Selasa, 25 Maret 2014

KONSTRIBUSI PIDANA ISLAM DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

KONSTRIBUSI PIDANA ISLAM DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL


BAB  I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
         Salah satu agenda penting dalam pembangunan hukum di Indonesia dewasa ini adalah masalah pembaharuan hukum pidana. Ada beberapa alasan yang merupakan latar belakang pentingnya kebijakan mengenai pembaharuan hukum pidana tersebut, antara lain, pertama dilihat dari segi historis-politis, bahwa KUHP yang berlaku sekarang ini adalah warisan dari masa Hindia-Belanda yang diciptakan dan diformat untuk suatu masyarakat kolonial dengan norma-norma yang disesuaikan dengan jamannya. Setelah Negara Republik Indonesia merdeka, sudah seharusnya jika kita memiliki KUHP Nasional yang sesuai dengan jaman, kebutuhan dan aspirasi dari suatu bangsa yang merdeka. Selain itu, dimaksudkan sebagai manifestasi dari semangat nasionalisme yang menunjukan kedaulatan secara politis maupun secara yuridis.
         Kedua, secara sosiologis, KUHP yang mulai berlaku sejak tahun 1918 dan hingga saat ini, bahwa dalam rentang waktu yang demikian lama itu, adalah wajar jika diasumsikan telah terjadi banyak perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia tempat KUHP produk kolonial tersebut berlaku. Konsekuensinya, berbagai norma yang terdapat di dalamnya lambat laun akan menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat pada jaman sekarang ini dan kurang mencerminkan nilai-nilai yang menjadi falsafah hidup yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Untuk kepentingan aktualisasi nilai-nilai sosiologis yang memerlukan pengaturan hukum inilah yang menjadi pendorong perlunya diadakan pembaharuan hukum pidana yang lebih mengakar pada nilai-nilai falsafah hukum bangsa kita sendiri.
         Ketiga, secara praktis, KUHP yang berlaku sekarang ini dimana nama aslinya adalah W.v.S–N.I (Wetboek van Strafrect voor Nederlands Indie), adalah fakta bahwa sampai saat ini pemerintah Republik Indonesia belum pernah menerbitkan suatu buku terjemahan dari W.v.S–N.I yang bersifat resmi sebagai pedoman, sehingga akibatnya dalam masyarakat banyak beredar KUHP terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh para pakar hukum pidana menurut pemikirannya masing-masing ditinjau dari segi susunan bahasa atau kalimat, sehingga selalu terdapat perbedaan-perbedaan karena pemahaman orang terhadap spirit dan makna bahasa hukum Belanda yang ada dalam W.v.S–N.I juga berbeda-beda pula.
         Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersama-sama diperbaharui, bila hanya salah satu bidang saja yang diperbaharui sedang bidang yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan pembaharuan secara keseluruhan tidak akan tercapai yakni untuk penanggulangan kejahatan. Hal ini mengingat ketiga bidang hukum tersebut saling terkait secara erat serta harus saling menunjang dalam rangka pencapaian tujuan.
         Ditinjau dari segi political will, usaha perancangan KUHP nasional sebagai salah satu wujud dari pembaharuan hukum pidana materiil, sebenarnya telah dilaksanakan secara cukup intensif oleh pemerintah. Secara garis besar, konsep rancangan KUHP Nasional yang selama ini pernah tersusun antara lain : Konsep Rancangan KUHP tahun 1964, Konsep Rancangan KUHP tahun 1968, Konsep Rancangan KUHP tahun 1971/1972, Konsep Rancangan KUHP tahun 1975, Konsep Rancangan KUHP tahun 1982/1983, Konsep Rancangan KUHP tahun 1991/1992, Konsep Rancangan KUHP tahun 1999/2000, Konsep Rancangan KUHP 2004-2008 dan yang terbaru Konsep Rancangan KUHP 2010, dimana hingga saat sekarang ini apa yang disebut dengan KUHP Nasional tersebut masih saja merupakan suatu konsep yang belum final dan sedang mengalami penyempurnaan-penyempurnaan naskah akademik sebelum nantinya akan diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dan disahkan menjadi undang-undang.
         Dari berbagai rancangan KUHP Nasional tersebut, menunjukan bahwa perubahan waktu dengan berbagai peristiwa yang mengandung aspek hukum selalu berdampak pada perubahan pemikiran mengenai pembaharuan hukum pidana. Implikasinya ialah hampir tiap tahun rancangan KUHP yang ada secara materiil selalu mengalami perubahan baik tentang substansinya, formulasinya maupun sistematikanya. Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan politis, filosofis dan pertimbangan praktis yang menjadi alasan dilakukannya pembaharuan KUHP, sehingga perumusan ketentuan dalam KUHP Nasional nantinya benar-benar telah merupakan produk hukum sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia.
         Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang kemudian timbul adalah apa sajakah bahan-bahan hukum yang sekiranya dapat dijadikan sumber perumusan dalam pembaharuan hukum pidana agar hukum yang lahir nanti benar-benar mencerminkan kehidupan Bangsa Indonesia. Mengingat bahwa berdasarkan pengalaman historis produk-produk hukum yang telah ada selama ini, dalam kehidupan hukum di Indonesia realitasnya telah berkembang berbagai sistem hukum secara bersamaan, seperti sistem hukum yang bersumber dari produk-produk hukum barat (kolonial Belandad), berbagai macam hukum adat dan hukum agama, salah satunya adalah  hukum Islam.
         Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang mayoritas memeluk agama Islam, mempunyai kedudukan yang penting dan strategis. Hukum Islam merupakan salah satu dari bahan baku dalam pembangunan hukum nasional, dan oleh karena itu ia perpeluang untuk menjadi hukum nasional dengan cara berkompetisi dengan sumber-sumber hukum nasional yang lainnya secara demokratis. Bangsa Indonesia dapat memilah milih sumber-sumber bahan baku hukum nasional tersebut dan mengambil hukum yang paling bermanfaat, dan yang paling sesuai dengan nilai-nilai keadilan bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.
         Berdasarkan uraian di atas, maka keberadaan hukum Islam atau lebih khusus lagi hukum pidana Islam sebagai salah satu aspek/nilai dari ajaran yang di anut dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia adalah wajar mendapat perhatian yang besar dalam pembaharuan hukum pidana nasional yang sedang dilaksanakan dewasa ini. Permasalahan inilah yang hendak dikaji dan di analisis oleh penulis. mengenai peluang keberadaan hukum pidana Islam dalam memberikan konstribusi sebagai sumber bahan bagi pembaharuan hukum pidana nasional dalam hal ini hukum pidana materiil (KUHP) yang sedang berlangsung, mengingat bahwa KUHP Nasional sebagai hukum publik nantinya akan berlaku terhadap seluruh warga Negara Indonesia termasuk pula kaum muslimin Indonesia yang keberadaannya bersifat mayoritas, sehingga perlunya suatu kebijakan  (policy) dalam mengakomodir dan memanifestasikan nilai-nilai hukum pidana Islam menjadi hukum pidana Nasional.

B.   Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimanakah konstribusi pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana Nasional mengenai rumusan tindak pidana ?
     
C.  Tujuan Penulisan
                Tujuan penulisan makalah ini adalah :untuk mengetahui konstribusi pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana Nasional mengenai rumusan tindak pidana.

D.  Manfaat Penulisan
                Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang konstribusi pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana Nasional mengenai rumusan tindak pidana.

