KONSTRIBUSI PIDANA ISLAM
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Salah satu agenda
penting dalam pembangunan hukum di Indonesia dewasa ini adalah masalah
pembaharuan hukum pidana. Ada beberapa alasan yang merupakan latar belakang
pentingnya kebijakan mengenai pembaharuan hukum pidana tersebut, antara lain, pertama
dilihat dari segi historis-politis, bahwa KUHP yang berlaku sekarang ini
adalah warisan dari masa Hindia-Belanda yang diciptakan dan diformat untuk
suatu masyarakat kolonial dengan norma-norma yang disesuaikan dengan jamannya.
Setelah Negara Republik Indonesia merdeka, sudah seharusnya jika kita memiliki
KUHP Nasional yang sesuai dengan jaman, kebutuhan dan aspirasi dari suatu
bangsa yang merdeka. Selain itu, dimaksudkan sebagai manifestasi dari semangat
nasionalisme yang menunjukan kedaulatan secara politis maupun secara yuridis.
Kedua, secara
sosiologis, KUHP yang mulai berlaku sejak tahun 1918 dan hingga saat ini, bahwa
dalam rentang waktu yang demikian lama itu, adalah wajar jika diasumsikan telah
terjadi banyak perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia tempat
KUHP produk kolonial tersebut berlaku. Konsekuensinya, berbagai norma yang
terdapat di dalamnya lambat laun akan menjadi tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat pada jaman sekarang ini dan kurang mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi falsafah hidup yang diyakini oleh bangsa Indonesia.
Untuk kepentingan aktualisasi nilai-nilai sosiologis yang memerlukan pengaturan
hukum inilah yang menjadi pendorong perlunya diadakan pembaharuan hukum pidana
yang lebih mengakar pada nilai-nilai falsafah hukum bangsa kita sendiri.
Ketiga, secara
praktis, KUHP yang berlaku sekarang ini dimana nama aslinya adalah W.v.S–N.I
(Wetboek van Strafrect voor Nederlands Indie), adalah fakta bahwa sampai
saat ini pemerintah Republik Indonesia belum pernah menerbitkan suatu buku
terjemahan dari W.v.S–N.I yang bersifat resmi sebagai pedoman, sehingga
akibatnya dalam masyarakat banyak beredar KUHP terjemahan dalam Bahasa
Indonesia oleh para pakar hukum pidana menurut pemikirannya masing-masing
ditinjau dari segi susunan bahasa atau kalimat, sehingga selalu terdapat
perbedaan-perbedaan karena pemahaman orang terhadap spirit dan makna bahasa
hukum Belanda yang ada dalam W.v.S–N.I juga berbeda-beda pula.
Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh
itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), hukum
pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang
hukum pidana itu harus bersama-sama diperbaharui, bila hanya salah satu bidang
saja yang diperbaharui sedang bidang yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan
dalam pelaksanaannya, dan tujuan pembaharuan secara keseluruhan tidak akan
tercapai yakni untuk penanggulangan kejahatan. Hal ini mengingat ketiga bidang
hukum tersebut saling terkait secara erat serta harus saling menunjang dalam
rangka pencapaian tujuan.
Ditinjau dari segi political will, usaha perancangan KUHP nasional sebagai salah satu wujud dari
pembaharuan hukum pidana materiil, sebenarnya telah dilaksanakan secara cukup
intensif oleh pemerintah. Secara garis besar, konsep rancangan KUHP Nasional
yang selama ini pernah tersusun antara lain : Konsep Rancangan KUHP tahun 1964,
Konsep Rancangan KUHP tahun 1968, Konsep Rancangan KUHP tahun 1971/1972, Konsep
Rancangan KUHP tahun 1975, Konsep Rancangan KUHP tahun 1982/1983, Konsep
Rancangan KUHP tahun 1991/1992, Konsep Rancangan KUHP tahun 1999/2000, Konsep
Rancangan KUHP 2004-2008 dan yang terbaru Konsep Rancangan KUHP 2010, dimana
hingga saat sekarang ini apa yang disebut dengan KUHP Nasional tersebut masih
saja merupakan suatu konsep yang belum final dan sedang mengalami
penyempurnaan-penyempurnaan naskah akademik sebelum nantinya akan diajukan oleh
Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dan disahkan menjadi
undang-undang.
Dari berbagai rancangan KUHP Nasional
tersebut, menunjukan bahwa perubahan waktu dengan berbagai peristiwa yang
mengandung aspek hukum selalu berdampak pada perubahan pemikiran mengenai
pembaharuan hukum pidana. Implikasinya ialah hampir tiap tahun rancangan KUHP
yang ada secara materiil selalu mengalami perubahan baik tentang substansinya,
formulasinya maupun sistematikanya. Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya
tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan politis, filosofis dan
pertimbangan praktis yang menjadi alasan dilakukannya pembaharuan KUHP,
sehingga perumusan ketentuan dalam KUHP Nasional nantinya benar-benar telah
merupakan produk hukum sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia.
Sehubungan
dengan hal tersebut, permasalahan yang kemudian timbul adalah apa sajakah
bahan-bahan hukum yang sekiranya dapat dijadikan sumber perumusan dalam
pembaharuan hukum pidana agar hukum yang lahir nanti benar-benar mencerminkan
kehidupan Bangsa Indonesia. Mengingat bahwa berdasarkan pengalaman historis
produk-produk hukum yang telah ada selama ini, dalam kehidupan hukum di
Indonesia realitasnya telah berkembang berbagai sistem hukum secara bersamaan,
seperti sistem hukum yang bersumber dari produk-produk hukum barat (kolonial
Belandad), berbagai macam hukum adat dan hukum agama, salah satunya adalah hukum Islam.
Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang mayoritas
memeluk agama Islam, mempunyai kedudukan yang penting dan strategis. Hukum
Islam merupakan salah satu dari bahan baku dalam pembangunan hukum nasional,
dan oleh karena itu ia perpeluang untuk menjadi hukum nasional dengan cara
berkompetisi dengan sumber-sumber hukum nasional yang lainnya secara
demokratis. Bangsa Indonesia dapat memilah milih sumber-sumber bahan baku hukum
nasional tersebut dan mengambil hukum yang paling bermanfaat, dan yang paling
sesuai dengan nilai-nilai keadilan bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.
Berdasarkan uraian di
atas, maka keberadaan hukum Islam atau lebih khusus lagi hukum pidana Islam
sebagai salah satu aspek/nilai dari ajaran yang di anut dan diyakini oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia adalah wajar mendapat perhatian yang besar
dalam pembaharuan hukum pidana nasional yang sedang dilaksanakan dewasa ini. Permasalahan
inilah yang hendak dikaji dan di analisis oleh penulis. mengenai peluang
keberadaan hukum pidana Islam dalam memberikan konstribusi sebagai sumber bahan
bagi pembaharuan hukum pidana nasional dalam hal ini hukum pidana materiil
(KUHP) yang sedang berlangsung, mengingat bahwa KUHP Nasional sebagai hukum
publik nantinya akan berlaku terhadap seluruh warga Negara Indonesia termasuk
pula kaum muslimin Indonesia yang keberadaannya bersifat mayoritas, sehingga
perlunya suatu kebijakan (policy)
dalam mengakomodir dan memanifestasikan nilai-nilai hukum pidana Islam menjadi
hukum pidana Nasional.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
adalah bagaimanakah konstribusi pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana
Nasional mengenai rumusan tindak pidana ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :untuk
mengetahui konstribusi
pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana Nasional mengenai rumusan tindak
pidana.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini memberikan
kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan
referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang konstribusi pidana Islam dalam
pembaharuan hukum pidana Nasional mengenai rumusan tindak pidana.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam
adalah bagian dari hukum Islam secara keseluruhan, dan hukum Islam itu sendiri
sesungguhnya adalah hanya bagian dari syari’ah Islamiyah sebagai suatu ajaran
agama. Berdasarkan hal di atas, maka sebelum membahas tentang pengertian dari istilah
hukum pidana Islam, perlu kiranya lebih dahulu dipahami tentang adanya
perbedaan antara istilah hukum Islam dengan istilah syari’ah Islam yang dalam
bahasa sehari-hari sering disamakan maknanya. Padahal apabila diperhatikan baik
dari segi etimologi (bahasa) maupun dari segi terminologi
(definisi), sesungguhnya kedua istilah tersebut memiliki perbedaan arti. Dalam
khasanah literatur klasik, istilah hukum Islam sering kali disebut dengan nama
Fiqih Islam. Oleh karena itu pembahasan berikut ini akan di arahkan kepada
pemahaman perbedaan antara istilah syari’ah Islam dengan istilah Fiqih Islam
untuk menegaskan mana yang tepat di antara dua istilah itu yang menunjukan arti
hukum Islam.
Tinjauan
etimologis, arti syari’ah yang berasal dari kata Syaro’a, adalah
jalan tempat keluarnya air untuk minum. Kemudian bangsa Arab menggunakan kata
ini untuk konotasi jalan yang lurus. Pada saat dipakai dalam pemahasan hukum,
menjadi bermakna segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya
sebagai jalan lurus untuk memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat[1].
Secara terminologis, Muhammad Ali at Thanawi memberikan arti istilah
syari’ah yaitu mencakup seluruh aspek ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang
pokok berupa aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah. Istilah syari’ah sering juga
disebut dengan nama-nama lain seperti syara, milah dan al-dien. Jadi, substansi istilah syari’ah Islamiyah
tidak semata-mata membicarakan masalah hukum menurut perspektif Islam, akan
tetapi lebih luas dari itu yakni berbicara pula masalah-masalah aqidah, akhlaq
dan mua’malah dalam arti luas menurut Islam.[2]
Selanjutnya,
istilah fiqih, secara etimologis memiliki makna mengetahui sesuatu dan
memahaminya dengan baik.[3]
Sedangkan secara terminologis, fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’
yang diperoleh melalui pengkajian terhadap dalil-dalilnya yang terperinci.[4]
Sesuai dengan definisi/makna fiqih yang demikian, setidaknya ada dua objek
kajian, yaitu pertama, hukum-hukum syara’yang bersifat amaliah. Dengan demikian
norma-norma agama yang berkaitan dengan aspek aqidah tidak termasuk objek
kajian fiqih. Selanjutnya obyek kajian kedua, yaitu dalil-dalil (dasar hukum)
terperinci yang berasal dari Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai dua sumber utama
hukum Islam yang menunjuk suatu kajian atau masalah tertentu.
