.
Gabriel Francius
Silaen, Peranan Justice Collaborator Dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good
Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Jakarta : Penerbit
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002.
Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama
(Justice Collaborator), : Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan
Korban, Jakarta : Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, 2011.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011,
tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Pidana
Tertentu.
Peraturan Bersama Penegak Hukum dan LPSK tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
[33] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2001, hlm 597
[34] Sudarsono, Kamus
Hukum, Jakarta : Rineka Cipta,1992, hlm 221.
[37] Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia ; Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, Bandung : PT.
Alumni, 2007, Hlm 78.
[38] Sudarto, Hukum dan Hukum
Pidana, Bandung : Alumni, 1986, hal. 115.
[39] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, Hlm 72-73.
Terima kasih ilmunya, monggo mampir di http://santhoshakim.blogspot.co.id/
BalasHapusQQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!