BAB II
KERANGKA TEORI


A. Pengertian Hukum Pidana Islam
               Hukum pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam secara keseluruhan, dan hukum Islam itu sendiri sesungguhnya adalah hanya bagian dari syari’ah Islamiyah sebagai suatu ajaran agama. Berdasarkan hal di atas, maka sebelum membahas tentang pengertian dari istilah hukum pidana Islam, perlu kiranya lebih dahulu dipahami tentang adanya perbedaan antara istilah hukum Islam dengan istilah syari’ah Islam yang dalam bahasa sehari-hari sering disamakan maknanya. Padahal apabila diperhatikan baik dari segi etimologi (bahasa) maupun dari segi terminologi (definisi), sesungguhnya kedua istilah tersebut memiliki perbedaan arti. Dalam khasanah literatur klasik, istilah hukum Islam sering kali disebut dengan nama Fiqih Islam. Oleh karena itu pembahasan berikut ini akan di arahkan kepada pemahaman perbedaan antara istilah syari’ah Islam dengan istilah Fiqih Islam untuk menegaskan mana yang tepat di antara dua istilah itu yang menunjukan arti hukum Islam.
                Tinjauan etimologis, arti syari’ah yang berasal dari kata Syaro’a, adalah jalan tempat keluarnya air untuk minum. Kemudian bangsa Arab menggunakan kata ini untuk konotasi jalan yang lurus. Pada saat dipakai dalam pemahasan hukum, menjadi bermakna segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya sebagai jalan lurus untuk memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat[1]. Secara terminologis, Muhammad Ali at Thanawi memberikan arti istilah syari’ah yaitu mencakup seluruh aspek ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang pokok berupa aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah. Istilah syari’ah sering juga disebut dengan nama-nama lain seperti syara, milah dan al-dien. Jadi, substansi istilah syari’ah Islamiyah tidak semata-mata membicarakan masalah hukum menurut perspektif Islam, akan tetapi lebih luas dari itu yakni berbicara pula masalah-masalah aqidah, akhlaq dan mua’malah dalam arti luas menurut Islam.[2]
                Selanjutnya, istilah fiqih, secara etimologis memiliki makna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.[3] Sedangkan secara terminologis, fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang diperoleh melalui pengkajian terhadap dalil-dalilnya yang terperinci.[4] Sesuai dengan definisi/makna fiqih yang demikian, setidaknya ada dua objek kajian, yaitu pertama, hukum-hukum syara’yang bersifat amaliah. Dengan demikian norma-norma agama yang berkaitan dengan aspek aqidah tidak termasuk objek kajian fiqih. Selanjutnya obyek kajian kedua, yaitu dalil-dalil (dasar hukum) terperinci yang berasal dari Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai dua sumber utama hukum Islam yang menunjuk suatu kajian atau masalah tertentu.
                Berdasarkan arti kata dan definisi-definisi seperti telah di uraiakan di atas, maka dapat diperoleh penegasan bahwa istilah yang tepat menunjuk kepada arti hukum Islam sesungguhnya hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan ajaran Islam (Syari’ah Islamiyah) yang mencakup beberapa bidang pokok sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan kata lain, fiqih Islam sesungguhnya hanya merupakan sebagian dari syariah Islam.
                Hukum Islam atau Fiqih Islam, seperti termaktub dalam definisi di atas adalah bagian dari syari’at atau ajaran agama khususnya yang berupa aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan manusia (bersifat amaliah). Oleh karena itu, maka substansi hukum Islam merupakan norma yang memberikan regulasi bagi perikehidupan dan tingkah laku manusia secara menyeluruh, mencakup segala macam aspeknya. Hubungan manusia dengan Tuhan (Allah), di atur dalam bidang atau bagian hukum Islam yang disebut Ibadat. Hubungan manusia dengan sesamanya di atur dalam bidang atau bagian hukum Islam yang dinamakan Mu’amalat (dalam arti luas) baik yang bersifat perorangan (privat) maupun yang bersifat umum (publik), seperti perkawinan, pewarisan, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, kepidanaan, peradilan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
                Dalam hubungan ini, secara detil Musthofa Ahmad Al-Zarqa[5] menyebutkan aspek-aspek atau bagian-bagian dari hukum Islam yang secara keseluruhan berjumlah 7 (tujuh) kelompok/kategori/bagian, yaitu :
      1.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah, seperti sholat, puasa, haji,   bersuci dari hadats dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut hukum ibadah.
      2.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan keluarga, seperti perkawinan,               perceraian, hubungan keturunan (nasab), nafkah keluarga, kewajiban anak terhadap orang tua dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut hukum keluarga atau Al-Ahwal Asy-Syakshiyah.
      3.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, gadai, hibah dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut hukum Mu’amalah (dalam arti sempit).
      4.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara, seperti hubungan penguasan dengan rakyat, pengangkatan kepala negara, hak dan kewajiban penguasa dan rakyat secara timbal balik dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut Al-Ahkam As-Sulthaniyah atau dinamakan pula As-Siyasah Asy-Syari’ah yang mencakup hal-hal yang dibahas dalam hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan sebagaimana dikenal dewasa ini.
      5.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepidanaan seperti macam perbuatan pidana dan           ancaman sanksi pidana, masalah pertanggungjawaban pidana dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut Al-Uqubah atau lebih sering disebut juga Al-Jinayah.
      6.      Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara-negara lain, yang         terdiri dari aturan-aturan tentang hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang. Kelompok hukum ini disebut Al-Ahkam Al Dauliyah atau disebut juga As-Sair.
      7.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik dan buruk, seperti       mempererat hubungan persaudaraan, mendamaikan orang yang sedang berselisih dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut Al Adab (hukum sopan santun atau lebih dikenal dengan sebutan akhlak).
                                     
               Berdasarkan penjabaran tentang aspek-aspek atau bagian-bagian dari hukum Islam yang berjumlah tujuh di atas, diketahui bahwa hukum pidana Islam adalah hanya salah satu bagian saja dari hukum Islam secara keseluruhan yang secara khusus berisi mengenai rambu-rambu normatif (ketentuan) tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh dilakukan/bersifat terlarang yang biasa disebut jarimah, serta ketentuan tentang ancaman pidana-pidana tertentu (biasa disebut uqubah) yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melanggar perbuatan terlarang tersebut. Tentu saja seperti halnya masalah-masalah dasar yang biasa dibahas dalam hukum pidana secara umum, selain kedua masalah dasar di atas hukum pidana Islam juga berisi prinsip-prinsip mengenai pertanggungjawaban pidana yang merupakan syarat dapat dipidananya orang-orang yang telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan terlarang.
                Istilah hukum pidana Islam dikenal dengan istilah jinayat, ma’shiyyat dan jarimah. Ketiga istilah tersebut dalam konteks hukum positif maknanya kurang lebih sama dengan istilah yang telah kita kenal dengan nama hukum pidana, hanya saja hukum pidana yang dimaksud disini adalah menurut perpektif Islam atau Hukum Pidana Islam.[6] Istilah jinayat dalam literatur fiqh berarti perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syara’ (hukum) baik perbuatan itu mengenai jiwa seseorang (sebagai sasaran) atau mengenai harta ataupun mengenai selain kedua hal tersebut. Sehingga istilah tersebut hanya mencakup perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan, sedangkan unsur ancaman sanksi pidana sama sekali tidak tercakup dalam definisi istilah jinayat sehingga tidak tepat di artikan sebagai hukum pidana Islam.
                Selanjutnya, istilah Ma’shiyyat berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syari’at (hukum) dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang justru diwajibkan oleh syari’at (hukum), sehingga istilah Ma’shiyat hanya mencakup unsur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan.[7] Sedangkan istilah ketiga yakni Jarimah, secara terminologis Al-Mawardi berarti larangan-larangan syar’i (perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan) yang pelakunya diancam oleh Allah dengan pidana hadd atau Ta’ziir sehingga istilah jarimah memiliki persamaan dengan kata hukum pidana yang kedua-duanya mencakup dua unsur pokok yaitu unsur-unsur tentang perbuatan-perbuatan tertentu yang terlarang menurut aturan hukum dan kedua tentang ancaman pidana tertentu. [8]
                Berdasarkan uraian-uraian mengenai definisi ketiga istilah di atas, dapat ditegaskan bahwa sesungguhnya istilah yang paling tepat menunjuk kepada arti hukum pidana Islam adalah istilah jarimah, bukan ma’shiyyat ataupun jinayat. Sekalipun khususnya istilah jinayat tersebut sangat populer diartikan oleh para penulis Indonesia dengan arti hukum pidana Islam.

B.   Sumber Hukum Pidana Islam
                Hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam secara keseluruhan, pada prisipnya memiliki sumber-sumber aturan hukum yang sama dengan bagian/bidang-bidang hukum lain yang ada dalam lingkup keseluruhan hukum Islam tersebut.
                Secara umum, sebagian besar ahli hukum Islam telah sepakat bahwa sumber-sumber aturan hukum Islam terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah (Hadist), dan ijtihad. Ketiga sumber hukum ini bersifat mengikat atau wajib diikuti. Adapun urutan-urutan penyebutan, menunjukan urut-urutan kedudukan dan kepentingannya. Artinya apabila sesuatu peristiwa tidak terdapat hukumnya dalam Al-Qur’an maka harus dicari dalam As-Sunnah, apabila tidak terdapat pula dalam As-Sunnah maka dicari ketentuan hukumnya maka baru dicari melalui ijtihad.
                Dasar hukum atau dalil yang menunjukan ke empat sumber hukum (Al-Qur’an, Hadist, dan ijtihad) tersebut harus menjadi referensi dalam pembentukan hukum Islam, dapat dipahami dari interpretasi ketentuan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

        Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

               Berdasarkan ayat di atas, diketahui bahwa perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah mengandung arti perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan Al Hadist (As-Sunnah). Karena garis-garis kebijakan hukum Allah dan Rasul-Nya telah dimanifestasikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist tersebut. Kemudian perintah mengikuti Ulil Amri diantara muslimin, artinya adalah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (di-Ijma’) oleh para mujtahidin (pembaharu hukum Islam), karena mereka itulah Ulil Amri bagi umat Islam dalam pembentukan hukum Islam. Sedangkan perintah agar mengembalikan status hukum dari persoalan-persoalan yang di dalamnya ada pertentangan (pendapat) diantara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya, mengandung arti bahwa pemberian status hukum terhadap persoalan-persoalan baru yang masih diperselisihkan  tersebut hendaknya mengacu kepada prinsip-prinsip hukum yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya melalui nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini berarti umat Islam dituntut untuk mempergunakan akal pikirannya secara sungguh-sungguh dalam rangka upaya memecahkan setiap problema hukum yang dihadapi.
                Secara metodologis, penggunaan akal pikiran dengan sungguh-sungguh yang seringkali dinamakan ijtihad tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang antara lain berupa metode qiyas. Dalam konteks pemikiran yang demikian, maka qiyas sebagai suatu metode ijtihad, artinya ialah menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada sesuatu persoalan yang sudah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, karena keduanya memiliki kesamaan ‘illat (sebab ditetapkannya) hukum.[9]
                Jadi berdasarkan pemikiran di atas, maka dapat dipahami bahwa pembentukan hukum Islam yang tidak didasarkan secara langsung pada nash-nash tekstual yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi dilakukan dengan cara memberikan interpretasi-interpretasi kontekstual terhadap nash, sesungguhnya cara-cara demikian ini merupakan pekerjaan-pekerjaan ijtihad yang dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam telah melahirkan beragam macam cara (metode).  Dengan kata lain, diluar Al-Qur’an dan As-Sunnah, apapun namanya baik itu disebut dengan ijma’, qiyas, istishlah, istihsan, istishab dan sebagainya, semua itu hanyalah merupakan metode/cara orang berijtihad (menggunakan akal pikiran secara sungguh-sungguh untuk menemukan hukum dari suatu persoalan baru yang tidak ditemukan dalam nash).[10]
                Oleh karena itu yang sesungguhnya merupakan sumber hukum Islam secara umum, atau yang merupakan sumber hukum pidana Islam secara khsusus ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijtihad itu sendiri. Hanya saja berijtihad atau menggunakan akal pikiran secara sungguh-sungguh dengan berbagai metode untuk menemukan atau membentuk hukum Islam tersebut harus tetap berorientasi kepada prinsip-prinsip hukum yang telah digariskan dalam nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah, sesuai dengan perintah Allah dalam Surat An-Nisa ayat 59, juga dijelaskan dalam sebuah hadist yang isinya menggambarkan adanya dialog hukum antara Nabi Muhammad S.A.W dengan salah seorang sahabatnya bernama Mu’az bin Jabal.
                Diceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad S.A.W akan mengutusnya ke Yaman untuk tugas dakwah Islamiyah, beliau bertanya : Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara untuk diputusi ? Mu’az menjawab : saya akan memutus atas dasar ketentuan dalam kibat Allah (Al-Qur-an). Nabi bertanya lagi : Jika dalam kitab Allah tidak kau jumpai ketentuannya, bagaimana ? Mu’az menjawab : Dengan Sunnah Rasulullah. Nabi bertanya lagi : Jika dalam Sunnah Rasulullah pun tidak kau jumpai ketentuannya, bagaimana ? Mu’az menjawab : saya akan berijtihad dengan menggunakan fikiranku, dan tidak akan saya biarkan perkara itu tanpa putusan apapun. Mendengar jawaban Mu’az demikian, Nabi kemudian menepuk dadanya seraya berkatka : Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah dengan hal yang melegakan hati Rasulullah.[11]
                Berdasarkan hadist tentang dialog antara Nabi dengan sahabatnya Mu’az tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber-sumber hukum Islam (dalam hal ini khususnya sumber hukum pidana Islam), pada prinsipnya adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Adapun terhadap hal-hal/persoalan-persoalan yang tidak terdapat dalam ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dapat diperoleh ketentuan hukumnya dengan menggunakan fikiran yang disebut ijtihad, sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad bisa dipandang sebagai sumber hukum pidana Islam yang ketiga yang mana dalam prakteknya dapat dilakukan dengan berbagai macam metode, seperti ijma, qiyas, istishlah, istihsan, istishab dan sebagainya. 