Berdasarkan
arti kata dan definisi-definisi seperti telah di uraiakan di atas, maka dapat
diperoleh penegasan bahwa istilah yang tepat menunjuk kepada arti hukum Islam
sesungguhnya hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan ajaran Islam
(Syari’ah Islamiyah) yang mencakup beberapa bidang pokok sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Dengan kata lain, fiqih Islam sesungguhnya hanya merupakan
sebagian dari syariah Islam.
Hukum
Islam atau Fiqih Islam, seperti termaktub dalam definisi di atas adalah bagian
dari syari’at atau ajaran agama khususnya yang berupa aturan-aturan yang
berhubungan dengan perbuatan manusia (bersifat amaliah). Oleh karena itu, maka
substansi hukum Islam merupakan norma yang memberikan regulasi bagi
perikehidupan dan tingkah laku manusia secara menyeluruh, mencakup segala macam
aspeknya. Hubungan manusia dengan Tuhan (Allah), di atur dalam bidang atau
bagian hukum Islam yang disebut Ibadat. Hubungan manusia dengan sesamanya di
atur dalam bidang atau bagian hukum Islam yang dinamakan Mu’amalat (dalam arti
luas) baik yang bersifat perorangan (privat) maupun yang bersifat umum
(publik), seperti perkawinan, pewarisan, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan,
kepidanaan, peradilan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
Dalam
hubungan ini, secara detil Musthofa Ahmad Al-Zarqa[5]
menyebutkan aspek-aspek atau bagian-bagian dari hukum Islam yang secara
keseluruhan berjumlah 7 (tujuh) kelompok/kategori/bagian, yaitu :
1. Hukum-hukum yang berhubungan dengan
peribadatan kepada Allah, seperti sholat, puasa, haji, bersuci dari hadats dan
sebagainya. Kelompok hukum ini disebut hukum ibadah.
2. Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata
kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, hubungan keturunan (nasab),
nafkah keluarga, kewajiban anak terhadap orang tua dan sebagainya. Kelompok hukum
ini disebut hukum keluarga atau Al-Ahwal Asy-Syakshiyah.
3. Hukum-hukum yang berhubungan dengan
pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta
penyelesaian persengketaan seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa,
utang-piutang, gadai, hibah dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut hukum
Mu’amalah (dalam arti sempit).
4. Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata
kehidupan bernegara, seperti hubungan penguasan dengan rakyat, pengangkatan
kepala negara, hak dan kewajiban penguasa dan rakyat secara timbal balik dan
sebagainya. Kelompok hukum ini disebut Al-Ahkam As-Sulthaniyah atau
dinamakan pula As-Siyasah Asy-Syari’ah yang mencakup hal-hal yang
dibahas dalam hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan sebagaimana dikenal
dewasa ini.
5. Hukum-hukum yang berhubungan dengan
kepidanaan seperti macam perbuatan pidana dan ancaman sanksi pidana, masalah
pertanggungjawaban pidana dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut Al-Uqubah
atau lebih sering disebut juga Al-Jinayah.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara
negara Islam dengan negara-negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan tentang
hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang. Kelompok hukum ini disebut Al-Ahkam
Al Dauliyah atau disebut juga As-Sair.
7. Hukum-hukum yang berhubungan dengan budi
pekerti, kepatutan, nilai baik dan buruk, seperti mempererat hubungan
persaudaraan, mendamaikan orang yang sedang berselisih dan sebagainya. Kelompok
hukum ini disebut Al Adab (hukum sopan santun atau lebih dikenal dengan
sebutan akhlak).
Berdasarkan
penjabaran tentang aspek-aspek atau bagian-bagian dari hukum Islam yang
berjumlah tujuh di atas, diketahui bahwa hukum pidana Islam adalah hanya salah
satu bagian saja dari hukum Islam secara keseluruhan yang secara khusus berisi
mengenai rambu-rambu normatif (ketentuan) tentang perbuatan-perbuatan
manusia yang tidak boleh dilakukan/bersifat terlarang yang biasa disebut jarimah,
serta ketentuan tentang ancaman pidana-pidana tertentu (biasa disebut uqubah)
yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melanggar perbuatan terlarang
tersebut. Tentu saja seperti halnya masalah-masalah dasar yang biasa dibahas
dalam hukum pidana secara umum, selain kedua masalah dasar di atas hukum pidana
Islam juga berisi prinsip-prinsip mengenai pertanggungjawaban pidana yang
merupakan syarat dapat dipidananya orang-orang yang telah dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan terlarang.
Istilah hukum pidana Islam
dikenal dengan istilah jinayat, ma’shiyyat dan jarimah.
Ketiga istilah tersebut dalam konteks hukum positif maknanya kurang lebih sama
dengan istilah yang telah kita kenal dengan nama hukum pidana, hanya saja hukum
pidana yang dimaksud disini adalah menurut perpektif Islam atau Hukum Pidana
Islam.[6] Istilah jinayat dalam literatur fiqh berarti perbuatan yang
diharamkan (dilarang) oleh syara’ (hukum) baik perbuatan itu mengenai
jiwa seseorang (sebagai sasaran) atau mengenai harta ataupun mengenai selain
kedua hal tersebut. Sehingga istilah tersebut hanya mencakup
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan, sedangkan unsur
ancaman sanksi pidana sama sekali tidak tercakup dalam definisi istilah jinayat
sehingga tidak tepat di artikan sebagai hukum pidana Islam.
Selanjutnya, istilah Ma’shiyyat
berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syari’at
(hukum) dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang justru diwajibkan oleh
syari’at (hukum), sehingga istilah Ma’shiyat hanya mencakup unsur
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan.[7] Sedangkan istilah
ketiga yakni Jarimah, secara terminologis Al-Mawardi berarti
larangan-larangan syar’i (perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum
untuk dilakukan) yang pelakunya diancam oleh Allah dengan pidana hadd
atau Ta’ziir sehingga istilah jarimah memiliki persamaan dengan
kata hukum pidana yang kedua-duanya mencakup dua unsur pokok yaitu unsur-unsur
tentang perbuatan-perbuatan tertentu yang terlarang menurut aturan hukum dan
kedua tentang ancaman pidana tertentu. [8]
Berdasarkan
uraian-uraian mengenai definisi ketiga istilah di atas, dapat ditegaskan bahwa
sesungguhnya istilah yang paling tepat menunjuk kepada arti hukum pidana Islam
adalah istilah jarimah, bukan ma’shiyyat ataupun jinayat.
Sekalipun khususnya istilah jinayat tersebut sangat populer diartikan
oleh para penulis Indonesia dengan arti hukum pidana Islam.
B. Sumber Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam sebagai
bagian dari hukum Islam secara keseluruhan, pada prisipnya memiliki
sumber-sumber aturan hukum yang sama dengan bagian/bidang-bidang hukum lain
yang ada dalam lingkup keseluruhan hukum Islam tersebut.
Secara umum, sebagian besar ahli
hukum Islam telah sepakat bahwa sumber-sumber aturan hukum Islam terdiri dari Al-Qur’an,
Sunnah (Hadist), dan ijtihad. Ketiga sumber hukum ini bersifat mengikat
atau wajib diikuti. Adapun urutan-urutan penyebutan, menunjukan urut-urutan
kedudukan dan kepentingannya. Artinya apabila sesuatu peristiwa tidak terdapat
hukumnya dalam Al-Qur’an maka harus dicari dalam As-Sunnah, apabila tidak
terdapat pula dalam As-Sunnah maka dicari ketentuan hukumnya maka baru dicari melalui
ijtihad.
Dasar hukum atau dalil yang
menunjukan ke empat sumber hukum (Al-Qur’an, Hadist, dan ijtihad)
tersebut harus menjadi referensi dalam pembentukan hukum Islam, dapat dipahami
dari interpretasi ketentuan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, sebagai berikut :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Berdasarkan ayat di atas, diketahui
bahwa perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah mengandung arti perintah
untuk mengikuti Al-Qur’an dan Al Hadist (As-Sunnah). Karena garis-garis
kebijakan hukum Allah dan Rasul-Nya telah dimanifestasikan dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadist tersebut. Kemudian perintah mengikuti Ulil Amri diantara
muslimin, artinya adalah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (di-Ijma’)
oleh para mujtahidin (pembaharu hukum Islam), karena mereka itulah Ulil Amri
bagi umat Islam dalam pembentukan hukum Islam. Sedangkan perintah agar
mengembalikan status hukum dari persoalan-persoalan yang di dalamnya ada
pertentangan (pendapat) diantara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya,
mengandung arti bahwa pemberian status hukum terhadap persoalan-persoalan baru
yang masih diperselisihkan tersebut
hendaknya mengacu kepada prinsip-prinsip hukum yang digariskan oleh Allah dan
Rasul-Nya melalui nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini berarti umat
Islam dituntut untuk mempergunakan akal pikirannya secara sungguh-sungguh dalam
rangka upaya memecahkan setiap problema hukum yang dihadapi.
Secara
metodologis, penggunaan akal pikiran dengan sungguh-sungguh yang seringkali
dinamakan ijtihad tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
yang antara lain berupa metode qiyas. Dalam konteks pemikiran yang
demikian, maka qiyas sebagai suatu metode ijtihad, artinya ialah
menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash
(Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada sesuatu persoalan yang sudah dinyatakan
ketentuan hukumnya oleh nash, karena keduanya memiliki kesamaan ‘illat
(sebab ditetapkannya) hukum.[9]
Jadi
berdasarkan pemikiran di atas, maka dapat dipahami bahwa pembentukan hukum
Islam yang tidak didasarkan secara langsung pada nash-nash
tekstual yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi dilakukan dengan
cara memberikan interpretasi-interpretasi kontekstual terhadap nash,
sesungguhnya cara-cara demikian ini merupakan pekerjaan-pekerjaan ijtihad
yang dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam telah melahirkan beragam macam cara
(metode). Dengan kata lain, diluar
Al-Qur’an dan As-Sunnah, apapun namanya baik itu disebut dengan ijma’, qiyas,
istishlah, istihsan, istishab dan sebagainya, semua itu
hanyalah merupakan metode/cara orang berijtihad (menggunakan akal
pikiran secara sungguh-sungguh untuk menemukan hukum dari suatu persoalan baru
yang tidak ditemukan dalam nash).[10]
Oleh
karena itu yang sesungguhnya merupakan sumber hukum Islam secara umum, atau
yang merupakan sumber hukum pidana Islam secara khsusus ialah Al-Qur’an dan
As-Sunnah serta ijtihad itu sendiri. Hanya saja berijtihad atau
menggunakan akal pikiran secara sungguh-sungguh dengan berbagai metode untuk
menemukan atau membentuk hukum Islam tersebut harus tetap berorientasi kepada
prinsip-prinsip hukum yang telah digariskan dalam nash Al-Qur’an maupun
As-Sunnah, sesuai dengan perintah Allah dalam Surat An-Nisa ayat 59, juga dijelaskan
dalam sebuah hadist yang isinya menggambarkan adanya dialog hukum antara Nabi
Muhammad S.A.W dengan salah seorang sahabatnya bernama Mu’az bin Jabal.