C. Tujuan Hukum Pidana Islam
               Ada perlunya kita mengetahui tujuan hukum Islam oleh karena tujuan itulah yang kemudian dijelmakan dalam peraturan perundang-undangan Islam termasuk hukum pidana Islam.[12] Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberi pedoman hidup kepada manusia yang bersifat menyeluruh dan meliputi segala aspeknya untuk mencapai kebahagiaan hidup jasmani-rohani, individual-sosial serta dunia-akhirat. Dalam rangka mencapai tujuan esensial hidup manusia di atas, maka hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam juga memuat garis-garis kebijakan tentang tujuan disyari’atkan hukum Islam tersebut (Al-Maqaashidun al-Tasyri’iyah).
                Menurut Ibnu Qoyyim[13], hukum Islam itu bersendi dan berasas atas hikmat dan kemashlahatan (kebaikan) manusia dalam hidupnya di dunia dan di akhirat. Esensi syari’at adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemashlahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Oleh karena itu, maka setiap persoalan yang keluar dan menyimpang dari keadilan menuju keaniyaan, keluar dan menyimpang dari kasih sayang menuju permusuhan, keluar dan menyimpang dari kemashlahatan menuju kerusakan, keluar dan menyimpang dari kebijaksanaan menuju kepada kesia-siaan, bukalah syari’at. Hakekat syari’at adalah keadilan Allah ditengah-tengah hamba-hamba-Nya dan kasih sayang Allah diantara makhluk-Nya.
                Dalam paparan yang lebih rinci, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa disyari’atkannya ketentuan-ketentuan hukum Islam kepada orang-orang mukallaf (yaitu orang-orang yang telah memenuhi kriteria layak dibebani berlakunya hukum Islam), adalah dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dlorurie (primer), hajjie (sekunder) maupun yang tahsinie (tersier).[14]
              Adapun yang dimaksud dengan ketentuan yang bersifat dloruri adalah ketentuan-ketentuan/aturan-aturan yang dimaksudkan untuk memelihara terpenuhinya kepentingan hidup manusia yang bersifat primer/pokok. Seandainya aturan-aturan hukum dloruri tersebut tidak dipatuhi, maka manusia akan dihadapkan pada berbagai mafsadah (kerusakan dan kesukaran). Dalam pandangan Islam, hal-hal yang bersifat primer bagi kemashlahatan hidup manusia itu berpangkal pada upaya memelihara lima perkara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[15]
                Dalam konteks hukum pidana Islam, tuntutan agama melalui aturan-aturan hukum dloruri agar manusia mentaati norma-norma pemelihara lima hal kebutuhan primer manusia supaya tidak terjerumus pada mafsadah tersebut, secara logika dapat dijelaskan sebagai berikut :
      1.   Memelihara Agama.
                      Agama sebagai kebutuhan primer pertama, bagi kehidupan manusia adalah hal yang sangat penting karena dengan kehadiran agama manusia menjadi tahu mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Oleh agama, manusia diarahkan bagaimana ia harus menjalani hidup dan bagaimana ia harus membangun hubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan dengan alam. Dengan kata lain, tanpa agama, manusia tidak akan tahu atau bahkan tidak mau tahu perbedaan mengenai hal-hal yang baik dan buruk, benar dan salah sehingga manusia dapat berbuat sekehendak hati dengan selalu memperturutkan hawa nafsunya.
                      Menyadari urgensi kehadiran dan peran ajaran agama yang demikian ini, maka sangat wajar apabila Islam menempatkan eksistensi agama bagi manusia sebagai kebutuhan hidup yang fundamental. Dalam rangka memelihara eksistensi agama yang demikian penting bagi kemashlahatan hidup manusia, maka Islam menetapkan hukum-hukum yang antara lain berupa hukum pidana Islam tentang jarimah Riddah (tindak pidana pelecehan agama, penyesatan agama dan sejenisnya) dengan ancaman sanksi pidana yang amat berat.

      2.    Memelihara Jiwa.
                      Kebutuhan primer bagi kemashlahatan hidup manusia yang kedua menurut Islam yakni terpeliharanya jiwa (hak hidup), dapat dipahami karena hak hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental diantara hak-hak asasi yang lainnya. Hidup adalah anugerah Tuhan yang menjadi sumber dari gerak dinamika manusia.
                      Oleh karena itu Allah S.W.T sangat tegas melarang tindak pembunuhan yang merupakan pelenyapan hak asasi paling mendasar ini sebagaimana tercermin pada berbagai ketentuan dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam Surat Al-Isra ayat 33 sebagai berikut :
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur Ÿ@ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß Ÿxsù ̍ó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ

          Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

                             Menyadari arti penting jiwa atau hak hidup bagi keberadaan manusia tersebut dan betapa umat manusia akan musnah apabila tidak ada upaya untuk melindunginya, maka Islam menetapkan hukum yang berupa ketentuan pidana mengenai jarimah Qishash dengan ancama sanksi pidana Qishash sebagaiman di atur dalam Surat Al-Baqarah  ayat 178-179, sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ
          Artinya : 178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. 179.  Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
     
      3.   Memelihara Akal Pikiran
                      Hal primer ketiga bagi kehidupan manusia menurut Islam ialah terpeliharanya akal pikiran. Konsepsi yang demikian ini adalah karena mengingat akal merupakan sendi atau dasar bagi adanya taklif (pembebanan kewajiban) hukum. Oleh karena itu bagi orang-orang yang tidak sehat akalnya atau tidak terpelihara kesucian pikirannya, ia tidak tersentuh kewajiban-kewajiban/ketentuan hukum.
                      Menyadari urgensi kedudukan akal dalam kehidupan manusia di atas, maka sangat relevan apabila Islam memandang sebagai hal yang primer dan berupaya untuk melindunginya melalui salah satu ketentuan hukum yaitu berupa hukum idana tentang jarimah syurbah (tindak pidana minuman keras). Karena tindakan mengkonsumsi minuman keras dapat berakibat rusaknya kesehatan akal pikiran manusia, sedangkan akal pikiran yang tidak sehat akan membatalkan taklif hukum. Disamping itu, orang yang mabuk karena minuman keras juga sangat potensial melahirkan perilaku-perilaku destruktif secara sosial seperti merusak barang orang lain, mengganggu ketenangan umum, mudah menfitnah orang dalam ketidaksadarannya dan lain sebagainya.

      4.   Memelihara Keturunan
                      Hal primer keempat bagi kehidupan manusia menurut Islam ialah terpeliharanya kesucian keturunan manusia. Pandangan demikian ini mengingat kesucian keturunan merupakan salah satu hal yang menunjukan tingginya martabat manusia dan sekaligus membedakannya dengan derajat kebinatangan. Apabila manusia boleh (bebas) mengembangbiakkan keturunan tanpa melalui rambu-rambu hukum yang mengabsahkan hubungan tersebut, maka kondisi yang demikian akan menurunkan derajat dan kehormatan manusia. Disamping itu, pengembangan keturunan dengan cara melakukan hubungan secara bebas akan berdampak pada ketidakjelasan/kaburnya garis keturunan manusia.
                      Menyadari urgensi kesucian keturunan manusia di atas, maka ajaran Islam menggariskan ketentuan-ketentuan hukum yakni berupa hukum pidana tentang larangan orang berzinah (jarimah zinah) dengan ancaman pidana yang sangat keras bagi yang melanggarnya.
                      Sebagaimana yang di atur dalam Surat An-Nuur ayat 2 sebagai berikut :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ

          Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

      5.    Memelihara Harta
                      Hal primer kelima bagi kehidupan manusia menurut Islam ialah terpeliharanya atau terjaminnya masalah harta atau hak milik. Secara logika mudah dipahami bahwa jaminan terhadap harta atau hak milik seseorang adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan bersama (masyarakat). Karena terpeliharanya hal tersebut akan menumbuhkan perasaan tenang dan tentram pada diri setiap individu/warga anggota masyarakat sehingga dapat menambah motivasi dalam usaha/bekerja untuk mempertahankan eksistensi hidupnya.
             Menyadari urgensi tentang perlunya jaminan atas terpeliharanya harta (hak milik) bagi kemashlahatan hidup manusia khususnya dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat, maka Islam menetapkan hukum yang dalam hal ini ialah berupa hukum pidana tentang jarimah Sirqoh (tindak pidana pencurian) dan jarimah Khirobah (tindak pidana perampokan). Dalam rangka mengkondisikan manusia secara paksa untuk mentaati larangan-larangan pencurian dan perampokan agar syari’at Islam lebih dapat terjamin masalah harta ini, maka pelanggar jarimah-jarimah tersebut diancam dengan pidana yang cukup berat sebagaimana telah ditentukan dalam Allah S.W.T dalam Surat Al-Maidah ayat 33, sebagai berikut :
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOŠÏàtã ÇÌÌÈ

               Artinya :  Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

                             Selanjutnya dalam Surat Al-Maidah ayat 38, sebagai berikut :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
                Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

                      Berdasarkan uraian tentang lima perkara yang dipandang ajaran Islam sebagai masalah-masalah primer bagi kemashlahatan hidup manusia di atas, maka dapat disimpulkan bahwa disyari’atkannya ketentuan-ketentuan hukum Islam sesungguhnya dimaksudkan untuk menjaga agar kemashlahatan hidup manusia tersebut dapat terwujud serta terus terpelihara dan sekaligus juga untuk mencegah timbulnya mafsadah atau kerusakan dalam hidup manusia itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan esensial dari pembentukan hukum Islam (termasuk hukum pidana Islam) adalah menciptakan kemashalatan atau kebaikan bagi kehidupan manusia dan mencegah terjadinya mafsadah atau kerusakan/kehancuran dalam hidup manusia.


BAB III
PEMBAHASAN


   Eksistensi hukum pidana Islam sebagai salah satu bahan yang dapat dikonstribusikan bagi upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia (c.q. KUHP) adalah sangat prospektif (berpeluang). Masalahnya adalah ajaran-ajaran hukum pidana Islam yang manakah yang dapat dikonstribusikan dan bagaimanakah cara yang ideal untuk mengimplementasikan konstribusi tersebut dalam suatu kebijakan legislatif (perundang-undangan).
   Secara teoritik, sering dipahami bahwa setidak-tidaknya  ada 3 (tiga) masalah dasar yang terdapat dalam ajaran hukum pidana, yaitu (1) masalah tindak pidana, (2) masalah pertanggungjawaban pidana dan (2) masalah sanksi pidana. Berdasarkan pemahaman yang demikian ini, maka persoalan substansi dari ajaran hukum pidana Islam yang prospektif untuk dikonstribusikan dalam pembaharuan hukum pidana (KUHP Nasional). Namun pada pembahasan dalam makalah ini hanya akan dipaparkan mengenai masalah tindak pidana menurut konsep pidana Islam yang kemudian akan dirumuskan implementasi konstribusinya dalam bentuk suatu kebijakan legislatif yakni KUHP Nasional.
   Sebelum membahas mengenai konstribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana Nasional, maka terlebih dahulu sebaiknya kita mengetahui hakekat tindak pidana menurut hukum pidana Islam. Menurut para ahli filsafat hukum Islam, setidaknya ada 5 (lima) hal/berkepentingan yang bersifat pokok (dloruri) mengenai perbuatan manusia yang harus menjadi pusat perhatian dan titik tolak setiap pengaturan hukum. Artinya, hukum Islam mengenai masalah apapun yang telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an, al-hadist maupun al-qonuun (perundang-undangan) ataupun yang masih akan ditetapkan sebagai respon yuridis terhadap problem-problem baru muncul dimasa mendatang, harus bersifat mendukung terhadap terwujudnya lima hal tersebut. Kelima hal yang merupakan kepentingan pokok ialah terpeliharanya masalah eksistensi agama, terjaminnya masalah hak hidup (jiwa) manusia, akal pikiran, keturunan dan terjaganya masalah hak milik (harta). Dengan kata lain secara ringkas disyariatkannya hukum-hukum Islam adalah dimaksudkan untuk terwujudnya kemashlahatan atau kebaikan dalam hidup manusia dan sekaligus untuk mencegah timbulnya mafsadah atau kerusakan dalam hidup manusia itu sendiri.
         Berdasarkan hal tersebut di atas, secara argumentatif a contrario  dapat disimpulkan bahwa perbuatan apa saja yang dapat menghambat/mencegah terwujudnya maksud disyari’atkan hukum Islam tersebut harus dinyatakan sebagai hal yang tercela/terlarang. Dalam konteks hukum pidana, perbuatan tercela/terlarang sering disebut sebagai  tindak pidana atau menurut hukum pidana Islam disebut  disebut dengan istilah jarimah.
         Dalam hubungan ini, Ahmad Hanafi menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, ‘iliat hukum atau dasar yang melatar belakangi diterapkannya suatu perbuatan sebagai tindak pidana (jarimah) adalah karena perbuatan tersebut bisa merugikan kepada tata aturan kehidupan masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan anggota-anggotanya (sebagai individu) atau harta-harta benda miliknya, atau nama baiknya, atau perasaan-perasaannya atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara.[16]
         Berbagai karakteristik dari perbuatan yang disebutkan Ahmad Hanafi di atas, esensinya adalah merupakan perbuatan yang dapat menghalangi tercapainya tujuan pokok persyari’atan hukum Islam khususnya yang berupa dar’ul mafaasid (mencegah timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia). Sebab perbuatan apapun yang dapat merugikan tata kehidupan masyarakat. Sebab perbuatan apapun yang dapat merugikan tata kehidupan masyarakat, anggota-anggotanya sebagai pribadi, harta benda miliknya dan lain-lain tersebut adalah perbuatan yang destruktif (ada unsur mafaasid-nya).
         Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian dan sifat hakiki dari tindak pidana menurut konsep Islam adalah perbuatan yang apabila dilakukan seseorang bisa menimbulkan mafsadah/kerusakan/kerugian atau bahaya bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota suatu komunitas/masyarakat. Konsep demikian ini di dasarkan atas ketentuan dalam surat Al-Baqarah ayat 195 yang berarti janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan. Selanjutnya dalam hadist nabi riwayat Imam Ahmad yang mengajarkan laa dlaraara wa laa dliraara artinya janganlah melakukan perbuatan yang membahayakan dirimu dan (terlebih lagi) yang membahayakan orang lain.
         Ajaran Al-Qur’an dan al-Hadist di atas apabila diimplementasikan dalam konteks hukum pidana maknanya ialah normaisasi hukum yang melarang (dengan label sebagai tindak pidana) terhadap segala macam perbuatan manusia yang dapat menimbulkan bahaya/kerusakan/kerugian baik terhadap diri pelaku maupun orang lain (dengan kata lain bahaya bagi kehidupan manusia). Meskipun normaisasi suatu perbuatan sebagai jarimah (tindak pidana) pada prinsipnya demikian, harus dipahami pula bahwa tidak selamanya suatu perbuatan yang dipandang sebagai tindak pidana dimana pelakunya dapat dikenai suatu ancaman pidana adalah selalu bersifat merugikan semua pihak dan pelarangannya selalu bisa diharapkan akan mendatangkan mashlahat bagi semuanya. Pertimbangan utama menurut hukum Islam dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai jarimah (tindak pidana) adalah bukan karena segi keuntungan yang mungkin bisa dialami oleh perseorangan dan bukan pula karena segi kerugian yang bisa dialami pelaku tindak pidana pada saat sanksi pidananya ditegakan. Pelarangan terhadap suatu perbuatan sebagai tindak pidana adalah karena perbuatan tersebut merugikan atau paling tidak akan membawa kerugian bagi masyarakat.
         Setelah mengetahui hekekat tindak pidana menurut pandangan hukum pidana Islam, maka selanjutnya kita membahas dasar hukum penetapan tindak pidana menurut pandangan Islam. Dalam hukum pidana Islam, masalah dasar hukum untuk menilai dan menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dikenal dengan ajaran tentang asas legalitas. Inti asas ini sering diartikan sebagai prinsip hukum pidana yang mengajarkan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan seseorang tidak boleh dipandang sebagai tindak pidana dan pelakunya juga tidak boleh dijatuhi suatu pidana kecuali sebelum perbuatan itu terjadi sudah ada hukum yang mengaturnya demikian. Jadi hukum yang berisi ketentuan mengenai larangan suatu perbuatan dilakukan harus telah ada terlebih dahulu sebelum perbuatan itu benar-benar terjadi/dilakukan seseorang.
         Dalam konsep Islam, ajaran mengenai asas legalitas tersebut dapat diketemukan penegasannya dalam beberapa surat dan ayat Al-Qur’an antara lain dalam Surat Al-Isra ayat 15 sebagai berikut :
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya : Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.

         Selanjutnya dalam Surat Al-Qashash ayat 59, sebagai berikut :
$tBur tb%x. y7/u y7Î=ôgãB 3tà)ø9$# 4Ó®Lym y]yèö7tƒ þÎû $ygÏiBé& Zwqßu (#qè=÷Gtƒ öNÎgøŠn=tæ $uZÏF»tƒ#uä 4 $tBur $¨Zà2 Å5Î=ôgãB #tà)ø9$# žwÎ) $ygè=÷dr&ur šcqßJÎ=»sß ÇÎÒÈ
Artinya : Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.

         Kemudian dalam Surat Al-An’am ayat 19, sebagai beriktu :
ö@è% r& >äóÓx« çŽt9ø.r& Zoy»pky­ ( È@è% ª!$# ( 7Íky­ ÓÍ_øŠt/ öNä3oY÷t/ur 4 zÓÇrré&ur ¥n<Î) #x»yd ãb#uäöà)ø9$# Nä.uÉRT{ ¾ÏmÎ/ .`tBur x÷n=t/ 4 öNä3§Yάr& tbrßpkôtFs9 žcr& yìtB «!$# ºpygÏ9#uä 3t÷zé& 4 @è% Hw ßpkô­r& 4 ö@è% $yJ¯RÎ) uqèd ×m»s9Î) ÓÏnºur ÓÍ_¯RÎ)ur Öäü̍t/ $®ÿÊeE tbqä.ÎŽô³è@ ÇÊÒÈ
Artinya : Katakanlah: "Siapakah yang lebih Kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".

            Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat diketahui bahwa betapa Islam sangat menekankan masalah legalitas dalam ajaran hukumnya tersebut. Hal demikian ini karena asas tersebut bersentuhan langsung dengan masalah perasaan keadilan dalam diri manusia. Maksudnya, apabila seseorang sebelumnya sama sekali tidak pernah mendengar atau mengetahui tentang adanya suatu atura hukum yang mengganggap perbuatan tertentu sebagai jarimah (terlarang dan dapat dipidana), kemudian orang tersebut benar-benar dipidana setelah melakukan perbuatan tertentu yang tidak diketahuinya tadi, maka hal demikian tentu merupakan suatu ketidak-adilan. Dengan dianutnya ajaran tentang asas legalitas, maka macam-macam tindak pidana dan sanksinya akan dapat diketahui dengan jelas dan pasti, sehingga dengan demikian orang akan berhati-hati agar jangan sampai melakukan tindak pidana karena akan berakibat penderitaan terhadap dirinya yaitu manakala sanksi pidana yang hakekatnya suatu nestapa dikenakan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
         Dalam hukum pidana Islam, pengertian aturan hukum yang biasa disebut dengan istilah nash adalah mencakup aturan-aturan hukum yang bersifat tertulis (baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an, al hadist atau al qonun/perundang-undangan yang ditetapkan oleh penguasa), dan juga mencakup aturan-aturan hukum yang bersifat tidak tertulis yakni yang berupa prinsip pokok disyari’atkannya hukum Islam. Dengan kata lain asas legalitas yang merupakan prinsip untuk menilai apakah suatu perbuatan itu terlarang atau tidak menurut ajaran hukum pidana Islam baik legalitas dalam pengertian formal berdasarkan hukum tertulis yaitu Al-Qur’an, al hadist dan al qonuun maupun legalitas dalam pengertiaanya yang materiil (berdasarkan aturan hukum tidak tertulis yaitu berwujud prinsip pokok tasyri’ Islam yaitu untuk mencegah kerusakan atau bahaya dan menciptakan kemashlahatan atau kebaikan dalam kehidupan umat manusia.
         Selanjutnya pada tataran aplikasi, hukum pidana Islam membedakan penerapan asas legalitas ini dikaitkan dengan kategori jenis perbuatan yang akan dinilai sebagai tindak pidana. Maksudnya, untuk menilai perbuatan-perbuatan yang dipandang sangat membahayakan dan mempengaruhi keamanan serta ketentraman masyarakat luas sebagai jarimah (tindak pidana), konsep Islam menerapkan asas legalitas ini secara ketat. Artinya, tidak bisa tidak harus didasarkan pada nash atau aturan hukum yang bersifat formal (tertulis) yang terlebih dahulu ada sebelum perbuatan itu terjadi. Adapun perbuatan-perbuatan yang memiliki kategori demikian yang dalam hukum pidana Islam biasa disebut dengan istilah jarimah-jarimah Hudud dan Qishash-Diyat jumlahnya sangat terbatas, hanya terdiri dari : 1). Zinah, 2). Qodzaf (fitnah), 3). Sirqoh (pencurian), 4). Khirobah (perampokan), 5). Syurbah (mengkonsumsi sesuatu yang memabukan), 6). Riddah (konversi agama) dan 7). Al Baghyu (pemberontakan). Sedangkan yang termasuk jarimah Qishash meliputi pembunuhan dan penganiyaan. Mengingat beberapa tindak pidana Hudud dan Qishash tersebut sangat membahayakan dan berpengaruh luas bagi kehidupan masyarakat, maka penilaian terhadap perbuatan-perbuatan tersebut sebagai jarimah ditentukan secara tegas dalam hukum formal (tertulis) baik dalam nash Al-Qur’an maupun al hadist.
         Sedangkan untuk menilai perbuatan-perbuatan diluar kategori jarimah-jarimah Hudud dan Qishash-diyat sebagai suatu perbuatan terlarang (perbuatan dengan kategori ini biasa disebut dengan istilah jarimah Ta’ziir), hukum pidana Islam menerapkan ajaran asas legalitas ini sedikit agak longgar. Dalam arti penilaian terhadap suatu perbuatan sebagai jarimah Ta’ziir, pertama-tama tetap harus di dasarkan atas aturan hukum tertulis yang tercantum dalam al-qonun (undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa). Jadi menerapkan ajaran asas legalitas dalam pengertiannay yang formal, akan tetapi, apabila di dalam al qonun tidak dijumpai ketentuan hukumnya, padahal dalam realitas/fakta, perbuatan yang terjadi yang tidak termasuk kategori jarimah huddud dan Qishash tersebut mengandung aspek dlarar (membahayakan dan merugikan kehidupan manusia), maka berdasarkan prinsip tentang tujuan pokok tasyri’ Islam yakni mencegah bahaya dan menciptakan mashlahah, perbuatan tersebut tetap harus dinilai sebagai jarimah (Ta’ziir) walaupun belum/tidak ada hukum tertulisnya.
         Sehingga dengan demikian, Islam menerpakan ajaran asas legalitas dalam pengertiannya yang materiil (berdasarkan hukum tidak tertulis). Adapun dasar pemikiran atau pertimbangannya ialah demi untuk menciptakan kemashlahatan dalam kehidupan manusia pada saat yang sama juga untuk mencegah meluasnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan tersebut.
         Setelah mengetahui dasar hukum penetapan tindak pidana menurut hukum pidana Islam, selanjutnya kita membahas mengenai kualifikasi tindak pidana menurut Islam. Masalah kualifikasi tindak pidana (jarimah) menurut hukum pidana Islam, sesungguhnya dapat dipahami dari pengertian tentang tindak pidana (jarimah) itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’ yang pelakunya diancam oleh Allah S.W.T dengan pidana hadd atau Ta’ziir.
         Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya kualifikasi tindak pidana yang disebut Hudud (bentuk plural/jama’ dari kata hadd ialah Hudud), dan tindak pidana yang disebut Ta’ziir. Kualifikasi ke dalam dua jenis tindak pidana tersebut adalah didasarkan atas adanya dua konsep pokok tentang pidana sebagai sanksi hukum yang diancamkan terhadap perbuatan-perbuatan yang dinyatakan secara hukum sebagai hal terlarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak pidana Hudud adalh tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana Hudud, sedangkan tindak pidana Ta’ziir adalah tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana Ta’ziir.
         Adapun pidana Hudud adalah pidana yang telah ditentukan secara jelas dan tegas di dalam nash/hukum (baik berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadist) mengenai jenis dan bentuknya, bobot/berat ringannya maupun cara eksekusi/pelaksanaannya. Sedangkan pidana Ta’ziir ialah pidana yang tidak ditentukan secara jelas dengan tegas di dalam nash/hukum (Al-Qur’an maupun Al Hadist), oleh karena itu, maka penetapan kebijakan mengenai jenis-jenis/bentuk-bentuk pidana Ta’ziir, bobot/berat ringannya dan cara eksekusinya sepenuhnya merupakan wilayah kewenangan manusia yang dalam hal ini diserahkan melalui keputusan penguasa berbentuk peraturan perundang-undangan, dengan syarat penetapan undang-undang tersebut harus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash syara’ serta prinsip-prinsipnya yang bersifat umum.[17]
         Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa pandangan sebagian besar ahli hukum Islam, mengkualifikasikan macam-macam tindak pidana menurut Islam ke dalam 3 (tiga) kualifikasi, yaitu tindak pidana Hudud, tindak pidana Qishash dan tindak pidana Ta’ziir.