Diceritakan
bahwa ketika Nabi Muhammad S.A.W akan mengutusnya ke Yaman untuk tugas dakwah
Islamiyah, beliau bertanya : Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan
suatu perkara untuk diputusi ? Mu’az menjawab : saya akan memutus atas dasar
ketentuan dalam kibat Allah (Al-Qur-an). Nabi bertanya lagi : Jika dalam kitab
Allah tidak kau jumpai ketentuannya, bagaimana ? Mu’az menjawab : Dengan Sunnah
Rasulullah. Nabi bertanya lagi : Jika dalam Sunnah Rasulullah pun tidak kau
jumpai ketentuannya, bagaimana ? Mu’az menjawab : saya akan berijtihad
dengan menggunakan fikiranku, dan tidak akan saya biarkan perkara itu tanpa
putusan apapun. Mendengar jawaban Mu’az demikian, Nabi kemudian menepuk dadanya
seraya berkatka : Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah dengan hal yang melegakan hati Rasulullah.[11]
Berdasarkan
hadist tentang dialog antara Nabi dengan sahabatnya Mu’az tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa sumber-sumber hukum Islam (dalam hal ini khususnya
sumber hukum pidana Islam), pada prinsipnya adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Adapun terhadap hal-hal/persoalan-persoalan yang tidak terdapat dalam ketentuan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dapat diperoleh ketentuan hukumnya
dengan menggunakan fikiran yang disebut ijtihad, sehingga dapat
dikatakan bahwa ijtihad bisa dipandang sebagai sumber hukum pidana Islam
yang ketiga yang mana dalam prakteknya dapat dilakukan dengan berbagai macam
metode, seperti ijma, qiyas, istishlah, istihsan, istishab
dan sebagainya.
C. Tujuan Hukum Pidana Islam
Ada
perlunya kita mengetahui tujuan hukum Islam oleh karena tujuan itulah yang
kemudian dijelmakan dalam peraturan perundang-undangan Islam termasuk hukum
pidana Islam.[12] Islam sebagai agama yang sempurna, telah
memberi pedoman hidup kepada manusia yang bersifat menyeluruh dan meliputi
segala aspeknya untuk mencapai kebahagiaan hidup jasmani-rohani,
individual-sosial serta dunia-akhirat. Dalam rangka mencapai tujuan esensial
hidup manusia di atas, maka hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam
juga memuat garis-garis kebijakan tentang tujuan disyari’atkan hukum Islam
tersebut (Al-Maqaashidun al-Tasyri’iyah).
Menurut Ibnu Qoyyim[13], hukum Islam itu bersendi dan berasas atas hikmat dan kemashlahatan
(kebaikan) manusia dalam hidupnya di dunia dan di akhirat. Esensi syari’at
adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemashlahatan dan kebijaksanaan
sepenuhnya. Oleh karena itu, maka setiap persoalan yang keluar dan menyimpang
dari keadilan menuju keaniyaan, keluar dan menyimpang dari kasih sayang menuju
permusuhan, keluar dan menyimpang dari kemashlahatan menuju kerusakan, keluar
dan menyimpang dari kebijaksanaan menuju kepada kesia-siaan, bukalah syari’at.
Hakekat syari’at adalah keadilan Allah ditengah-tengah hamba-hamba-Nya dan
kasih sayang Allah diantara makhluk-Nya.
Dalam paparan yang lebih rinci,
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa disyari’atkannya ketentuan-ketentuan
hukum Islam kepada orang-orang mukallaf (yaitu orang-orang yang telah memenuhi kriteria
layak dibebani berlakunya hukum Islam), adalah dimaksudkan sebagai upaya
mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui
ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dlorurie (primer), hajjie
(sekunder) maupun yang tahsinie (tersier).[14]
Adapun
yang dimaksud dengan ketentuan yang bersifat dloruri adalah
ketentuan-ketentuan/aturan-aturan yang dimaksudkan untuk memelihara
terpenuhinya kepentingan hidup manusia yang bersifat primer/pokok. Seandainya
aturan-aturan hukum dloruri tersebut tidak dipatuhi, maka manusia akan
dihadapkan pada berbagai mafsadah (kerusakan dan kesukaran). Dalam
pandangan Islam, hal-hal yang bersifat primer bagi kemashlahatan hidup manusia
itu berpangkal pada upaya memelihara lima perkara, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.[15]
Dalam
konteks hukum pidana Islam, tuntutan agama melalui aturan-aturan hukum dloruri
agar manusia mentaati norma-norma pemelihara lima hal kebutuhan primer manusia supaya
tidak terjerumus pada mafsadah tersebut, secara logika dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Memelihara Agama.
Agama
sebagai kebutuhan primer pertama, bagi kehidupan manusia adalah hal yang sangat
penting karena dengan kehadiran agama manusia menjadi tahu mana yang benar dan
mana yang salah serta mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Oleh
agama, manusia diarahkan bagaimana ia harus menjalani hidup dan bagaimana ia
harus membangun hubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan dengan alam. Dengan
kata lain, tanpa agama, manusia tidak akan tahu atau bahkan tidak mau tahu
perbedaan mengenai hal-hal yang baik dan buruk, benar dan salah sehingga
manusia dapat berbuat sekehendak hati dengan selalu memperturutkan hawa
nafsunya.
Menyadari
urgensi kehadiran dan peran ajaran agama yang demikian ini, maka sangat wajar
apabila Islam menempatkan eksistensi agama bagi manusia sebagai kebutuhan hidup
yang fundamental. Dalam rangka memelihara eksistensi agama yang demikian
penting bagi kemashlahatan hidup manusia, maka Islam menetapkan hukum-hukum
yang antara lain berupa hukum pidana Islam tentang jarimah Riddah
(tindak pidana pelecehan agama, penyesatan agama dan sejenisnya) dengan ancaman
sanksi pidana yang amat berat.
2. Memelihara Jiwa.
Kebutuhan
primer bagi kemashlahatan hidup manusia yang kedua menurut Islam yakni
terpeliharanya jiwa (hak hidup), dapat dipahami karena hak hidup merupakan
salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental diantara hak-hak asasi
yang lainnya. Hidup adalah anugerah Tuhan yang menjadi sumber dari gerak
dinamika manusia.
Oleh
karena itu Allah S.W.T sangat tegas melarang tindak pembunuhan yang merupakan
pelenyapan hak asasi paling mendasar ini sebagaimana tercermin pada berbagai
ketentuan dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam Surat Al-Isra ayat 33 sebagai
berikut :
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur @ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß xsù Ìó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ
Artinya
: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan.
Menyadari
arti penting jiwa atau hak hidup bagi keberadaan manusia tersebut dan betapa umat
manusia akan musnah apabila tidak ada upaya untuk melindunginya, maka Islam
menetapkan hukum yang berupa ketentuan pidana mengenai jarimah Qishash
dengan ancama sanksi pidana Qishash sebagaiman di atur dalam Surat Al-Baqarah ayat 178-179, sebagai berikut :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya
: 178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada
yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. 179. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
3. Memelihara Akal Pikiran
Hal
primer ketiga bagi kehidupan manusia menurut Islam ialah terpeliharanya akal
pikiran. Konsepsi yang demikian ini adalah karena mengingat akal merupakan
sendi atau dasar bagi adanya taklif (pembebanan kewajiban) hukum. Oleh karena
itu bagi orang-orang yang tidak sehat akalnya atau tidak terpelihara kesucian
pikirannya, ia tidak tersentuh kewajiban-kewajiban/ketentuan hukum.
Menyadari
urgensi kedudukan akal dalam kehidupan manusia di atas, maka sangat relevan
apabila Islam memandang sebagai hal yang primer dan berupaya untuk
melindunginya melalui salah satu ketentuan hukum yaitu berupa hukum idana
tentang jarimah syurbah (tindak pidana minuman keras). Karena tindakan
mengkonsumsi minuman keras dapat berakibat rusaknya kesehatan akal pikiran
manusia, sedangkan akal pikiran yang tidak sehat akan membatalkan taklif
hukum. Disamping itu, orang yang mabuk karena minuman keras juga sangat
potensial melahirkan perilaku-perilaku destruktif secara sosial seperti
merusak barang orang lain, mengganggu ketenangan umum, mudah menfitnah orang
dalam ketidaksadarannya dan lain sebagainya.
4. Memelihara Keturunan
Hal
primer keempat bagi kehidupan manusia menurut Islam ialah terpeliharanya kesucian
keturunan manusia. Pandangan demikian ini mengingat kesucian keturunan
merupakan salah satu hal yang menunjukan tingginya martabat manusia dan
sekaligus membedakannya dengan derajat kebinatangan. Apabila manusia boleh
(bebas) mengembangbiakkan keturunan tanpa melalui rambu-rambu hukum yang
mengabsahkan hubungan tersebut, maka kondisi yang demikian akan menurunkan
derajat dan kehormatan manusia. Disamping itu, pengembangan keturunan dengan
cara melakukan hubungan secara bebas akan berdampak pada
ketidakjelasan/kaburnya garis keturunan manusia.
Menyadari
urgensi kesucian keturunan manusia di atas, maka ajaran Islam menggariskan
ketentuan-ketentuan hukum yakni berupa hukum pidana tentang larangan orang
berzinah (jarimah zinah) dengan ancaman pidana yang sangat keras bagi
yang melanggarnya.
Sebagaimana
yang di atur dalam Surat An-Nuur ayat 2 sebagai berikut :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.
5. Memelihara Harta
Hal
primer kelima bagi kehidupan manusia menurut Islam ialah terpeliharanya atau
terjaminnya masalah harta atau hak milik. Secara logika mudah dipahami bahwa
jaminan terhadap harta atau hak milik seseorang adalah hal yang sangat penting
dalam kehidupan bersama (masyarakat). Karena terpeliharanya hal tersebut akan
menumbuhkan perasaan tenang dan tentram pada diri setiap individu/warga anggota
masyarakat sehingga dapat menambah motivasi dalam usaha/bekerja untuk
mempertahankan eksistensi hidupnya.