A.  Tindak Pidana Hudud
             Jarimah atau tindak pidana Hudud merupakan salah satu bentuk tindak pidana dalam hukum Islam yang konsep-konsep dasarnya sudah ditegaskan sedemikian rupa dalam nash hukum (baik Al-Qur’an maupun Hadist), sehingga tidak memberikan peluang interpretasi dalam praktek penerapan hukum sebagai cermin dari kebebasan hakim.
             Dalam bahasa Arab, kata Hudud merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata hadd yang artinya al-man’u (mencegah).[18] Sehingga kalau diartikan secara etimologis (bahasa), hadd ialah mencegah atau melarang orang yang melampaui (melanggar) batas-batas atau hukum-hukum Allah. Adapun pengertian jarimah Hudud adalah sanksi hukum yang telah ditentukan secara jelas dan tegas didalam nash hukum (Al-Qur’an dan Al Hadist) baik penentuan pidana itu berkaitan dengan jenisnya, berat ringannya (bobotnya) maupun cara pelaksanannya.[19] 
             Adapun jarimah Hudud, dapat dijelaskan sebagai berikut :
      1.   Zina
                      Dalam pandangan Islam, terdapat beberapa illat (alasan) yang menyebabkan perbuatan zina dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela serta membahayakan khususnya terhadap eksistensi moralitas masyarakat hingga ancaman pidananya demikian berat yakni dari cambuk sampai dengan rajam hingga matinya terpidana. Alasan-alasan dilarangnya perbuatan zina tersebut adalah : 1). Karena zina dipandang sebagai perbuatan yang dapat mencegah tercapainya salah satu dari tujuan disyari’atkannya hukum Islam yakni terpeliharanya kesucian keturunan manusia. 2). Karena zina dalam pandangan Islam dianggap sebagai salah satu dari tiga dosa besar yakni setelah perbuatan syirik dan pembunuhan. 3). Karena zina dalam pandangan Islam dianggap sebagai potensi yang membuka peluang bagi terjadinya jarimah (tindak pidana) dan berbagai dampak negatif lainnya.[20]
                      Tindak pidana zina menurut fiqih adalah perbuatan melakukan hubungan seksual secara haram (di luar ikatan perkawinan yang sah) yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah mukallaf dan tidak ada syubat di dalamnya. Hubungan seksual yang dimaksud dalam definisi di atas haruslah dalam arti yang sebenarnya yakni masuknya alat kelamin laki-laki (dzakar) ke dalam alat kelamin perempuan (faraj).[21]
                      Adapun ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana zina yaitu di atur dalam Surat An-Nuur ayat 2 dan Surat An-Nisaa’ ayat 15, dimana esensi kedua ayat tersebut adalah mengatur mengenai zina yang para pelakunya berstatus belum bersuami istri, dan di ancam pidana bagi pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan berupa cambuk sebanyak 100 (seratus) kali.  Selanjutnya dalam Hadist riwayat Sulaiman Buraidah yang intinya menceritakan kasus perzinahan yang dilakukan oleh dua orang yang telah berkeluarga atau sudah dalam ikatan suami istri, di ancam dengan sanksi pidana yaitu dirajam (ditanam separuh badan kemudian dilempari batu) hingga mati.
      2.   Qodzaf
                      Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana Qodzaf menurut pengertian fiqih ialah menuduh orang Islam yang dikenal baik dengan dakwaan telah melakukan zina tetapi tidak disertai dengan suatu alat bukti yang dibenarkan menurut hukum. Alat bukti yang dimaksudkan dalam hal ini ialah syahadah, iqror, qoriinah dan sumpah li’an.[22] Ancaman pidana bagi pelaku Qodzaf di atur dalam Surat An-Nuur ayat 45 yakni pidana cambuk delapan puluh kali.
                      Dasar pemikiran menurut Islam mengenai dilarangnya perbuatan Qodzaf ialah 1). Untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya fitnah yang menurut agama dipandang sangat tercela karena dinilai lebih berat dari pembunuhan, 2). Untuk menjadi sarana bagi pemeliharan martabat atau harga diri manusia agar tidak rendah akibat tuduhan atau fitnah zina yang tidak terbukti. Terpeliharanya harga diri atau martabat manusia ini memang merupakan salah satu dari maksud tujuan disyari’atkannya hukum Islam.
      3.   Sirqoh
                      Tindak pidana Sirqoh (pencurian) dalam hukum Islam sangat ditekankan pelarangannya karena beberapa alasan antara lain karena pencurian dapat mencegah tercapainya salah satu tujuan disyari’atkannya hukum Islam yakni terpeliharanya harta kekayaan (hak milik) seseorang. Selain itu, dalam tingkat tertentu apabila pencurian ini telah sedemikian rupa menjadi fenomena sosial yang mewabah, maka jarimah pencurian akan dapat menyebabkan keguncangan ekonomi dan sosial secara luas termasuk pula masalah ketenangan dan keamanan hidup.
                      Jarimah Sirqoh yaitu perbuatan seorang mukallaf yang mengambil suatu barang milik orang lain dari tempat penyimpanannya untuk dimiliki atau dikuasai dengan tanpa seijin atau sepengetahuan pemiliknya (secara sembunyi-sembunyi) dan dalam jumlah nishab tertentu. Ketentuan hukum terhadap jarimah pencurian sebagaimana di atur dalam Surat Al Maaidah ayat 38 yang intinya menegaskan bahwa bagi pencuri laki-laki dan perempuan hukuman hadd-nya adalah potong tangan, dimana hukum haad tersebut bertujuan sebagai pembalasan atas kejahatan pelaku dan sebagai pelajaran dari Allah agar masyarakat luas tidak ikut melakukan jarimah sebagaimana terpidana.
        4.   Khirobah
                      Secara therminologi (bahasa), Khirobah sering dipahami dalam konteks adanya tindakan sekelompok orang atau perorangan sebagai penyamun yang sengaja mencegat orang-orang yang melalui sebuah jalan secara menakutkan untuk mengambil barang bawaannya. Dalam literatur fiqih, Khirobah pada intinya sering di definisikan sebagai perbuatan mengambil harta milik orang lain secara terang-terangan (dengan paksaan) yang dilakukan seseorang maupun segerombolan orang yang dapat berakibat terjadinya beberapa kemungkinan seperti terampasnya harta korban saja, nyawa korban, harta dan nyawa korban ataupun sekedar menjadikan resah kehidupan masyarakat sekitar kejadian.
                      Hukum pidana Islam sebagaimana yang di atur dalam Al-Qur’an Surat Al Maaidah ayat 33 yang menentukan empat macam ancaman pidana yang cukup berat terhadap pelaku jarimah Khirobah yaitu 1). Hukuman mati, 2). Hukuman mati secara salib, 3). Hukuman potong tangan dan kaki secara silang, 4). Hukuman pembuangan/pengasingan. 
      5.   Syrubah
                      Ada beberapa ketentuan hukum baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist yang merupakan sumber hukum pengaturan tindak pidana syurbah atau mabuk ini. Di dalam Al-Qur’an antara lain terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 219, Surat An-Nisaa’ ayat 43 dan Surat Al-Maidah ayat 90-91. Selanjutnya dalam sunnah nabi yang mengandung arti bahwa setiap yang memabukkan adalah Khomr, dan setiap Khomr adalah haram, segala sesuatu yang apabila diminum dalam jumlah banyak memabukkan, maka meminumnya dalam jumlah sedikit hukumnya adalah haram.
                      Bebearapa alasan rasional tentang pelarangan tindak pidana Khomr ini yaitu : 1). Minum Khomr dalam pandangan Islam dianggap dapat mencegah tercapainya salah satu tujuan disyari’atkannya hukum Islam yakni memelihara kesucian akal, 2). Minum Khomr dipandang sebagai cermin dari sikap mengabaikan tanggung jawab baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun Tuhan, 3). Minum Khomr dipandang merupakan faktor kriminogenik artinya secara potensial menimbulkan lahirnya kejahatan-kejahatan baru seperti perkosaan, penganiyaan dan gangguan ketertiban lainnya.
                      Mengenai masalah sanksi pidana, beberapa hadist menegaskan bahwa pada prinsipnya peminum Khomr dapat dikenai pidana cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali. Akan tetapi apabila pelaku telah menjadi residivis (berulang kali melakukan jarimah ini) maka menurut ijtihat Umar, ancaman pidananya dapat diperberat menjadi 80 (delapan puluh) kali cambuk.
      6.   Riddah
                      Dalam perspektif fiqih, perbuatan Riddah dapat diartikan sebagai keluarnya seorang muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam dengan kehendaknya sendiri (tanpa paksaan) baik dilakukan dengan niat, perkataan maupun dengan perbuatan yang bisa menjadikannya dinilai sebagai kafir. Jarimah Riddah atau keluar dari agama Islam pelakunya biasa disebut murtad. Adapun ketentuan Al-Qur’an yang memberikan rambu-rambu normatif tentang perbuatan Riddah sebagaimana di atur dalam Surat Al-Baqarah ayat 217, Surat Al-Imran ayat 90, Surat Al-Maidah ayat 54 dan Surat An-Nahl ayat 106. selanjutnya Riddah juga di jelaskan dalam sunnah yang mengandung arti bahwa secara umum Riddah dipandang sebagai perbuatan terlarang (jarimah) yang diancam dengan pidana mati.
      7.   Bughot
                    Dalam Al-Qur’an sumber pengaturan hukum mengenai tindak pidana Bughot (pemberontakan) ini terdapat dalam Surat Al-Hujuraat ayat 9 yang pada intinya menegaskan bahwa apabila ada dua golongan kaum muslim saling bermusuhan maka damaikanlah. Apabila tidak mau didamaikan maka perangilah pembangkang (yang tidak mau berdamai) tersebut sehingga mereka kembali berdamai dijalan Allah. Sehingga sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana ini hanya disebutkan perangilah hingga kembali berdamai. Kata perangilah mempunyai konsekuensi yang bermacam-macam seperti kematian, kerusakan (kerugian) materiil.

B.   Tindak Pidana Qishash
             Secara bahasa, kata Qishash adalah berasal dari bahasa arab dengan kata dasar iqtashoshso yang berarti tattabi’ul atsaar (mengikuti). Oleh karena itu maka definisi qishash sering diartikan sebagai perlakuan secara sama yang dikenakan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan hingga berakibat hilangnya nyawa orang lain, anggota badan orang lain atau fungsi anggota badan orang lain tersebut. Perlakuan secara sama dalam ini mempunyai arti sebagai akibat yang mengikuti perbuatan pelaku menghilangkan nyawa/anggota badan/fungsi anggota badan seseorang, dan sekaligus berkedudukan sebagai hukuman.
             Berdasarkan pengertian Qishash di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya ruang lingkup tindak pidana Qishash itu meliputi dua macam, yaitu : 1). Tindak pidana Qishash yang sasarannya adalah jiwa atau nyawa seseorang (dalam bahasa hukum pidana perbuatan demikian sering disebut sebagai pembunuhan), dan 2). Tindak pidana Qishash yang sasarannya adalah anggota badan atau fungsi anggota badan seseorang yang dalam bahasa hukum pidana sering disebut sebagai perbuatan penganiayaan.
             Dalam Al-Qur’an, prinsip-prinsip hukum tentang Qishash telah ditentukan dengan jelas sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Isra ayat 33, Surat An Nisa ayat 29, 92-93, Surat Al-Maaidah ayat 45 dan Surat Al-Baqarah ayat 178-179. Disamping itu beberapa kententuan dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W sebagai sumber hukum komplemen terhadap Al-Qur’an juga menggariskan pengaturan hukum tentang masalah Qishash itu.
             Secara filosofis, pelarangan terhadap tindak pidana Qishash khususnya Qishash pembunuhan, dapat dijelaskan dengan memahami kedudukan manusia di muka bumi ini yang hakekatnya ialah sebagai khalifah untuk memakmurkan kehidupan bumi. Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai khalifah tersebut dengan baik, maka Allah menganugerahi suatu struktur bentuk tubuh (fisik) yang terbaik diantara makhluk lainnya. Disamping itu, manusia juga dianugerahi akal fikiran dan hati nurani agar dengan keduanya manusia bisa mengendalikan segala perilakunya sehingga dalam melaksanakan fungsi kekhalifahan manusia dapat tetap berjalan sesuai syari’at Allah S.W.T. Untuk menggambarkan sedemikian terlarangnya perbuatan membunuh, Allah sampai memberikan perumpamaan bahwa apabila seseorang telah melakukan pembunuhan kepada satu orang saja, maka ibaratnya ia sama dengan telah melakukan pembunuhan kepada seluruh manusia di dunia ini, sebagaimana yang di atur dalam Surat Al-Maaidah ayat 32.
             Dalam surat Al-Baqarah ayat 178 merupakan dasar hukum Qishash yang mengatur sanksi hukum yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana Qishash, maka berdasarkan makna dari kata Qishash yang berarti perlakuan yang sama yang mengandung maksud menjunjung tinggi ajaran tentang setiap orang adalah sama kedudukannya dihadapan hukum atau yang dikenal dengan istilah equality before the law.  Berdasarkan ketentuan tersebut, pidana Qishash merupakan pidana pokok tetapi bersifat sebagai alternatif akhir, artinya secara moral psikologis, sebenarnya Allah terlebih dahulu menganjurkan kepada korban penganiyaan atau kepada keluarga korban suatu pembunuhan untuk memilih sikap memaafkan pelaku tindak pidana baik dengan disertai tuntutan diyat (ganti rugi) maupun tidak sama sekali. Adapun pidana maksimum yang dapat dikenakan diyat (ganti rugi) sebesar 100 (seratus) ekor unta atau yang senilai dengan itu.

C.  Tindak Pidana Ta’ziir
             Dari segi bahasa, kata Ta’ziir diartikan sebagai mendidik, mencegah/menolak. Adapun secara terminologis, Ta’ziir adalah merupakan jenis sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku jarimah Ta’ziir (yakni jarimah/tindak pidana yang aturan-aturan hukumnya tidak ditentukan dalam nash Al-Qur’an maupun hadist). Oleh karen itu, maka jenis-jenis pidana Ta’ziir ini pun juga tidak disebutkan secara jelas baik mengenai bentuknya, bobot atau berat ringannya maupun dari segi cara eksekusi/pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Al Hadist. Dengan demikian, macam-macam maupun bentuk-bentuk jarimah Ta’ziir dan sanksinya ini ditentukan oleh penguasa melalui penetapan peraturan perundang-undangan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan demi menciptakan kemashalahatan bersama dan demi mencegah terjadinya madlarat dalam kehidupan masyarakat luas.
             Dengan demikian, maka Islam memandang sepanjang perbuatan tersebut merugikan atau secara prediktif dapat diperkirakan akan mendatangkan kerugian dalam kehidupan manusia, perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai jarimah Ta’ziir, tentu saja legitimasi suatu perbuatan tersebut sebagai jarimah Ta’ziir tersebut harus di dasarkan atas penetapan perundang-undangan oleh penguasa atau melalui ijtihad hakim (yurisprundensi) dalam proses persidangan.
             Namun demikian, dari banyak macam dan luas ruang lingkup perbuatan yang dapat digolongkan sebagai jarimah Ta’ziir, secara kategori dapat dikelompokkan ke dalam 2 macam, yaitu :
      1. Jarimah Ta’ziir dengan kategori ketentuan mengenai perbuatan tercela/terlarang ada disebutkan   dalam nash (Al-Qur’an/Hadist), namun ketentuan mengenai sanksi pidananya tidak disebutkan dalam nash atau kalaupun disebutkan maka penyebutan sanksi pidana tersebut hanya bersifat sanksi akhirat. Contohnya perbuatan riswah (suap), maisir (judi), menimbun barang keperluan orang banyak dan sebagainya.
      2. Jarimah Ta’ziir dengan ketegori baik ketentuan mengenai perbuatan yang dinyatakan             tercela/terlarang maupun ketentuan mengenai sanksi pidananya, kedua-duanya tidak disebutkan sama sekali dalam nash Al-Qur’an dan Hadist. Namun dalam realitas sosial, perbuatan tersebut menampakkan fenomena sebagai perbuatan yang merugikan atau setidak-tidaknya potensil akan mendatangkan kerugian dalam kehidupan manusia. Terhadap jenis perbuatan yang demikian, penguasa dapat menetapkannya sebagai jarimah Ta’ziir berdasarkan prinsip pokok tujuan syari’at Islam yakni mencegah/menghindari semaksimal mungkin timbulnya kerusakan dan menciptakan seluas mungkin kemahslahatan bagi kehidupan manusia.
         Setelah mengetahui hakekat tindak pidana, dasar hukum penetapan tindak pidana dan kualifikasi tindak pidana menurut hukum pidana Islam, maka selanjutnya akan dibahas konstribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana (KUHP Nasional) mengenai rumusan tindak pidana. Menurut perpektif historis maupun yuridis-konstitusional, diketahui bahwa eksistensi hukum pidana Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam secara keseluruhan, sesungguhnya memiliki prospek atau peluang besar untuk dikonstribusikan sebagai salah satu bahan bagi pembaharuan hukum pidana nasional (KUHP). Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa pada dasarnya pemikiran-pemikiran konseptual mengenai tindak pidana menurut hukum pidana Islam sesungguhnya mempunyai banyak persamaan dengan konsep Rancangan KUHP Nasional. 
         Namun demikian, disamping persamaan-persamaan sesungguhnya antara konsep Islam dengan Rancangan KUHP Nasional tersebut juga menunjukan adanya perbedaan-perbedaan. Setidaknya ada tiga hal perbedaan yang berikut ini sengaja ditekankan dalam pembahasan ini karena secara teoritik mencerminkan nilai plus dari konsep Islam sehingga diharapkan dapat dikonstribusikan bagi penyusunan Rancangan KUHP Nasional. Adapun tiga hal tersebut adalah :

A.  Konsep yang berhubungan dengan ajaran asas legalitas khususnya legalitas Materiil.
             Inti dari konsep ini mengajarkan bahwa hukum tak tertulis dapat pula dijadikan dasar penilaian dan penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (disamping dasar hukum yang tertulis). Rancangan KUHP Nasional mengartikan wujud hukum tak tertulis itu adalah pandangan riil masyarakat yang mencela suatu perbuatan dan menganggap pelakunya patut untuk dikenai pidana. Sedangkan menurut konsep Islam, hukum tak tertulis itu adalah berwujud implementasi prinsip dlarar yang interpretasinya berdasarkan moralitas agama. Maksudnya, suatu perbuatan dapat dinilai dan ditetapkan sebagai tindak pidana adalah berdasarkan pertimbangan/penilaian bahwa perbuatan itu membahayakan bagi kehidupan manusia menurut ukuran-ukuran ajaran agama.
             Jadi bahaya tidak suatu perbuatan tidak di ukur menurut relaitas masyarakat, tetapi menurut ajaran agama. Hal ini karena pandangan masyarakat dikhawatirkan dapat berubah yang disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor eksternal (seperti pragmatisme, hedonisme, modernisme) yang salah dan lain-lain, sehingga kebenarannya menjadi relatif dan potensial menyesatkan. Berbeda halnya apabila pandangan mengenai bahaya atau tidaknya suatu perbuatan tersebut di dasarkan pada ajaran agama yang secara doktriner lebih memiliki tingkat kebenaran yang absolut sehingga hukum yang dihasilkan dari rujukan seperti ini relatif lebih dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembimbing dalam perubahan sosial yang terjadi. Sehingga konsep Islam tentang legalitas materiil dapat diakomodasikan sebagai konstribusi penyempurnaan penyusunan Rancangan KUHP Nasional.

B.   Konsep yang berhubungan dengan asas retro-aktif sebagai penyimpangan terhadap prinsip menurut ajaran asas legalitas.
             Inti dari asas ini mengajarkan bahwa suatu aturan hukum yang baru dibuat dan diterapkan, dapat diberlakukan surut terhadap hal-hal atau perkara yang di atur didalamnya yang telah terjadi sebelum aturan tersebut ada. Secara eksplisit, Rancangan KUHP Nasional tidak menentukan berlakunya asas ini sebagai suatu kebijakan, kecuali dalam masalah terjadinya perubahan perundang-undangan dimana hukum yang baru sebagai hasil perubahan bisa diberlakukan secara surut kepada kasus pidana seseorang sepanjang dinilai akan lebih menguntungkan dibanding memberlakukan hukum lama yang telah dirubah.
             Sedangkan dalam konsep Islam, disamping mengakui dan memberlakukan asas retro-aktif  untuk masalah terjadinya perubahan hukum di atas, berdasarkan praktek Nabi Muhammad S.A.W dalam menjalankan hukum-hukum Al-Qur’an dalam hal ini Surat Al Maaidah ayat 33 dan Surat An Nuur ayat 4, secara eksplisit juga mengakui dan mengajarkan asas retro-aktif untuk masalah hukum yang baru sama sekali ada. Dengan memperhatikan syarat-syarat pokoknya yaitu perkara yang terjadi sebelum suatu aturan hukum ada (dan setelah ada hukum itu akan diterapkan terhadap perkara tadi), harus benar-benar merupakan perkara yang sangat serius dan membahayakan masyarakat luas dimana kepentingan demi terciptanya kebaikan bersama, perkara tersebut memang menghendaki penyelesaian hukum secepatnya.
             Asas ini secara filosofis adalah sesuai dengan komitmen Islam terhadap konsep hukum dan penegakannya yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kerusakan dimuka bumi. Oleh karena itu, sepanjang Rancangan KUHP Nasioanl juga diidealkan sebagai bangunan hukum yang komitmen terhadap tujuan penciptaan kebaikan dan mencegah kerusakan, ada baiknya mengadopsi pemikiran Islam tentang pengakuan dan penerapan asas retro-aktif  di atas sebagai suatu kebijakan eksplisit (diluar rancangan Pasal 2 KUHP Nasional yang telah ada sekarang).