Menyadari
urgensi tentang perlunya jaminan atas terpeliharanya harta (hak milik) bagi
kemashlahatan hidup manusia khususnya dalam kehidupan bersama sebagai
masyarakat, maka Islam menetapkan hukum yang dalam hal ini ialah berupa hukum
pidana tentang jarimah Sirqoh (tindak pidana pencurian) dan jarimah
Khirobah (tindak pidana perampokan). Dalam rangka mengkondisikan manusia
secara paksa untuk mentaati larangan-larangan pencurian dan perampokan agar
syari’at Islam lebih dapat terjamin masalah harta ini, maka pelanggar jarimah-jarimah
tersebut diancam dengan pidana yang cukup berat sebagaimana telah ditentukan
dalam Allah S.W.T dalam Surat Al-Maidah ayat 33, sebagai berikut :
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$# 4 Ï9ºs óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOÏàtã ÇÌÌÈ
Artinya
: Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
Selanjutnya dalam Surat Al-Maidah ayat 38, sebagai berikut :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya
: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Berdasarkan uraian tentang
lima perkara yang dipandang ajaran Islam sebagai masalah-masalah primer bagi
kemashlahatan hidup manusia di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
disyari’atkannya ketentuan-ketentuan hukum Islam sesungguhnya dimaksudkan untuk
menjaga agar kemashlahatan hidup manusia tersebut dapat terwujud serta terus
terpelihara dan sekaligus juga untuk mencegah timbulnya mafsadah atau
kerusakan dalam hidup manusia itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan esensial
dari pembentukan hukum Islam (termasuk hukum pidana Islam) adalah menciptakan
kemashalatan atau kebaikan bagi kehidupan manusia dan mencegah terjadinya mafsadah
atau kerusakan/kehancuran dalam hidup manusia.
BAB III
PEMBAHASAN
Eksistensi hukum pidana Islam
sebagai salah satu bahan yang dapat dikonstribusikan bagi upaya pembaharuan
hukum pidana di Indonesia (c.q. KUHP) adalah sangat prospektif
(berpeluang). Masalahnya adalah ajaran-ajaran hukum pidana Islam yang manakah
yang dapat dikonstribusikan dan bagaimanakah cara yang ideal untuk
mengimplementasikan konstribusi tersebut dalam suatu kebijakan legislatif
(perundang-undangan).
Secara teoritik, sering dipahami bahwa setidak-tidaknya ada 3 (tiga) masalah dasar yang terdapat dalam
ajaran hukum pidana, yaitu (1) masalah tindak pidana, (2) masalah
pertanggungjawaban pidana dan (2) masalah sanksi pidana. Berdasarkan pemahaman
yang demikian ini, maka persoalan substansi dari ajaran hukum pidana Islam yang
prospektif untuk dikonstribusikan dalam pembaharuan hukum pidana (KUHP Nasional).
Namun pada pembahasan dalam makalah ini hanya akan dipaparkan mengenai masalah tindak
pidana menurut konsep pidana Islam yang kemudian akan dirumuskan implementasi
konstribusinya dalam bentuk suatu kebijakan legislatif yakni KUHP Nasional.
Sebelum membahas mengenai konstribusi hukum pidana Islam dalam
pembaharuan hukum pidana Nasional, maka terlebih dahulu sebaiknya kita
mengetahui hakekat tindak pidana menurut hukum pidana Islam. Menurut para ahli
filsafat hukum Islam, setidaknya ada 5 (lima) hal/berkepentingan yang bersifat
pokok (dloruri) mengenai perbuatan manusia yang harus menjadi pusat
perhatian dan titik tolak setiap pengaturan hukum. Artinya, hukum Islam
mengenai masalah apapun yang telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an,
al-hadist maupun al-qonuun (perundang-undangan) ataupun yang masih akan
ditetapkan sebagai respon yuridis terhadap problem-problem baru muncul
dimasa mendatang, harus bersifat mendukung terhadap terwujudnya lima hal
tersebut. Kelima hal yang merupakan kepentingan pokok ialah terpeliharanya
masalah eksistensi agama, terjaminnya masalah hak hidup (jiwa) manusia, akal
pikiran, keturunan dan terjaganya masalah hak milik (harta). Dengan kata lain
secara ringkas disyariatkannya hukum-hukum Islam adalah dimaksudkan untuk
terwujudnya kemashlahatan atau kebaikan dalam hidup manusia dan sekaligus untuk
mencegah timbulnya mafsadah atau kerusakan dalam hidup manusia itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, secara argumentatif a contrario dapat disimpulkan bahwa perbuatan apa saja
yang dapat menghambat/mencegah terwujudnya maksud disyari’atkan hukum Islam
tersebut harus dinyatakan sebagai hal yang tercela/terlarang. Dalam konteks
hukum pidana, perbuatan tercela/terlarang sering disebut sebagai tindak pidana atau menurut hukum pidana Islam
disebut disebut dengan istilah jarimah.
Dalam hubungan ini, Ahmad Hanafi menyatakan bahwa dalam pandangan Islam,
‘iliat hukum atau dasar yang melatar belakangi diterapkannya suatu
perbuatan sebagai tindak pidana (jarimah) adalah karena perbuatan
tersebut bisa merugikan kepada tata aturan kehidupan masyarakat, atau
kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan anggota-anggotanya (sebagai
individu) atau harta-harta benda miliknya, atau nama baiknya, atau
perasaan-perasaannya atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati
dan dipelihara.[16]
Berbagai karakteristik dari perbuatan yang disebutkan Ahmad Hanafi di
atas, esensinya adalah merupakan perbuatan yang dapat menghalangi tercapainya
tujuan pokok persyari’atan hukum Islam khususnya yang berupa dar’ul mafaasid
(mencegah timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia). Sebab perbuatan apapun
yang dapat merugikan tata kehidupan masyarakat. Sebab perbuatan apapun yang
dapat merugikan tata kehidupan masyarakat, anggota-anggotanya sebagai pribadi,
harta benda miliknya dan lain-lain tersebut adalah perbuatan yang destruktif
(ada unsur mafaasid-nya).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian dan sifat hakiki dari
tindak pidana menurut konsep Islam adalah perbuatan yang apabila dilakukan
seseorang bisa menimbulkan mafsadah/kerusakan/kerugian atau bahaya bagi
kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota suatu
komunitas/masyarakat. Konsep demikian ini di dasarkan atas ketentuan dalam
surat Al-Baqarah ayat 195 yang berarti janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri kedalam kebinasaan. Selanjutnya dalam hadist nabi riwayat Imam Ahmad
yang mengajarkan laa dlaraara wa laa dliraara artinya janganlah
melakukan perbuatan yang membahayakan dirimu dan (terlebih lagi) yang
membahayakan orang lain.
Ajaran Al-Qur’an dan al-Hadist di atas apabila diimplementasikan dalam
konteks hukum pidana maknanya ialah normaisasi hukum yang melarang (dengan
label sebagai tindak pidana) terhadap segala macam perbuatan manusia yang dapat
menimbulkan bahaya/kerusakan/kerugian baik terhadap diri pelaku maupun orang
lain (dengan kata lain bahaya bagi kehidupan manusia). Meskipun normaisasi
suatu perbuatan sebagai jarimah (tindak pidana) pada prinsipnya
demikian, harus dipahami pula bahwa tidak selamanya suatu perbuatan yang
dipandang sebagai tindak pidana dimana pelakunya dapat dikenai suatu ancaman
pidana adalah selalu bersifat merugikan semua pihak dan pelarangannya selalu
bisa diharapkan akan mendatangkan mashlahat bagi semuanya. Pertimbangan utama
menurut hukum Islam dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai jarimah
(tindak pidana) adalah bukan karena segi keuntungan yang mungkin bisa dialami
oleh perseorangan dan bukan pula karena segi kerugian yang bisa dialami pelaku
tindak pidana pada saat sanksi pidananya ditegakan. Pelarangan terhadap suatu
perbuatan sebagai tindak pidana adalah karena perbuatan tersebut merugikan atau
paling tidak akan membawa kerugian bagi masyarakat.
Setelah mengetahui hekekat tindak pidana menurut pandangan
hukum pidana Islam, maka selanjutnya kita membahas dasar hukum penetapan tindak
pidana menurut pandangan Islam. Dalam hukum pidana Islam, masalah dasar hukum
untuk menilai dan menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dikenal
dengan ajaran tentang asas legalitas. Inti asas ini sering diartikan sebagai
prinsip hukum pidana yang mengajarkan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
seseorang tidak boleh dipandang sebagai tindak pidana dan pelakunya juga tidak
boleh dijatuhi suatu pidana kecuali sebelum perbuatan itu terjadi sudah ada
hukum yang mengaturnya demikian. Jadi hukum yang berisi ketentuan mengenai
larangan suatu perbuatan dilakukan harus telah ada terlebih dahulu sebelum
perbuatan itu benar-benar terjadi/dilakukan seseorang.
Dalam
konsep Islam, ajaran mengenai asas legalitas tersebut dapat diketemukan
penegasannya dalam beberapa surat dan ayat Al-Qur’an antara lain dalam Surat
Al-Isra ayat 15 sebagai berikut :
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya
: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia
berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat
Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab
sebelum kami mengutus seorang rasul.
Selanjutnya
dalam Surat Al-Qashash ayat 59, sebagai berikut :
$tBur tb%x. y7/u y7Î=ôgãB 3tà)ø9$# 4Ó®Lym y]yèö7t þÎû $ygÏiBé& Zwqßu (#qè=÷Gt öNÎgøn=tæ $uZÏF»t#uä 4 $tBur $¨Zà2 Å5Î=ôgãB #tà)ø9$# wÎ) $ygè=÷dr&ur cqßJÎ=»sß ÇÎÒÈ
Artinya
: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di
ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan
tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam
keadaan melakukan kezaliman.
Kemudian
dalam Surat Al-An’am ayat 19, sebagai beriktu :
ö@è% r& >äóÓx« çt9ø.r& Zoy»pky ( È@è% ª!$# ( 7Íky ÓÍ_øt/ öNä3oY÷t/ur 4 zÓÇrré&ur ¥n<Î) #x»yd ãb#uäöà)ø9$# Nä.uÉRT{ ¾ÏmÎ/ .`tBur x÷n=t/ 4 öNä3§Yάr& tbrßpkô¶tFs9 cr& yìtB «!$# ºpygÏ9#uä 3t÷zé& 4 @è% Hw ßpkôr& 4 ö@è% $yJ¯RÎ) uqèd ×m»s9Î) ÓÏnºur ÓÍ_¯RÎ)ur ÖäüÌt/ $®ÿÊeE tbqä.Îô³è@ ÇÊÒÈ
Artinya
: Katakanlah: "Siapakah yang lebih Kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah". dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al Quran Ini
diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). apakah Sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya dia adalah Tuhan
yang Maha Esa dan Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)".
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat
diketahui bahwa betapa Islam sangat menekankan masalah legalitas dalam
ajaran hukumnya tersebut. Hal demikian ini karena asas tersebut bersentuhan
langsung dengan masalah perasaan keadilan dalam diri manusia. Maksudnya,
apabila seseorang sebelumnya sama sekali tidak pernah mendengar atau mengetahui
tentang adanya suatu atura hukum yang mengganggap perbuatan tertentu sebagai jarimah
(terlarang dan dapat dipidana), kemudian orang tersebut benar-benar dipidana
setelah melakukan perbuatan tertentu yang tidak diketahuinya tadi, maka hal
demikian tentu merupakan suatu ketidak-adilan. Dengan dianutnya ajaran tentang
asas legalitas, maka macam-macam tindak pidana dan sanksinya akan dapat
diketahui dengan jelas dan pasti, sehingga dengan demikian orang akan
berhati-hati agar jangan sampai melakukan tindak pidana karena akan berakibat
penderitaan terhadap dirinya yaitu manakala sanksi pidana yang hakekatnya suatu
nestapa dikenakan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Dalam
hukum pidana Islam, pengertian aturan hukum yang biasa disebut dengan istilah nash
adalah mencakup aturan-aturan hukum yang bersifat tertulis (baik yang terdapat
di dalam Al-Qur’an, al hadist atau al qonun/perundang-undangan yang
ditetapkan oleh penguasa), dan juga mencakup aturan-aturan hukum yang bersifat
tidak tertulis yakni yang berupa prinsip pokok disyari’atkannya hukum Islam.
Dengan kata lain asas legalitas yang merupakan prinsip untuk menilai apakah
suatu perbuatan itu terlarang atau tidak menurut ajaran hukum pidana Islam baik
legalitas dalam pengertian formal berdasarkan hukum tertulis yaitu Al-Qur’an,
al hadist dan al qonuun maupun legalitas dalam pengertiaanya yang
materiil (berdasarkan aturan hukum tidak tertulis yaitu berwujud prinsip pokok tasyri’
Islam yaitu untuk mencegah kerusakan atau bahaya dan menciptakan kemashlahatan
atau kebaikan dalam kehidupan umat manusia.
Selanjutnya
pada tataran aplikasi, hukum pidana Islam membedakan penerapan asas legalitas
ini dikaitkan dengan kategori jenis perbuatan yang akan dinilai sebagai tindak
pidana. Maksudnya, untuk menilai perbuatan-perbuatan yang dipandang sangat
membahayakan dan mempengaruhi keamanan serta ketentraman masyarakat luas
sebagai jarimah (tindak pidana), konsep Islam menerapkan asas legalitas
ini secara ketat. Artinya, tidak bisa tidak harus didasarkan pada nash
atau aturan hukum yang bersifat formal (tertulis) yang terlebih dahulu ada
sebelum perbuatan itu terjadi. Adapun perbuatan-perbuatan yang memiliki
kategori demikian yang dalam hukum pidana Islam biasa disebut dengan istilah jarimah-jarimah
Hudud dan Qishash-Diyat jumlahnya sangat terbatas, hanya terdiri
dari : 1). Zinah, 2). Qodzaf (fitnah), 3). Sirqoh (pencurian),
4). Khirobah (perampokan), 5). Syurbah (mengkonsumsi sesuatu yang
memabukan), 6). Riddah (konversi agama) dan 7). Al Baghyu
(pemberontakan). Sedangkan yang termasuk jarimah Qishash meliputi
pembunuhan dan penganiyaan. Mengingat beberapa tindak pidana Hudud dan Qishash
tersebut sangat membahayakan dan berpengaruh luas bagi kehidupan masyarakat,
maka penilaian terhadap perbuatan-perbuatan tersebut sebagai jarimah
ditentukan secara tegas dalam hukum formal (tertulis) baik dalam nash
Al-Qur’an maupun al hadist.
Sedangkan
untuk menilai perbuatan-perbuatan diluar kategori jarimah-jarimah
Hudud dan Qishash-diyat sebagai suatu perbuatan terlarang
(perbuatan dengan kategori ini biasa disebut dengan istilah jarimah Ta’ziir),
hukum pidana Islam menerapkan ajaran asas legalitas ini sedikit agak
longgar. Dalam arti penilaian terhadap suatu perbuatan sebagai jarimah Ta’ziir,
pertama-tama tetap harus di dasarkan atas aturan hukum tertulis yang tercantum
dalam al-qonun (undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa). Jadi
menerapkan ajaran asas legalitas dalam pengertiannay yang formal, akan
tetapi, apabila di dalam al qonun tidak dijumpai ketentuan hukumnya,
padahal dalam realitas/fakta, perbuatan yang terjadi yang tidak termasuk
kategori jarimah huddud dan Qishash tersebut mengandung aspek dlarar
(membahayakan dan merugikan kehidupan manusia), maka berdasarkan prinsip
tentang tujuan pokok tasyri’ Islam yakni mencegah bahaya dan menciptakan
mashlahah, perbuatan tersebut tetap harus dinilai sebagai jarimah
(Ta’ziir) walaupun belum/tidak ada hukum tertulisnya.
Sehingga
dengan demikian, Islam menerpakan ajaran asas legalitas dalam
pengertiannya yang materiil (berdasarkan hukum tidak tertulis). Adapun dasar
pemikiran atau pertimbangannya ialah demi untuk menciptakan kemashlahatan dalam
kehidupan manusia pada saat yang sama juga untuk mencegah meluasnya bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan tersebut.
Setelah
mengetahui dasar hukum penetapan tindak pidana menurut hukum pidana Islam,
selanjutnya kita membahas mengenai kualifikasi tindak pidana menurut Islam. Masalah kualifikasi
tindak pidana (jarimah) menurut hukum pidana Islam, sesungguhnya dapat
dipahami dari pengertian tentang tindak pidana (jarimah) itu sendiri.
Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa jarimah
adalah perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’ yang pelakunya
diancam oleh Allah S.W.T dengan pidana hadd atau Ta’ziir.
Berdasarkan
definisi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya kualifikasi tindak
pidana yang disebut Hudud (bentuk plural/jama’ dari kata hadd
ialah Hudud), dan tindak pidana yang disebut Ta’ziir. Kualifikasi
ke dalam dua jenis tindak pidana tersebut adalah didasarkan atas adanya dua
konsep pokok tentang pidana sebagai sanksi hukum yang diancamkan terhadap
perbuatan-perbuatan yang dinyatakan secara hukum sebagai hal terlarang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak pidana Hudud adalh tindak pidana
yang diancam dengan sanksi pidana Hudud, sedangkan tindak pidana Ta’ziir
adalah tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana Ta’ziir.
Adapun
pidana Hudud adalah pidana yang telah ditentukan secara jelas dan tegas
di dalam nash/hukum (baik berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadist) mengenai
jenis dan bentuknya, bobot/berat ringannya maupun cara eksekusi/pelaksanaannya.
Sedangkan pidana Ta’ziir ialah pidana yang tidak ditentukan secara jelas
dengan tegas di dalam nash/hukum (Al-Qur’an maupun Al Hadist), oleh
karena itu, maka penetapan kebijakan mengenai jenis-jenis/bentuk-bentuk pidana Ta’ziir,
bobot/berat ringannya dan cara eksekusinya sepenuhnya merupakan wilayah
kewenangan manusia yang dalam hal ini diserahkan melalui keputusan penguasa
berbentuk peraturan perundang-undangan, dengan syarat penetapan undang-undang
tersebut harus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan
dengan nash-nash syara’ serta prinsip-prinsipnya yang bersifat
umum.[17]
Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa pandangan sebagian besar ahli
hukum Islam, mengkualifikasikan macam-macam tindak pidana menurut Islam ke
dalam 3 (tiga) kualifikasi, yaitu tindak pidana Hudud, tindak pidana Qishash
dan tindak pidana Ta’ziir.
A. Tindak
Pidana Hudud
Jarimah atau tindak pidana Hudud
merupakan salah satu bentuk tindak pidana dalam hukum Islam yang konsep-konsep
dasarnya sudah ditegaskan sedemikian rupa dalam nash hukum (baik Al-Qur’an
maupun Hadist), sehingga tidak memberikan peluang interpretasi dalam praktek
penerapan hukum sebagai cermin dari kebebasan hakim.
Dalam bahasa Arab,
kata Hudud merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata hadd yang artinya al-man’u
(mencegah).[18]
Sehingga kalau diartikan secara etimologis (bahasa), hadd ialah mencegah atau
melarang orang yang melampaui (melanggar) batas-batas atau hukum-hukum Allah.
Adapun pengertian jarimah Hudud adalah sanksi hukum yang telah
ditentukan secara jelas dan tegas didalam nash hukum (Al-Qur’an dan Al
Hadist) baik penentuan pidana itu berkaitan dengan jenisnya, berat ringannya
(bobotnya) maupun cara pelaksanannya.[19]
Adapun jarimah Hudud,
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Zina
Dalam pandangan Islam,
terdapat beberapa illat (alasan) yang menyebabkan perbuatan zina dianggap
sebagai perbuatan yang sangat tercela serta membahayakan khususnya terhadap
eksistensi moralitas masyarakat hingga ancaman pidananya demikian berat yakni
dari cambuk sampai dengan rajam hingga matinya terpidana. Alasan-alasan
dilarangnya perbuatan zina tersebut adalah : 1). Karena zina dipandang sebagai
perbuatan yang dapat mencegah tercapainya salah satu dari tujuan
disyari’atkannya hukum Islam yakni terpeliharanya kesucian keturunan manusia.
2). Karena zina dalam pandangan Islam dianggap sebagai salah satu dari tiga
dosa besar yakni setelah perbuatan syirik dan pembunuhan. 3). Karena zina dalam
pandangan Islam dianggap sebagai potensi yang membuka peluang bagi terjadinya jarimah
(tindak pidana) dan berbagai dampak negatif lainnya.[20]
Tindak pidana
zina menurut fiqih adalah perbuatan melakukan hubungan seksual secara haram (di
luar ikatan perkawinan yang sah) yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang telah mukallaf dan tidak ada syubat di dalamnya.
Hubungan seksual yang dimaksud dalam definisi di atas haruslah dalam arti yang
sebenarnya yakni masuknya alat kelamin laki-laki (dzakar) ke dalam alat
kelamin perempuan (faraj).[21]
Adapun
ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana zina yaitu di atur dalam Surat
An-Nuur ayat 2 dan Surat An-Nisaa’ ayat 15, dimana esensi kedua ayat tersebut
adalah mengatur mengenai zina yang para pelakunya berstatus belum bersuami
istri, dan di ancam pidana bagi pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan
berupa cambuk sebanyak 100 (seratus) kali. Selanjutnya dalam Hadist riwayat Sulaiman
Buraidah yang intinya menceritakan kasus perzinahan yang dilakukan oleh dua
orang yang telah berkeluarga atau sudah dalam ikatan suami istri, di ancam
dengan sanksi pidana yaitu dirajam (ditanam separuh badan kemudian dilempari
batu) hingga mati.
2. Qodzaf
Adapun yang dimaksud
dengan tindak pidana Qodzaf menurut pengertian fiqih ialah menuduh orang
Islam yang dikenal baik dengan dakwaan telah melakukan zina tetapi tidak
disertai dengan suatu alat bukti yang dibenarkan menurut hukum. Alat bukti yang
dimaksudkan dalam hal ini ialah syahadah, iqror, qoriinah
dan sumpah li’an.[22]
Ancaman pidana bagi pelaku Qodzaf di atur dalam Surat An-Nuur ayat 45
yakni pidana cambuk delapan puluh kali.
Dasar pemikiran menurut
Islam mengenai dilarangnya perbuatan Qodzaf ialah 1). Untuk mencegah dan
meminimalisir terjadinya fitnah yang menurut agama dipandang sangat tercela
karena dinilai lebih berat dari pembunuhan, 2). Untuk menjadi sarana bagi
pemeliharan martabat atau harga diri manusia agar tidak rendah akibat tuduhan
atau fitnah zina yang tidak terbukti. Terpeliharanya harga diri atau martabat
manusia ini memang merupakan salah satu dari maksud tujuan disyari’atkannya
hukum Islam.
3. Sirqoh
Tindak pidana Sirqoh
(pencurian) dalam hukum Islam sangat ditekankan pelarangannya karena beberapa
alasan antara lain karena pencurian dapat mencegah tercapainya salah satu
tujuan disyari’atkannya hukum Islam yakni terpeliharanya harta kekayaan (hak
milik) seseorang. Selain itu, dalam tingkat tertentu apabila pencurian ini
telah sedemikian rupa menjadi fenomena sosial yang mewabah, maka jarimah
pencurian akan dapat menyebabkan keguncangan ekonomi dan sosial secara luas
termasuk pula masalah ketenangan dan keamanan hidup.
Jarimah
Sirqoh yaitu perbuatan seorang mukallaf yang mengambil suatu barang
milik orang lain dari tempat penyimpanannya untuk dimiliki atau dikuasai dengan
tanpa seijin atau sepengetahuan pemiliknya (secara sembunyi-sembunyi) dan dalam
jumlah nishab tertentu. Ketentuan hukum terhadap jarimah pencurian
sebagaimana di atur dalam Surat Al Maaidah ayat 38 yang intinya menegaskan
bahwa bagi pencuri laki-laki dan perempuan hukuman hadd-nya adalah potong
tangan, dimana hukum haad tersebut bertujuan sebagai pembalasan atas kejahatan
pelaku dan sebagai pelajaran dari Allah agar masyarakat luas tidak ikut
melakukan jarimah sebagaimana terpidana.
4. Khirobah
Secara therminologi
(bahasa), Khirobah sering dipahami dalam konteks adanya tindakan
sekelompok orang atau perorangan sebagai penyamun yang sengaja mencegat
orang-orang yang melalui sebuah jalan secara menakutkan untuk mengambil barang
bawaannya. Dalam literatur fiqih, Khirobah pada intinya sering di
definisikan sebagai perbuatan mengambil harta milik orang lain secara
terang-terangan (dengan paksaan) yang dilakukan seseorang maupun segerombolan
orang yang dapat berakibat terjadinya beberapa kemungkinan seperti terampasnya
harta korban saja, nyawa korban, harta dan nyawa korban ataupun sekedar
menjadikan resah kehidupan masyarakat sekitar kejadian.
Hukum pidana
Islam sebagaimana yang di atur dalam Al-Qur’an Surat Al Maaidah ayat 33 yang menentukan
empat macam ancaman pidana yang cukup berat terhadap pelaku jarimah Khirobah
yaitu 1). Hukuman mati, 2). Hukuman mati secara salib, 3). Hukuman potong
tangan dan kaki secara silang, 4). Hukuman pembuangan/pengasingan.
5. Syrubah
Ada beberapa ketentuan
hukum baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist yang merupakan sumber hukum
pengaturan tindak pidana syurbah atau mabuk ini. Di dalam Al-Qur’an antara lain
terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 219, Surat An-Nisaa’ ayat 43 dan Surat Al-Maidah
ayat 90-91. Selanjutnya dalam sunnah nabi yang mengandung arti bahwa setiap
yang memabukkan adalah Khomr, dan setiap Khomr adalah haram,
segala sesuatu yang apabila diminum dalam jumlah banyak memabukkan, maka
meminumnya dalam jumlah sedikit hukumnya adalah haram.
Bebearapa
alasan rasional tentang pelarangan tindak pidana Khomr ini yaitu : 1).
Minum Khomr dalam pandangan Islam dianggap dapat mencegah tercapainya
salah satu tujuan disyari’atkannya hukum Islam yakni memelihara kesucian akal,
2). Minum Khomr dipandang sebagai cermin dari sikap mengabaikan tanggung
jawab baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun Tuhan, 3). Minum Khomr
dipandang merupakan faktor kriminogenik artinya secara potensial
menimbulkan lahirnya kejahatan-kejahatan baru seperti perkosaan, penganiyaan
dan gangguan ketertiban lainnya.
Mengenai
masalah sanksi pidana, beberapa hadist menegaskan bahwa pada prinsipnya peminum
Khomr dapat dikenai pidana cambuk sebanyak 40 (empat puluh) kali. Akan
tetapi apabila pelaku telah menjadi residivis (berulang kali melakukan jarimah
ini) maka menurut ijtihat Umar, ancaman pidananya dapat diperberat menjadi 80
(delapan puluh) kali cambuk.
6. Riddah
Dalam perspektif fiqih,
perbuatan Riddah dapat diartikan sebagai keluarnya seorang muslim yang
telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam dengan kehendaknya sendiri
(tanpa paksaan) baik dilakukan dengan niat, perkataan maupun dengan perbuatan
yang bisa menjadikannya dinilai sebagai kafir. Jarimah Riddah
atau keluar dari agama Islam pelakunya biasa disebut murtad. Adapun ketentuan Al-Qur’an
yang memberikan rambu-rambu normatif tentang perbuatan Riddah sebagaimana
di atur dalam Surat Al-Baqarah ayat 217, Surat Al-Imran ayat 90, Surat Al-Maidah
ayat 54 dan Surat An-Nahl ayat 106. selanjutnya Riddah juga di jelaskan
dalam sunnah yang mengandung arti bahwa secara umum Riddah dipandang
sebagai perbuatan terlarang (jarimah) yang diancam dengan pidana mati.
7. Bughot
Dalam Al-Qur’an sumber
pengaturan hukum mengenai tindak pidana Bughot (pemberontakan) ini
terdapat dalam Surat Al-Hujuraat ayat 9 yang pada intinya menegaskan bahwa
apabila ada dua golongan kaum muslim saling bermusuhan maka damaikanlah.
Apabila tidak mau didamaikan maka perangilah pembangkang (yang tidak mau
berdamai) tersebut sehingga mereka kembali berdamai dijalan Allah. Sehingga
sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana ini hanya disebutkan perangilah hingga
kembali berdamai. Kata perangilah mempunyai konsekuensi yang bermacam-macam
seperti kematian, kerusakan (kerugian) materiil.
B. Tindak Pidana Qishash
Secara bahasa, kata Qishash
adalah berasal dari bahasa arab dengan kata dasar iqtashoshso yang berarti
tattabi’ul atsaar (mengikuti). Oleh karena itu maka definisi qishash
sering diartikan sebagai perlakuan secara sama yang dikenakan terhadap
seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan hingga berakibat hilangnya nyawa
orang lain, anggota badan orang lain atau fungsi anggota badan orang lain
tersebut. Perlakuan secara sama dalam ini mempunyai arti sebagai akibat yang
mengikuti perbuatan pelaku menghilangkan nyawa/anggota badan/fungsi anggota
badan seseorang, dan sekaligus berkedudukan sebagai hukuman.
Berdasarkan pengertian
Qishash di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya ruang lingkup tindak
pidana Qishash itu meliputi dua macam, yaitu : 1). Tindak pidana Qishash
yang sasarannya adalah jiwa atau nyawa seseorang (dalam bahasa hukum pidana
perbuatan demikian sering disebut sebagai pembunuhan), dan 2). Tindak pidana Qishash
yang sasarannya adalah anggota badan atau fungsi anggota badan seseorang yang
dalam bahasa hukum pidana sering disebut sebagai perbuatan penganiayaan.
Dalam Al-Qur’an,
prinsip-prinsip hukum tentang Qishash telah ditentukan dengan jelas sebagaimana
terdapat dalam Surat Al-Isra ayat 33, Surat An Nisa ayat 29, 92-93, Surat
Al-Maaidah ayat 45 dan Surat Al-Baqarah ayat 178-179. Disamping itu beberapa
kententuan dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W sebagai sumber hukum komplemen
terhadap Al-Qur’an juga menggariskan pengaturan hukum tentang masalah Qishash
itu.
Secara filosofis,
pelarangan terhadap tindak pidana Qishash khususnya Qishash
pembunuhan, dapat dijelaskan dengan memahami kedudukan manusia di muka bumi ini
yang hakekatnya ialah sebagai khalifah untuk memakmurkan kehidupan bumi. Untuk
dapat menjalankan fungsi sebagai khalifah tersebut dengan baik, maka Allah
menganugerahi suatu struktur bentuk tubuh (fisik) yang terbaik diantara makhluk
lainnya. Disamping itu, manusia juga dianugerahi akal fikiran dan hati nurani
agar dengan keduanya manusia bisa mengendalikan segala perilakunya sehingga
dalam melaksanakan fungsi kekhalifahan manusia dapat tetap berjalan sesuai
syari’at Allah S.W.T. Untuk menggambarkan sedemikian terlarangnya perbuatan
membunuh, Allah sampai memberikan perumpamaan bahwa apabila seseorang telah
melakukan pembunuhan kepada satu orang saja, maka ibaratnya ia sama dengan
telah melakukan pembunuhan kepada seluruh manusia di dunia ini, sebagaimana
yang di atur dalam Surat Al-Maaidah ayat 32.
Dalam surat Al-Baqarah
ayat 178 merupakan dasar hukum Qishash yang mengatur sanksi hukum yang
diancamkan terhadap pelaku tindak pidana Qishash, maka berdasarkan makna
dari kata Qishash yang berarti perlakuan yang sama yang mengandung
maksud menjunjung tinggi ajaran tentang setiap orang adalah sama kedudukannya
dihadapan hukum atau yang dikenal dengan istilah equality before the law. Berdasarkan ketentuan tersebut, pidana Qishash
merupakan pidana pokok tetapi bersifat sebagai alternatif akhir, artinya secara
moral psikologis, sebenarnya Allah terlebih dahulu menganjurkan kepada korban
penganiyaan atau kepada keluarga korban suatu pembunuhan untuk memilih sikap
memaafkan pelaku tindak pidana baik dengan disertai tuntutan diyat (ganti
rugi) maupun tidak sama sekali. Adapun pidana maksimum yang dapat dikenakan diyat
(ganti rugi) sebesar 100 (seratus) ekor unta atau yang senilai dengan itu.
C. Tindak Pidana Ta’ziir
Dari segi bahasa, kata Ta’ziir
diartikan sebagai mendidik, mencegah/menolak. Adapun secara terminologis, Ta’ziir
adalah merupakan jenis sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku jarimah
Ta’ziir (yakni jarimah/tindak pidana yang aturan-aturan hukumnya
tidak ditentukan dalam nash Al-Qur’an maupun hadist). Oleh karen itu, maka
jenis-jenis pidana Ta’ziir ini pun juga tidak disebutkan secara jelas
baik mengenai bentuknya, bobot atau berat ringannya maupun dari segi cara
eksekusi/pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Al Hadist. Dengan demikian,
macam-macam maupun bentuk-bentuk jarimah Ta’ziir dan sanksinya ini
ditentukan oleh penguasa melalui penetapan peraturan perundang-undangan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan demi menciptakan kemashalahatan bersama
dan demi mencegah terjadinya madlarat dalam kehidupan masyarakat luas.
Dengan demikian, maka
Islam memandang sepanjang perbuatan tersebut merugikan atau secara prediktif
dapat diperkirakan akan mendatangkan kerugian dalam kehidupan manusia,
perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai jarimah Ta’ziir, tentu saja
legitimasi suatu perbuatan tersebut sebagai jarimah Ta’ziir tersebut
harus di dasarkan atas penetapan perundang-undangan oleh penguasa atau melalui ijtihad
hakim (yurisprundensi) dalam proses persidangan.
Namun demikian, dari
banyak macam dan luas ruang lingkup perbuatan yang dapat digolongkan sebagai jarimah
Ta’ziir, secara kategori dapat dikelompokkan ke dalam 2 macam, yaitu :
1. Jarimah Ta’ziir dengan kategori ketentuan
mengenai perbuatan tercela/terlarang ada disebutkan dalam nash (Al-Qur’an/Hadist),
namun ketentuan mengenai sanksi pidananya tidak disebutkan dalam nash atau
kalaupun disebutkan maka penyebutan sanksi pidana tersebut hanya bersifat
sanksi akhirat. Contohnya perbuatan riswah (suap), maisir (judi),
menimbun barang keperluan orang banyak dan sebagainya.
2. Jarimah Ta’ziir
dengan ketegori baik ketentuan mengenai perbuatan yang dinyatakan tercela/terlarang maupun ketentuan mengenai sanksi pidananya, kedua-duanya
tidak disebutkan sama sekali dalam nash Al-Qur’an dan Hadist. Namun
dalam realitas sosial, perbuatan tersebut menampakkan fenomena sebagai
perbuatan yang merugikan atau setidak-tidaknya potensil akan mendatangkan
kerugian dalam kehidupan manusia. Terhadap jenis perbuatan yang demikian,
penguasa dapat menetapkannya sebagai jarimah Ta’ziir berdasarkan prinsip
pokok tujuan syari’at Islam yakni mencegah/menghindari semaksimal mungkin
timbulnya kerusakan dan menciptakan seluas mungkin kemahslahatan bagi kehidupan
manusia.
Setelah
mengetahui hakekat tindak pidana, dasar hukum penetapan tindak pidana dan
kualifikasi tindak pidana menurut hukum pidana Islam, maka selanjutnya akan
dibahas konstribusi hukum pidana Islam dalam pembaharuan hukum pidana (KUHP
Nasional) mengenai rumusan tindak pidana. Menurut perpektif historis
maupun yuridis-konstitusional, diketahui bahwa eksistensi hukum pidana
Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam secara
keseluruhan, sesungguhnya memiliki prospek atau peluang besar untuk
dikonstribusikan sebagai salah satu bahan bagi pembaharuan hukum pidana
nasional (KUHP). Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya,
bahwa pada dasarnya pemikiran-pemikiran konseptual mengenai tindak pidana
menurut hukum pidana Islam sesungguhnya mempunyai banyak persamaan dengan
konsep Rancangan KUHP Nasional.
Namun
demikian, disamping persamaan-persamaan sesungguhnya antara konsep Islam dengan
Rancangan KUHP Nasional tersebut juga menunjukan adanya perbedaan-perbedaan.
Setidaknya ada tiga hal perbedaan yang berikut ini sengaja ditekankan dalam
pembahasan ini karena secara teoritik mencerminkan nilai plus dari konsep Islam
sehingga diharapkan dapat dikonstribusikan bagi penyusunan Rancangan KUHP
Nasional. Adapun tiga hal tersebut adalah :
A. Konsep yang berhubungan dengan
ajaran asas legalitas khususnya legalitas Materiil.
Inti dari konsep ini
mengajarkan bahwa hukum tak tertulis dapat pula dijadikan dasar penilaian dan
penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (disamping dasar hukum yang
tertulis). Rancangan KUHP Nasional mengartikan wujud hukum tak tertulis itu
adalah pandangan riil masyarakat yang mencela suatu perbuatan dan menganggap
pelakunya patut untuk dikenai pidana. Sedangkan menurut konsep Islam, hukum tak
tertulis itu adalah berwujud implementasi prinsip dlarar yang
interpretasinya berdasarkan moralitas agama. Maksudnya, suatu perbuatan dapat
dinilai dan ditetapkan sebagai tindak pidana adalah berdasarkan
pertimbangan/penilaian bahwa perbuatan itu membahayakan bagi kehidupan manusia
menurut ukuran-ukuran ajaran agama.
Jadi bahaya tidak
suatu perbuatan tidak di ukur menurut relaitas masyarakat, tetapi menurut
ajaran agama. Hal ini karena pandangan masyarakat dikhawatirkan dapat berubah yang
disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor eksternal (seperti pragmatisme,
hedonisme, modernisme) yang salah dan lain-lain, sehingga
kebenarannya menjadi relatif dan potensial menyesatkan. Berbeda halnya apabila
pandangan mengenai bahaya atau tidaknya suatu perbuatan tersebut di dasarkan
pada ajaran agama yang secara doktriner lebih memiliki tingkat kebenaran
yang absolut sehingga hukum yang dihasilkan dari rujukan seperti ini relatif
lebih dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembimbing dalam perubahan sosial
yang terjadi. Sehingga konsep Islam tentang legalitas materiil dapat
diakomodasikan sebagai konstribusi penyempurnaan penyusunan Rancangan KUHP
Nasional.
B. Konsep yang berhubungan dengan
asas retro-aktif sebagai penyimpangan terhadap prinsip menurut ajaran
asas legalitas.
Inti dari asas ini
mengajarkan bahwa suatu aturan hukum yang baru dibuat dan diterapkan, dapat
diberlakukan surut terhadap hal-hal atau perkara yang di atur didalamnya yang
telah terjadi sebelum aturan tersebut ada. Secara eksplisit, Rancangan KUHP
Nasional tidak menentukan berlakunya asas ini sebagai suatu kebijakan, kecuali
dalam masalah terjadinya perubahan perundang-undangan dimana hukum yang baru
sebagai hasil perubahan bisa diberlakukan secara surut kepada kasus pidana
seseorang sepanjang dinilai akan lebih menguntungkan dibanding memberlakukan hukum
lama yang telah dirubah.
Sedangkan dalam konsep
Islam, disamping mengakui dan memberlakukan asas retro-aktif untuk masalah terjadinya perubahan hukum di
atas, berdasarkan praktek Nabi Muhammad S.A.W dalam menjalankan hukum-hukum Al-Qur’an
dalam hal ini Surat Al Maaidah ayat 33 dan Surat An Nuur ayat 4, secara
eksplisit juga mengakui dan mengajarkan asas retro-aktif untuk masalah
hukum yang baru sama sekali ada. Dengan memperhatikan syarat-syarat pokoknya
yaitu perkara yang terjadi sebelum suatu aturan hukum ada (dan setelah ada
hukum itu akan diterapkan terhadap perkara tadi), harus benar-benar merupakan
perkara yang sangat serius dan membahayakan masyarakat luas dimana kepentingan
demi terciptanya kebaikan bersama, perkara tersebut memang menghendaki
penyelesaian hukum secepatnya.
Asas ini secara
filosofis adalah sesuai dengan komitmen Islam terhadap konsep hukum dan
penegakannya yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kerusakan
dimuka bumi. Oleh karena itu, sepanjang Rancangan KUHP Nasioanl juga diidealkan
sebagai bangunan hukum yang komitmen terhadap tujuan penciptaan kebaikan dan
mencegah kerusakan, ada baiknya mengadopsi pemikiran Islam tentang pengakuan
dan penerapan asas retro-aktif di
atas sebagai suatu kebijakan eksplisit (diluar rancangan Pasal 2 KUHP Nasional
yang telah ada sekarang).
C. Konsep yang berhubungan dengan kualifiaski
tindak pidana dalam sistematika hukum pidana.
Dalam masalah ini,
kebijakan implisit Rancangan KUHP Nasional adalah mengadakan pembagian
jenis-jenis tindak pidana yang dapat dikualifikasikan sebagai delik formiil
yaitu delik menurut peraturan perundang-undangan dan dellik materiil yaitu
delik menurut hukum tak tertulis. Hal ini sesuai dengan pengakuan terhadap ajaran
asas legalitas baik dalam pengertiannya yang formiil maupun materiil. Kemudian masing-masing dari kualifikasi
tindak pidana tersebut dijabarkan dalam rumusan berbagai macam jenis tindak
pidana yang sangat mendetil dan tetap sehingga menghasilkan ratusan nama jenis
tindak pidana. Hal demikian akan berakibat hukum akan menjadi kurang responsif
dan antisipatif terhadap perkembangan-perkembangan baru dari kejahatan yang
muncul kemudian dan tidak/belum di atur dalam hukum yang telah ada.
Adapun dalam Islam,
kualifikasi tindak pidana dikonsepkan sangat sederhana kedalam dua kelompok
kategori saja. Pertama adalah jenis-jenis tindak pidana yang dinilai sangat
mendasar sebagai ancaman terhadap tata kehidupan bersama (biasa disebut tindak
pidana hudud-qishash) sehingga oleh karenanya perlu dijabarkan
perumusannya dalam ketentuan nash/hukum tertulis (Al-Qur’an/Al Hadist).
Kedua adalah jenis-jenis tindak pidana di luar kategori pertama atau yang biasa
disebut tindak pidana ta’ziir, dimana ketentuan deliknya berdasarkan
hukum tertulis dalam hal ini melalui al qanun/perundang-undangan dan
berdasarkan hukum tak tertulis yaitu melalui implementasi prinsip dlarar.
Kategori pertama hanya
menghasilkan sembilan macam tindak pidana, yaitu zina, qodaf, sirqoh,
khirobah, syurbah, riddah, bughat, pembunuhan dan
penganiayaan. Sedangkan kategori kedua bisa terdiri atas perbuatan apa saja dan
dapat terus dikembangkan lagi dimasa mendatang menjadi beragam macam tindak
pidana, sepanjang perbuatan itu memenuhi kriteria sebagai tindak pidana menurut
moralitas agama dan kriminalisasinya berorientasi kepada tujuan ini syari’at
yaitu mewujudkan kebaikan dan mencegah kerusakan dalam kehidupan manusia.
Dengan pola
kualifikasi tindak pidana yang demikian ini, maka hukum pidana Islam dapat
selalu aktual, responsif, dan antisipatif terhadap setiap jenis perkembangan
kejahatan yang terjadi kemudian ditengah kehidupan masyarakat. Berdasarkan hal
di atas, maka sistematika pengkualifikasian tindak pidana sebagaimana telah
dirancang sebagai suatu kebijakan dalam Rancangan KUHP Nasional, mengingat
mengandung kelemahan seperti yang telah dikemukakan di atas, sebaiknya ditinjau
ulang dengan mempertimbangkan kemungkinan akomodasi terhadap konsep pola
kualifikasi tindak pidana menurut Islam. Tujuannya ialah agar KUHP Nasional
mendatang benar-benar dapat menjadi hukum yang fleksibel, responsif dan
antisipatif terhadap setiap jenis kejahatan yang terjadi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa konstribusi pidana Islam dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dalam hal ini hukum pidana materiil yakni
KUHP Nasional mengenai rumusan tindak pidana yaitu 1. Konsep yang berhubungan dengan
ajaran asas legalitas khususnya legalitas materiil yaitu terhadap
suatu perbuatan dapat dinilai dan ditetapkan sebagai tindak pidana berdasarkan
pertimbangan/penilaian bahwa perbuatan itu membahayakan bagi kehidupan manusia
menurut ukuran-ukuran ajaran agama, 2. Konsep yang berhubungan dengan asas retro-aktif
sebagai penyimpangan terhadap prinsip menurut ajaran asas legalitas, dimana
perbuatan tersebut harus benar-benar merupakan perkara yang sangat
serius dan membahayakan masyarakat luas dimana kepentingan demi terciptanya
kebaikan bersama dan perkara tersebut memang menghendaki penyelesaian hukum
secepatnya, 3. Konsep yang berhubungan dengan kualifikasi tindak pidana
dalam sistematika hukum pidana, dengan tujuan agar KUHP Nasional mendatang
benar-benar dapat menjadi hukum yang fleksibel, responsif dan antisipatif
terhadap setiap jenis kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
B. Saran-Saran
Berdasarkan pembahasan sebagaimana yang telah
disimpulkan di atas, maka disarankan :
1. Agar konsep Islam tentang asas legalitas
materiil dapat dimasukan dalam Rancangan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP sehingga
rumusannya menjadi : ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas,
tidak mengurangi berlakunya hukum tak tertulis yang bersumber dari
prinsip-prinsip moralitas agama yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
atas suatu perbuatan yang dilakukannya walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Agar implementasi konsep Islam
tentang asas retro-aktif, khususnya dalam arti memberlakukan secara
surut terhadap hukum yang baru sama sekali ada (maksudnya menjangkau
hal/perkara yang diatur di dalamnya yang terjadi sebelum hukum tadi ada), dapat
dimasukan sebagai rumusan pasal tersendiri yang keberadaannya bersifat
melengkapi terhadap Rancangan Pasal 2 yang telah ada dalam RUU KUHP, dengan
rumusan sebagai berikut : Tindak pidana yang terjadi sebelum suatu aturan hukum
ada dan setelah ada hukum itu akan diterapkan terhadap tindak pidana tersebut,
harus benar-benar merupakan tindak pidana yang serius dan membahayakan
kehidupan masyarakat luas serta mendesak untuk diselesaikan secepatnya menurut
hukum demi terciptanya kemashlahatan bersama.
3. Agar implementasi konsep Islam
tentang kualifikasi tindak pidana dalam sistematika hukum pidana, dapat
menggunakan ajaran Islam sebagai rekomendasi dalam menentukan sistematika
kualifikasi tindak pidana, yaitu Bab I tentang jenis-jenis tindak pidana yang
bersifat mendasar sebagai ancaman terhadap kehidupan bersama sebagaimana konsep
Islam tentang tindak pidana hudud-Qishash, dan Bab II tentang
jenis-jenis tindak pidana yang bersifat tidak sangat mendasar sebagai ancaman
kehidupan bersama sebagaimana ajaran Islam tentang tindak pidana ta’ziir.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdul Rahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala
Al-Madzaahibi Al-Arba’ah, Daaru Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, 1990, hal
212
Abdur Rahman I Dho’I, Tindak Pidana
dalam Syari’at Islam (Terjemahan), Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Abdus Salam Arief, Fiqh Jinayat (Hukum
Pidana Islam), Penerbit Ideal, Yogyakarta, 1987.
Abu al Hasan Ahmad Fariz, Mu’jam
Maqayis al-Lughah, Jilid III, Mustafah al-Halabi, Mesir, 1970.
Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fiqih
Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta, 1982.
, Asas-asas Hukum
Mua’malat, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Al Imam
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah, Daar Al-Fikr Al-Arabie, Kairo, 1976.
Al Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Babi
al-Halabi, Mesir, 1973.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata
Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad
dalam Hukum Islam, Penerbit Dina Utama, Semarang, 1993.
Khozin Siradj dalam Hukum Islam :
Sejarah Perkembangannya, Aliran-alirannya dan Sumber-sumbernya, Penerbit Perpustakaan
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1984.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar
al-Fikr al-Arabi, 1958.
Muhammad Alim, Konstribusi Pidana Islam
pada Hukum Pidana Nasional, Mahkamah Konstitusi Repbulik Indonesia,
Jakarta, 2011.
|
Muhammad
Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami Daar al Qalam, Beirut,
1981.
Muhammad
Na’iem Farhat, At-Tasyri’u Al-Jina’ie Al-Islamie, Daar Al-Ishfahamie, Jeddah,
1972.
Taqiyyu
al-Dien al-Husainy, Kifaayatu al-Akhyaari, Syirkatu al-Ma’arif, Bandung.
[1]
Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami Daar al Qalam,
Beirut, 1981, hal 10.
[2]
Muhammad Ali Al Tahanawi dalam Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum
Mua’malat, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987, hal 1.
[3]
Abu al Hasan Ahmad Fariz, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Mustafah al-Halabi,
Mesir, 1970, Jilid III, hal 442.
[4]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-Arabi, 1958, hal 6.
[5]
Mustofa Ahmad Az-Zarqa dalam Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fiqih Jinayat
(Hukum Pidana Islam), Penerbit Perpustakaan Fakurtal Hukum UII,
Yogyakarata, 1992, hal 5-6.
[6]
Abdus Salam Arief, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Ideal,
Yogyakarta, 1987, hal 1-2.
[7]
Abdus Salam Arief, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Penerbit Ideal,
Yogyakarta, 1987, hal 1-2.
[8] Al
Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, Babi al-Halabi, Mesir, 1973, hal 219.
[9]
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta,
1993, hal 44.
[10]
Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam, Penerbit Dina
Utama, Semarang, 1993, hal 7-13.
[11]
Hadist riwayat Al Baihaqi sebagaimana dikutip Khozin Siradj dalam Hukum
Islam : Sejarah Perkembangannya, Aliran-alirannya dan Sumber-sumbernya, Penerbit
Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1984, hal 92.
[12]
Muhammad Alim, Konstribusi Pidana Islam pada Hukum Pidana Nasional, Mahkamah
Konstitusi Repbulik Indonesia, Jakarta, 2011, hal 39.
[13]
Khozin Siradj, op,cit, hal 92.
[14]
Abdul Wahab Khallaf dalam Dede Rosyada,, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali
Press, Jakarta, 1993, hal 29.
[15] Ibid
[16]
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,
[17] Ahmad
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hal
35.
[18] Al
Imam Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah, Daar Al-Fikr Al-Arabie, Kairo,
1976, hal 54,
[19]
Muhammad Na’iem Farhat, At-Tasyri’u Al-Jina’ie Al-Islamie, Daar
Al-Ishfahamie, Jeddah, 1972, hal 17.
[20]
Abdur Rahman I Dho’I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam (Terjemahan), Rineka
Cipta, Jakarta, 1992, hal 31-32
[21]
Taqiyyu al-Dien al-Husainy, Kifaayatu al-Akhyaari, Syirkatu al-Ma’arif, Bandung,
hal 178.
[22]
Abdul Rahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzaahibi Al-Arba’ah, Daaru
Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, 1990, hal 212.
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!