C.  Konsep yang berhubungan dengan kualifiaski tindak pidana dalam sistematika hukum pidana.
             Dalam masalah ini, kebijakan implisit Rancangan KUHP Nasional adalah mengadakan pembagian jenis-jenis tindak pidana yang dapat dikualifikasikan sebagai delik formiil yaitu delik menurut peraturan perundang-undangan dan dellik materiil yaitu delik menurut hukum tak tertulis. Hal ini sesuai dengan pengakuan terhadap ajaran asas legalitas baik dalam pengertiannya yang formiil maupun materiil.  Kemudian masing-masing dari kualifikasi tindak pidana tersebut dijabarkan dalam rumusan berbagai macam jenis tindak pidana yang sangat mendetil dan tetap sehingga menghasilkan ratusan nama jenis tindak pidana. Hal demikian akan berakibat hukum akan menjadi kurang responsif dan antisipatif terhadap perkembangan-perkembangan baru dari kejahatan yang muncul kemudian dan tidak/belum di atur dalam hukum yang telah ada.
             Adapun dalam Islam, kualifikasi tindak pidana dikonsepkan sangat sederhana kedalam dua kelompok kategori saja. Pertama adalah jenis-jenis tindak pidana yang dinilai sangat mendasar sebagai ancaman terhadap tata kehidupan bersama (biasa disebut tindak pidana hudud-qishash) sehingga oleh karenanya perlu dijabarkan perumusannya dalam ketentuan nash/hukum tertulis (Al-Qur’an/Al Hadist). Kedua adalah jenis-jenis tindak pidana di luar kategori pertama atau yang biasa disebut tindak pidana ta’ziir, dimana ketentuan deliknya berdasarkan hukum tertulis dalam hal ini melalui al qanun/perundang-undangan dan berdasarkan hukum tak tertulis yaitu melalui implementasi prinsip dlarar.
             Kategori pertama hanya menghasilkan sembilan macam tindak pidana, yaitu zina, qodaf, sirqoh, khirobah, syurbah, riddah, bughat, pembunuhan dan penganiayaan. Sedangkan kategori kedua bisa terdiri atas perbuatan apa saja dan dapat terus dikembangkan lagi dimasa mendatang menjadi beragam macam tindak pidana, sepanjang perbuatan itu memenuhi kriteria sebagai tindak pidana menurut moralitas agama dan kriminalisasinya berorientasi kepada tujuan ini syari’at yaitu mewujudkan kebaikan dan mencegah kerusakan dalam kehidupan manusia.
             Dengan pola kualifikasi tindak pidana yang demikian ini, maka hukum pidana Islam dapat selalu aktual, responsif, dan antisipatif terhadap setiap jenis perkembangan kejahatan yang terjadi kemudian ditengah kehidupan masyarakat. Berdasarkan hal di atas, maka sistematika pengkualifikasian tindak pidana sebagaimana telah dirancang sebagai suatu kebijakan dalam Rancangan KUHP Nasional, mengingat mengandung kelemahan seperti yang telah dikemukakan di atas, sebaiknya ditinjau ulang dengan mempertimbangkan kemungkinan akomodasi terhadap konsep pola kualifikasi tindak pidana menurut Islam. Tujuannya ialah agar KUHP Nasional mendatang benar-benar dapat menjadi hukum yang fleksibel, responsif dan antisipatif terhadap setiap jenis kejahatan yang terjadi.

BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
         Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa konstribusi pidana Islam dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dalam hal ini hukum pidana materiil yakni KUHP Nasional mengenai rumusan tindak pidana yaitu 1. Konsep yang berhubungan dengan ajaran asas legalitas khususnya legalitas materiil yaitu terhadap suatu perbuatan dapat dinilai dan ditetapkan sebagai tindak pidana berdasarkan pertimbangan/penilaian bahwa perbuatan itu membahayakan bagi kehidupan manusia menurut ukuran-ukuran ajaran agama, 2. Konsep yang berhubungan dengan asas retro-aktif sebagai penyimpangan terhadap prinsip menurut ajaran asas legalitas, dimana perbuatan tersebut harus benar-benar merupakan perkara yang sangat serius dan membahayakan masyarakat luas dimana kepentingan demi terciptanya kebaikan bersama dan perkara tersebut memang menghendaki penyelesaian hukum secepatnya, 3. Konsep yang berhubungan dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistematika hukum pidana, dengan tujuan agar KUHP Nasional mendatang benar-benar dapat menjadi hukum yang fleksibel, responsif dan antisipatif terhadap setiap jenis kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

B. Saran-Saran
             Berdasarkan pembahasan sebagaimana yang telah disimpulkan di atas, maka disarankan :
1.   Agar konsep Islam tentang asas legalitas materiil dapat dimasukan dalam Rancangan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP sehingga rumusannya menjadi : ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, tidak mengurangi berlakunya hukum tak tertulis yang bersumber dari prinsip-prinsip moralitas agama yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana atas suatu perbuatan yang dilakukannya walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.   Agar implementasi konsep Islam tentang asas retro-aktif, khususnya dalam arti memberlakukan secara surut terhadap hukum yang baru sama sekali ada (maksudnya menjangkau hal/perkara yang diatur di dalamnya yang terjadi sebelum hukum tadi ada), dapat dimasukan sebagai rumusan pasal tersendiri yang keberadaannya bersifat melengkapi terhadap Rancangan Pasal 2 yang telah ada dalam RUU KUHP, dengan rumusan sebagai berikut : Tindak pidana yang terjadi sebelum suatu aturan hukum ada dan setelah ada hukum itu akan diterapkan terhadap tindak pidana tersebut, harus benar-benar merupakan tindak pidana yang serius dan membahayakan kehidupan masyarakat luas serta mendesak untuk diselesaikan secepatnya menurut hukum demi terciptanya kemashlahatan bersama.
3.   Agar implementasi konsep Islam tentang kualifikasi tindak pidana dalam sistematika hukum pidana, dapat menggunakan ajaran Islam sebagai rekomendasi dalam menentukan sistematika kualifikasi tindak pidana, yaitu Bab I tentang jenis-jenis tindak pidana yang bersifat mendasar sebagai ancaman terhadap kehidupan bersama sebagaimana konsep Islam tentang tindak pidana hudud-Qishash, dan Bab II tentang jenis-jenis tindak pidana yang bersifat tidak sangat mendasar sebagai ancaman kehidupan bersama sebagaimana ajaran Islam tentang tindak pidana ta’ziir.


DAFTAR  PUSTAKA


Buku-Buku  
    Abdul Rahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzaahibi Al-Arba’ah, Daaru Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, 1990, hal 212
      Abdur Rahman I Dho’I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam (Terjemahan), Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
      Abdus Salam Arief, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Ideal, Yogyakarta, 1987.              
      Abu al Hasan Ahmad Fariz, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid III, Mustafah al-Halabi, Mesir, 1970.
      Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1982.
                               , Asas-asas Hukum Mua’malat, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987.
      Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
      Al Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah, Daar Al-Fikr Al-Arabie, Kairo, 1976.
      Al Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Babi al-Halabi, Mesir, 1973.
      Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
      Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam, Penerbit Dina Utama, Semarang, 1993.
      Khozin Siradj dalam Hukum Islam : Sejarah Perkembangannya, Aliran-alirannya dan Sumber-sumbernya, Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1984.    
      Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-Arabi, 1958.
    Muhammad Alim, Konstribusi Pidana Islam pada Hukum Pidana Nasional, Mahkamah Konstitusi Repbulik Indonesia, Jakarta, 2011.      


 
      Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami Daar al Qalam, Beirut, 1981.    
      Muhammad Na’iem Farhat, At-Tasyri’u Al-Jina’ie Al-Islamie, Daar Al-Ishfahamie, Jeddah, 1972.      
      Taqiyyu al-Dien al-Husainy, Kifaayatu al-Akhyaari, Syirkatu al-Ma’arif, Bandung.




[1] Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami Daar al Qalam, Beirut, 1981, hal 10.
[2] Muhammad Ali Al Tahanawi dalam Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mua’malat, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987, hal 1.
[3] Abu al Hasan Ahmad Fariz, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Mustafah al-Halabi, Mesir, 1970, Jilid III, hal 442.
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-Arabi, 1958, hal 6.
[5] Mustofa Ahmad Az-Zarqa dalam Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Perpustakaan Fakurtal Hukum UII, Yogyakarata, 1992, hal 5-6.
[6] Abdus Salam Arief, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Ideal, Yogyakarta, 1987, hal 1-2.
[7] Abdus Salam Arief, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Ideal, Yogyakarta, 1987, hal 1-2.
[8] Al Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Babi al-Halabi, Mesir, 1973, hal 219.
[9] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hal 44.
[10] Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam, Penerbit Dina Utama, Semarang, 1993, hal 7-13.
[11] Hadist riwayat Al Baihaqi sebagaimana dikutip Khozin Siradj dalam Hukum Islam : Sejarah Perkembangannya, Aliran-alirannya dan Sumber-sumbernya, Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1984, hal 92.
[12] Muhammad Alim, Konstribusi Pidana Islam pada Hukum Pidana Nasional, Mahkamah Konstitusi Repbulik Indonesia, Jakarta, 2011, hal 39.
[13] Khozin Siradj, op,cit, hal 92.
[14] Abdul Wahab Khallaf dalam Dede Rosyada,, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hal 29.
[15] Ibid
[16] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,
[17] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hal 35.
[18] Al Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah, Daar Al-Fikr Al-Arabie, Kairo, 1976, hal 54,
[19] Muhammad Na’iem Farhat, At-Tasyri’u Al-Jina’ie Al-Islamie, Daar Al-Ishfahamie, Jeddah, 1972, hal 17.
[20] Abdur Rahman I Dho’I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam (Terjemahan), Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal 31-32
[21] Taqiyyu al-Dien al-Husainy, Kifaayatu al-Akhyaari, Syirkatu al-Ma’arif, Bandung, hal 178.
[22] Abdul Rahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzaahibi Al-Arba’ah, Daaru Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, 1990, hal 212.

1 komentar:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus