PERTANGGUNGJAWABAN PUTUSAN HAKIM
(YUDICIAL LIABILITY)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Suatu problema yang sedang terjadi dalam dunia
penegakan hukum saat ini adalah permasalahan dapatkah hakim dimintai
tanggungjawab hukum atas kesalahan profesional. Pandangan tradisional
menyatakan hakim punya imunitas dan tidak bisa dimintai tanggung jawab
hukum atas apa yang mereka lakukan sebagai hakim.
Pandangan tradisional tersebut pada
faktanya punya banyak nuansa, dimana semua sistem hukum pada umumnya cenderung
segan untuk memperkenalkan konsep tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial,
tetapi tidak satu pun sistem hukum memberikan kekebalan absolut pada hakim.
Selain itu terdapat pergerakan yang sangat hati-hati pada sistem hukum tertentu
terhadap tanggung jawab hukum peradilan yang lebih besar.
Permasalahan
tentang apakah hakim memiliki tanggung jawab hukum atas kelalaian atau
kesalahannya dalam tugas mengadili (judicial liability) mulai mengemuka
pada akhir-akhir ini, meskipun pada dasarnya sekitar 1970 sampai 1980-an isu
ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan dunia hukum. Istilah Judicial liability
mungkin masih asing terdengar di telinga para penggiat peradilan atau
masyarakat hukum Indonesia. Konsep yang memungkinkan pihak yang berperkara
menuntut ganti rugi akibat kesalahan hakim dalam menangani atau memutus perkara
memang belum diatur secara tegas oleh hukum Indonesia.
Perdebatan
terutama mengenai pertanyaan dapatkah seorang hakim digugat secara perdata atas
kesalahannya dalam mengadili yang berakibat kerugian bagi seseorang. Selain itu
juga terkait hukum acara pidana, pernah muncul pertanyaan dapatkah hakim di pra-peradilankan,
disamping polisi dan jaksa yang menyalahi prosedur hukum acara pidana.
Terkait
judicial liability, dunia praktek hukum sebenarnya menganggap seorang
hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak bertanggung jawab terhadap
siapapun, hanya kepada Tuhan. Ketua Pengadilan atau pengadilan diatasnya pun
tidak diperkenankan mempengaruhi hakim dalam mengambil putusan dalam suatu
perkara.
Merupakan
sebuah kebiasaan dan sikap saling menerima, apakah jelek atau bagus kualitas
putusan yang dijatuhkan oleh hakim, jika tidak menerima atau tidak adil dapat
menggunakan upaya hukum yang tersedia. Hakim yang terbukti, misalkan menerima
suap, korupsi dan penyalahgunaan lain menjadi persoalan tersendiri, bahwa yang
bersangkutan bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatannya.
Akan sangat
membantu bila kita lebih dulu mendefinisikan sejumlah konsep utama apa yang
dimaksud dengan tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial, perlu membedakan
antara tanggung jawab pidana dan perdata. Tanggung jawab pidana mengarah pada
tindakan yudisial yang melibatkan korupsi sehingga dalam tanggung jawab pidana
meletakkan hakim pada sanksi pidana secara pribadi, di mana penuntutannya ada
di tangan negara. tanggung jawab perdata meletakkan hakim pada kemungkinan
membayar ganti rugi.
Kasus
kongkrit sebenarnya pernah terjadi di Indonesia, yakni kasus Sengkon (bin
Yakin) dan Karta (bin Salam). Di dunia hukum kasus ini dianggap sebuah
kesesatan peradilan. Mereka diputus bersalah melakukan pembunuhan dan dihukum
masing-masing 12 dan 7 tahun penjara. Namun ternyata kemudian terbukti Gunel
dkk dan Elly dkk melakukan pembunuhan atas Suleiman dan istri seperti yang
dituduhkan atas Sengkon dan Karta. Akhirnya melalui PK (herziening),
mereka diputus tidak terbukti bersalah. Putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan MA
pada 31 Januari 1981.
Dari putusan
Sengkon-Karta jelas bahwa sebuah putusan oleh hakim yang salah dan sembrono
atau kurang hati-hati bisa membawa kerugian yang nyata. Atas putusan ini, Oemar
Seno Adji, didasarkan perkembangan kasus dan pandangan hakim di luar negeri, ia
menyatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sewaktu menolak gugatan,
patut mencantumkan asas, bahwa hakim tidak dapat digugat secara perdata dalam
pelaksanaan tugas yudisialnya, dengan syarat bahwa kesalahan dilakukan dengan
itikad baik tanpa mempersoalkan salah-tidaknya putusan. [1]
Oleh
karena itu pentingnya dilakukan suatu kajian yang mendalam tentang konsep Yudicial
Liability dalam hal penegakan hukum, sehingga pelaksanaan penegakan hukum
di Indonesia dalam mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum dapat terwujud.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
adalah :
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial Liability) ?
2. Bagaimanakah konsep pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial Liability) di Indonesia ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pertanggungjawaban
putusan hakim (Yudicial Liability).
b. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban
hakim (Yudicial Liability) di Indonesia.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini memberikan
kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum pidana serta dapat menjadi bahan
referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang pertanggungjawaban
putusan hakim (Yudicial Liability).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Perkembangan Konsep Yudicial Liability
Menurut Sebastiaan
Pompe (2005), memberikan definisi yang di dimaksud konsep judicial liability
terkait dengan tanggung jawab pidana dan perdata. Tanggungjawab pidana mengarah
pada tindakan yudisial yang melibatkan korupsi, dan meletakkan kedudukan hakim
pada sanksi pidana secara pribadi, di mana penuntutannya ada di tangan negara.
Sedangkan tanggungjawab perdata meletakkan hakim pada kemungkinan membayar
ganti rugi. Pada dasarnya, tanggungjawab hukum perdata tersebut dapat melekat baik
pada hakim secara individu atau pada negara.[2]
Jauh hari
sebelumnya, Oemar Seno Adji sebenarnya mengemukakan dalam makalahnya, Safeguards
of The Judiciary, yang disampaikan dalam Konfrensi Ketua-Ketua MA se-Asia
Pasifik ke-7 di Jakarta pada bulan Juni 1978, umumnya di semua negara hakim
tidak dapat dipertanggungjawabkan karena melakukan suatu onrechtmatige daad,
untuk kesalahan yang ia perbuat selama ia menjalankan tugas peradilannya.
Begitu pula
negara tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh hakim dalam pelaksanaan tugasnya. Kesalahan di luar tugas
peradilan masih memungkinkan diajukannya gugatan perdata terhadap hakim.
Selanjutnya, negara tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk rechtterlijk
handelingen, sekedar dan selama itu perbuatan peradilan, sedangkan dapat
dipertanggungjawabkan jika perbuatan yang tidak memiliki sifat peradilan
tersebut.[3]
Putusan yang tidak berdasarkan hukum dapat didekati dengan cara berbeda,
misalnya dengan menggunakan prinsip fair trial sebagai kriteria dalam
menentukan ilegal tidaknya suatu putusan. Upaya ini tidak mempersoalkan sifat
dasar keadilan dan aktivitas peradilan. Sedangkan putusan yang tidak
berdasarkan hukum, terminologinya sendiri sudah mengindikasikan, mencakup
putusan pengadilan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, yang
secara hukum salah. Putusan pengadilan juga bisa tidak benar ketika melanggar
prinsip fair trial. [4]
Dalam
sejarah praktek peradilan hukum, pengaturan mengenai pertanggungjawaban
putusan hakim dalam peradilan (Yudicial Liability), awalnya diatur dalam Pasal 1365 BW, yang berbunyi : Tiap perbuatan
melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat
yang bersalah untuk mengganti kerugian.
Di
negara-negara Eropah Kontinental, perbuatan melawan hukum atau disingkat PMH
dikenal dengan istilah onrechtmatige daad atau Anglo Saxon dengan
istilah tort yang pengertiannya berkembang terus menerus, tidak hanya
yang dilakukan oleh orang perorangan, akan tetapi juga badan hukum termasuk
oleh penguasa.
Namun
pengertian PMH secara klasik menurut Munir Fuady mengutip William C. Robinson
(1882), adalah sebagai berikut :
a. Nonfeasance, yakni merupakan tidak
berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum ;
b. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang
dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan
perbuatan yang dia mempunyai hak melakukannya ;
c. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang
dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.
Di Belanda
sebelum tahun 1919, PMH hanya dianggap sebatas melanggar pasal-pasal hukum
tertulis. Akan tetapi sejak kasus Lindenbaum versus Cohen tahun 1919,
onrechtmatige daad tidak hanya onwetmatige daad saja, namun secara luas yakni: [5]
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang
lain.
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri.
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
4. Perbuatan yang bertentangan dengan
kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
Dalam ilmu
hukum sendiri, dikenal tiga kategori PMH yaitu PMH karena kesalahan, PMH tanpa
kesalahan (tanpa unsur kesalahan dan kelalaian), dan PMH karena kelalaian. Disamping
semakin luasnya lapangan pengertian PMH, Menurut Wirjono Prodjodikoro (1974),
pada tahun 1942 ada putusan penting dari Peradilan Tertinggi di Negeri Belanda
(Ostermann-arrest), yang menentukan bahwa Pemerintah berdasarkan atas
Pasal 1401 BW Belanda (Pasal 1365 BW Indonesia) bertanggung jawab atas segala
perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya yang melanggar hukum perdata saja
melainkan juga melanggar hukum publik.
Dengan
putusan ini, Pengadilan Perdata diperbolehkan menginjakkan lapangan Peradilan
Tata Usaha Pemerintahan. Tanggung jawab negara atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah ini dikenal dengan onrechtmatige
overheidsdaad. [6]
Perbuatan
alat perlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat,
apabila Pemerintah memakai kekuasaannya menurut Hukum Publik itu untuk tujuan
yang tidak dimaksudkan oleh Hukum Publik itu, atau dalam bahasa Perancis kalau
ada detournement de pouvoir. Sekiranya juga dapat dikatakan, bahwa
perbuatan Pemerintah tidak pantas dalam masyarakat, apabila perbuatannya
bersifat sewenang-wenang (willekeur).
Dalam kajian
llmu hukum yang dikembangkan oleh sarjana hukum seperti Prof. Meyers, umumnya
berkesimpulan bahwa Pasal 1365 BW tidak dapat diterapkan terhadap hakim yang
salah dalam melaksanakan tugas peradilannya.[7]. Beberapa negara seperti Malaysia,
Filipina, Pakistan, Amerika Serikat dengan sistem hukum yang berbeda, akan
tetapi memiliki identitas konstitusionalnya sebagai peradilan yang bebas termasuk
hakim bebas dari gugatan perdata, biasanya disertai syarat bahwa apa yang
dilaksanakan hakim dengan itikad baik, kecuali Belgia dan Perancis terdapat
tambahan kecuali apabila hakim menerima suap atau melakukan penolakan hukum.
Di Belanda,
sesuai putusan MA tahun 1971, yaitu putusan benchmark dalam kasus Mrs X
melawan pemerintah Belanda, Prof. A.W. (Ton) Joengbloed, menyetujui putusan
tersebut, negara pada prinsipnya tidak dapat dimintai tanggung jawab hukum atas
putusan yang tidak berdasarkan hukum, kecuali jika hakim dalam mempersiapkan
kasus tersebut tidak mengindahkan prinsip hukum yang fundamental dan dapat
dikatakan bahwa tidak ada perlakuan yang jujur dan imparsial terhadap kasus
tersebut. Kemudian dikatakannya hanya pelanggaran terhadap prinsip fair
trial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ECHR yang dapat dikabulkan gugatan
ganti ruginya, dan ketika pelanggaran tersebut diakui, kita pada dasarnya
berbicara mengenai tanggungjawab hukum negara yang ketat/strict liability. [8]
Sementara
itu, di Belgia terdapat perkembangan padangan tradisional, di mana Mahkamah
Agung Belgia (Cour de Cassation) mendefinisikan ulang tanggung jawab
hukum atas tindakan yudisial dalam kasus Kepailitan ANCA yang terkenal
(RW1992-1993, 396). MA Belgia menyatakan negara bisa dimintai
pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang ditimbulkan oleh kekeliruan
peradilan dalam perkara perdata, ketika hakim bertindak atau dapat secara
meyakinkan diasumsikan untuk bertindak, di dalam batas-batas kewenangannya.
Dari
pertimbangan MA tersebut, argumennya negara merupakan subyek hukum seperti
halnya pihak swasta. Tidak satu pun hukum di negara tersebut mengecualikan
pengadilan dari kewajiban untuk bertindak secara hati-hati, atau dari kewajiban
membayar ganti rugi jika kehati-hatian tersebut dilanggar. Mengenai anggapan
pelanggaran independensi pengadilan, MA berpendapat hal tersebut terlalu
berlebihan.
Sedangkan
anggapan pelanggaran atas pemisahan kekuasaan, menurut MA Belgia, lembaga
peradilan sendirilah yang menentukan ada tidaknya tanggungjawab hukum dalam
kasus ini (dan bukan kekuasaan negara yang lain), dan juga bahwa di sini
tanggungjawab hukum tidak dilekatkan pada kekuasaan negara tertentu, melainkan
pada negara sebagai kesatuan entitas hukum dan argument lainnya.
Sementara
itu, oleh beberapa negara yang agak berlainan baik sistem pengadilan maupun
sistem hukumnya, akan tetapi yang mengakui asas kebebasan bagi pengadilan
beserta hakimnya, antara lain :[9]
a. Di
Filipina, maka dikatakan oleh Hakim Agung/Guru Besar Enrique N. Fernando dalam
The Constitution of The Filipines (Konstitusi tersebut adalah konstitusi
terakhir pada tahun 1973) bahwa, berdasarkan perkara Alzua melawan Johnson,
maka To Implement hits constitutional policy in favour of an independent
judiciary, The judgesare excempted from civil liability for acts committed in
the exercise of a jdicial function. (untuk melengkapi kebijaksanaan
konstituonal kearah pengadilan, kekuasaan kehakiman yang bebas, para hakim itu
dibebaskan dari pertanggungjawab perdata mengenai perbuatan yang dilakukan
dalam pelaksanaan tugas peradilan).
b. Di
Pakistan, tidak ada suatu hakim pun yang dapat dipertanggung jawabkan dalam
suatu proses Perdata mengenai sesuatu yang ia lakukan dengan itikad baik. (Study of equality in administration of
justice United Nations, halaman 79. "In Pakistan no judjges I liable in a
civil action for anything done in good faith").
c. Bahkan Amerika Serikat lebih jauh, pada
tahun 1967, menyatakan dalam perkara Pierson V, Ray, bahwa kekebalan para Hakim
terhadap gugatan ganti rugi harus ditegakkan walaupun terdapat tuduhan-tuduhan
terhadap Hakim mengenai perbuatan yang dilakukan tidak dengan itikad baik
ataupun secara korektif sifatnya.
d. Malaysia telah
mengatur hal ini dengan Undang-undang yaitu Section 14 Courts of Judicature act
1964, yaitu :
1). Hakim atau seorang pejabat yang bertindak
sebagai Hakim TIDAK AKAN DAPAT dipertanggung jawabkan dan digugat di depan
Pengadilan secara Perdata untuk suatu tindakan yang dilakukan dalam
melaksanakan tugas peradilannya, tanpa dihiraukan apakah tindakan tersebut
melampaui batas-batas Kewenangannya, begitu pula tidak dapat diperintahkan pada
Hakim pembayaran ganti rugi, asal saja hakim tersebut patuh waktu itu secara
itikad baik berpendapat bahwa ia berwenang untuk melakukan atau memerintahkan
perbuatan yang digugat tersebut.
2). Pejabat Pengadilan atau orang lain yang
berkewajiban untuk melaksanakan surat perintah pelaksanaan yang sah atau
perintah-perintah yang diberikan oleh Hakim atau pejabat lain yang bertindak
sebagai Hakim, tidak akan dapat dipertanggung jawabkan dan digugat di depan
Pengadilan secara Perdata, karena pelaksanaan surat perintah yang sah atas
perintah yang wajib dilaksanakannya kalau berada dalam batas-batas wewenang
Hakim atau pejabat yang bertindak sebagai Hakim.
3). Pejabat kepolisian, juru sita atau pejabat
Pengadilan lain yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan suatu Keputusan
Hakim, perintah atau pelaksanaan sitaan, atau menyerahkan harta sebagai
jaminan, sebelum ada Keputusan Hakim, TIDAK AKAN DAPAT dipertanggung jawabkan
dan digugat Pengadilan secara Perdata, karena harta yang disita olehnya, atau
karena terjadi kerusakan pada hak milik dalam usaha melaksanakan sitaan,
kecuali kalau ternyata bahwa ia dengan sengaja bertindak melampaui batas
Kewenangannya dengan sengaja, hanya dengan alasan telah mengetahui adanya suatu
sengketa mengenai hak milik harta yang disita tersebut.
Bapak Tun Mohamad
Soffian, Ketua Hakim Negara Mahkamah Persekutuan Malaysia dalam pembicaraannya
dengan Mahkamah Agung di Indonesia menjelaskan bahwa, Hukum mengenai hal
tersebut di atas mengikuti Hukum yang berlaku di Inggris, yang dapat ditemukan
jelas dalam Keputusan Lord Denning, President of the Court of Appeal in Angland
dalam perkara Sirros v. Moore and Other (1975) (Perhatikan lampiran).
Kesemuanya itu sekedar menunjukkan bahwa beberapa Negara
sistem peradilan manapun sistem hukum manapun yang dianut olehnya, Hakim dalam
perkara Perdata adalah bebas dari gugatan ganti rugi karena adanya kesalahan
dalam perbuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan. Hal
demikian dikaitkan juga dengan permasalahan Kekuasaan Kehakiman yang bebas,
yang dalam Negara kita memperoleh jaminan konstitusional dan perundang-undangan. [10]
Dengan demikian, dari pembahasan yang
telah dikemukakan di atas tentang perkembangan konsep pertanggungjawaban
putusan hakim (Yudicial
Liability), maka dapat di
kemukakan bahwa konsep Yudicial Liability terbagi dalam 2 pemikiran besar yaitu sebagai berikut :
1. Model Inggris/Amerika
Dalam sistem model Inggris/Amerika Serikat
yang menganut tiada tanggung jawab hukum negara kecuali pada kasus-kasus yang
ditentukan secara jelas. Kata Pompe, imunitas dipandang sebagai suatu
elemen penting agar hakim dapat mengambil putusan kontroversial tanpa rasa
takut, termasuk rasa takut terhadap gugatan hukum.
Pompe mengutip pernyataan Lord Denning yang mengatakan dalam kasus
Sirros v. Moore (1974) 3WLR 458 C.A: He should not have to turn the pages of
his book with trembling fingers, asking himself : If I do this, shall I be
liable in damages. Di Inggris, secara spesifik memberikan kekebalan hakim
dalam malaksanakan tugas yudisialnya yang terkait independensi dan
imparsialitas, sedangkan tindakan lain misalkan terkait fungsi administratif
tiada kekebalan.
Model Inggris/Amerika Serikat dapat
dirangkum sebagai aturan Tidak-Kecuali yaitu tidak ada tanggung jawab hukum
oleh negara kecuali pada kasus-kasus yang ditentukan secara jelas. Doktrin
historisnya didasarkan pada imunitas negara, yang maksudnya negara tidak
dapat digugat kecuali ada aturan yang secara spesifik memungkinkannya. Mungkin
agak terlambat, dan dengan beberapa catatan bahwa tanggung jawab hukum seperti
itu diakui. Selain itu, pengakuannya pun bersifat parsial dan doktrin imunitas
negara secara esensial belum ditinggalkan hingga saat ini.
Sejauh
dapat diterima, tanggung jawab hukum negara tersebut di definisikan dalam
terminologi common law yaitu pemerintah dengan segala niat dan
tujuannya dianggap identik dengan warga negaranya, serta memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Hal ini diartikan bahwa tanggung jawab hukum negara secara
prinsip didefinisikan sebagai tanggung jawab hukum pribadi agen negara, bukan
negara itu sendiri. Gugatan ganti rugi terhadap pejabat negara harus diarahkan
pada pejabat yang bersangkutan, bukan pada negara, dan ganti rugi oleh
karenanya harus ditanggung oleh pejabat tersebut.
Salah satu
konsekuensi dari pendekatan ini adalah karena ia menantang pihak penggugat
untuk membuktikan bahwa pejabat negara yang digugat telah melampaui
kewenangannya berdasarkan hukum yang berlaku, maka beban pembuktian bisa jadi
lebih berat. Lebih penting lagi, peluang pejabat publik untuk menghadapi
gugatan hukum, dapat secara mudah mempengaruhi cara yang bersangkutan
menjalankan tugas dan kewenangannya.
Di antara implikasi dan pelajaran dari pengalaman
adalah peluang seorang pejabat publik menjalankan tugasnya dengan penuh
ketakutan atau dengan sembrono, atau tidak menjalankan tugasnya sesuai
penilaian yang hati-hati namun berdasarkan kepentingan; itu adalah kesulitan,
yang muncul dari, meminta pertanggung jawaban seorang pegawai pemerintah; dan
juga pertanyaan mengapa, dalam menjalankan tugas pemerintahan, seorang pegawai
pemerintah harus bertanggung jawab sejak awal.[11]
Tanggung jawab hukum pribadi untuk
tugas-tugas resmi telah menjadi faktor kritis dalam membatasi tanggung jawab
hakim dalam model Inggris/Amerika Serikat. Namun, pertanyaannya adalah,
dapatkah independensi hakim dijaga secara memadai, jika mereka harus bertanggung
jawab secara pribadi atas tindakan yudisialnya. Imunitas dipandang
sebagai suatu elemen penting agar hakim dapat mengambil putusan yang
kontroversial tanpa rasa takut, termasuk rasa takut terhadap gugatan hukum.
Seperti
yang dinyatakan Lord Denning (soal hakim) dalam kasus Sirros v. Moore
(1974) 3 WLR 458 C.A, yaitu :
Ia tidak boleh
membuka halaman bukunya dengan jari-jari yang gemetar, sambil bertanya kepada
dirinya: “jika aku melakukan hal ini, apakah aku harus bertanggung jawab
terhadap kerugian yang terjadi.
Di Inggris, Crown Proceeding Act
ayat 2 (5) secara spesifik memberi imunitas pada hakim “melaksanakan
atau bermaksud melaksanakan tanggung jawab apapun yang bersifat yudisial…’
Logikanya adalah karena hakim tidak dapat menerima perintah dari Raja, maka
Raja pada gilirannya tidak dapat dimintai tanggung jawab atas tindakan yudisial
yang keliru.
Di Inggris seperti halnya di Amerika
Serikat, syarat dari kekebalan ini adalah bahwa hakim bertindak dalam garis
batas fungsi yudisial mereka, dan perkembangan hukum di persoalan ini telah
mengarah untuk mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud fungsi yudisial.
Di Inggris, prinsip dasar yang terbentuk dalam kasus Sirros v. Moore adalah
sebagai berikut :
a. Dalam kasus pidana, seorang hakim dapat
dikenai sanksi pidana (tentu saja, jika hakim menerima suap atau korupsi, atau
berbuat menyimpang, maka ia dapat dihukum dalam peradilan pidana).
b. Dalam hal tanggung
jawab perdata, tidak ada tanggung jawab hukum yang bisa dibebankan jika hakim
bertindak berdasarkan niat baik dan dalam yurisdiksinya. Hanya jika ia
bertindak di luar fungsinya, dan tidak yakin bahwa dia bertindak dalam
fungsinya, maka dia bisa dimintai tanggung jawab perdata.
Tanggung jawab
hukum tersebut akan menjadi tanggung jawab hukum pribadi, dan akan didasarkan
pada aturan umum mengenai perbuatan melawan hukum. Peraturan
ini kemudian diadopsi dalam Courts and Legal Services Act 1990 ayat
108.
Demikian pula di Amerika Serikat. Upaya
diarahkan untuk mendefinisikan tindakan yudisial yang menurut Mahkamah Agung
Amerika Serikat harus diberikan imunitas (Stump vs. Sparkman
435 US 349 (1978)). Tindakan-tindakan lain, seperti tindakan yang bersifat
administratif, tidak diberi imunitas. Mahkamah Agung Amerika Serikat
mengembangkan dua alat uji untuk mendefinisikan tindakan yudisial :
a. Apakah suatu tindakan sering dilakukan oleh seorang hakim (yang
ditentukan oleh sifat dari tindakan tersebut),
b. Apakah seorang hakim bertindak dalam
yurisdiksinya (yang ditentukan oleh ekspektasi yang wajar dari pihak-pihak
berperkara).
Pengujian tersebut terjadi dalam
kasus Pulliam v. Allen 466 US 522 (1984), di mana Mahkamah
Agung menetapkan bahwa meski hakim Pulliam telah bertindak sebagai hakim dalam
yurisdiksinya, injunctive relieve (perintah Pengadilan untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu tindakan) terhadap yang bersangkutan dapat
diberikan.
Mahkamah Agung juga menyatakan hakim
yang bersangkutan wajib mengganti biaya jasa pengacara yang dikeluarkan
penggugat. Empat tahun kemudian, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengesampingkan
Stump-test dalam kasus Forrester v. White 484 US 219 (1988).
Di sini, menyusul dissenting opinion hakim agung Posner dalam
kasus Stump, Mahkamah Agung menyetujui bahwa imunitas peradilan
merupakan instrumen yang sangat kuat, yang hanya dapat digunakan dalam kasus di
mana tanpa imunitas tersebut seorang hakim tidak dapat menjalankan
fungsi yudisialnya dengan baik.
Hal tersebut tergantung pada dua hal
yaitu apakah ada yurisprudensi di mana tindakan hakim yang dipersoalkan
memenuhi kualifikasi sebagai tindakan yudisial, dan apakah kepentingan
masyarakat akan dilayani lebih baik bila imunitas diberikan.
Pertanyaan kuncinya berlanjut
menjadi kapankah suatu tindakan yudisial dikatakan telah terjadi. Pada beberapa
kasus ekstrim cukup mudah menjawabnya. Pada kasus di mana hakim membanting para
pihak ke tanah, memukuli mereka, atau melompat-lompat di atas perut mereka,
maka itu bukanlah tindakan yudisial (dan karenanya harus dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum oleh hakim yang bersangkutan). Bukan pula tindakan
yudisial ketika hakim memerintahkan polisi untuk menangkap pedagang kopi
pinggir jalan, memborgolnya, mendorongnya ke tanah, hanya karena kopinya tidak
enak (Zarcone v. Perry 572 F.2d 52 (2d Cir. 1978)).
Melalui pasang surut pendefinisian apa yang
dimaksud tindakan yudisial, dan sekaligus, tanggung jawab hukum pribadi seorang
hakim, tiga elemen berikut dapat diajukan :
a. Hanya
dengan imunitas maka independensi dan juga imparsialitas peradilan dapat dijaga (prinsip independensi peradilan);
b. Kasus hukum harus bisa diselesaikan, dan
tidak boleh berlarut-larut diperkarakan ulang (prinsip ‘litis finiri oportet’);
c. Saluran bagi pihak berperkara secara umum
untuk mengajukan keberatan harus disediakan dengan memintakan sanksi disiplin
atau jalur banding biasa.
2. Model
Eropah Kontinental
Model Eropah Kontinental, yang lebih menekankan
tanggung jawab negara atas kesalahan organnya, dijelaskan Sebastiaan Pompe, di
dalam hukum Jerman bahwa,“.. hakim secara eksplisit dikecualikan dari ketentuan
Konstitusi soal tanggungjawab hukum negara atas organ-organnya (Pasal 34
Konstitusi, kalimat kedua), tetapi hanya menyangkut tindakan yudisial. Juga,
dua kategori dari tindakan yudisial secara spesifik dikecualikan: mengingkari
keadilan (denials of justice) dan penundaan yang tidak layak (improper
delays) juga berkontribusi terhadap kelemahan yang ada masih bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Model Eropah Kontinental mungkin
lebih baik disebut sebagai Model Ya-Tetapi yaitu sistem hukum sebagai suatu
prinsip menerima tanggung jawab hukum negara atas tindakan salah yang dilakukan
organnya, kecuali bila tindakan tersebut dilindungi oleh imunitas.
Hasilnya adalah bahwa sistem hukum kontinental secara umum cukup komprehensif
dalam mengatur tanggung jawab hukum negara.
Contoh yang
baik adalah Pasal 34 dari Konstitusi Jerman (yang berasal dari pertengahan abad
ke-18), yang secara umum menetapkan negara wajib bertanggung jawab terhadap
perilaku organ atau pejabatnya yang salah. Karena banyak bergantung pada apakah
pejabat publik telah bertindak sesuai kapasitas jabatannya atau tidak,
perkembangan hukum dalam sistem kontinental pada tingkatan tertentu
mencerminkan perdebatan dalam model Inggris/Amerika serikat.
Dengan
demikian, dalam hukum Jerman, hakim secara eksplisit dikecualikan dari
ketentuan Konstitusi soal tanggung jawab hukum negara atas organ-organnya
(Pasal 34 Konstitusi, kalimat kedua), tetapi hanya menyangkut “tindakan
yudisial”. Juga, dua kategori dari tindakan yudisial secara spesifik
dikecualikan: mengingkari keadilan (denials of justice) dan penundaan
yang tidak layak (improper delays) juga berkontribusi
terhadap kelemahan yang ada masih bisa dipertanggung jawabkan secara
hukum.
Yurisprudensi
mengartikan bahwa imunitas tidak berlaku bagi seluruh tindakan yudisial,
tapi hanya untuk tindakan yang dibuat oleh hakim independen, yang diputuskan
dengan benar, dan merupakan suatu putusan final dalam sebuah sengketa (dalam arti
sudah final dan mengikat). Tanggung jawab hukum negara hanya muncul jika
putusan final pengadilan merupakan suatu tindak pidana. Serta, kegagalan untuk
mengajukan banding telah meniadakan hak untuk mengklaim dan mengajukan gugatan
ganti rugi.
Model Eropah
Kontinental bergerak mencari bentuk dan siap untuk menerjemahkan tanggung jawab
hukum, sebagai tanggung jawab hukum negara dan bukan sebagai tanggung jawab
hukum pejabat publik seperti halnya dalam model Inggris/Amerika. Pihak yang
dirugikan harus mengajukan gugatan terhadap negara dan tidak terhadap pejabat
perorangan (seperti halnya di Inggris/Amerika Serikat), dan kewajiban ganti
rugi ada pada negara. Pertanyaannya kemudian, apakah negara dapat meminta
penggantian atas ganti rugi yang dibayarkannya, kepada pejabat yang menyebabkan
negara harus membayar ganti rugi tersebut (hak untuk memulihkan).
Dalam konstitusi
Jerman memberikan mandat kepada negara untuk minta penggantian pada pejabatnya,
namun secara spesifik mengecualikan hakim. Konstitusi atau perundang-undangan
negara kontinental yang lain, seperti Konstitusi Belgia, menolak hak negara
untuk meminta penggantian atas ganti rugi yang disebabkan oleh hakim dalam
menjalankan fungsi resminya. Konsekuensinya, tidak seperti dalam model
Inggris/AS, kaitan antara tanggung jawab hukum peradilan dan independensi
peradilan menjadi kurang begitu jelas. “Jari yang gemetar” pada argumen Denning untuk membatasi tanggung
jawab hukum, tidak terlalu jelas dalam model kontinental.
B. Konsep Yudicial Liability di Indonesia
Persoalan
tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial relevan di Indonesia untuk berbagai
alasan kata Pompe dikaitkan hukum Indonesia. Alasannya menurut Pompe, karena
selain meningkatkan manfaat untuk memperkuat akuntabilitas peradilan, juga
orang yang dirugikan menghendaki hakim yang berperilaku buruk perlu diberikan
sanksi sebagaimana sesuai alasan lahirnya Komisi Yudisial. Selain itu, kasus
tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial sebenarnya turut membentuk proses
peradilan di Indonesia.
Namun,
Pompe mengingatkan, tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial adalah senjata
yang berbahaya untuk digunakan. Jika digunakan secara sembrono, senjata ini
dapat melukai dua sisi, dan ketimbang menjadi alat bagi akuntabilitas
peradilan, dia bisa jadi senjata untuk mengikis independensi peradilan. Namun
potensi kebaikannya juga besar, baik bagi masyarakat maupun bagi lembaga
peradilan sendiri. Lembaga peradilan Indonesia menghadapi kondisi di mana
kemampuannya untuk memulihkan kredibilitas dan efektivitasnya hanya dengan
mengandalkan sumber daya internal diragukan.
Diskusi
mengenai judicial liability memang harus mempertimbangkan segala sisi. Menurut
Pompe, Tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial yang dirancang secara
hati-hati akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses reformasi, dan
menghasilkan daya dorong baru yang signifikan bagi proses reformasi kelembagaan.
Memang,
jangan sampai kekhawatiran upaya gugatan perdata hanya menjadi senjata pihak
yang telah menggunakan segala upaya hukum yang tersedia, akan tetapi tetap
kalah, dan hanya upaya ini dimanfaatkan untuk ketidakpusan, serta putusan yang
final menjadi sasaran sebuah gugatan baru oleh pihak yang dikalahkan untuk
mementahkan kembali.
Di
Indonesia sendiri, perkembangan judicial liability dapat ditinjau dari putusan
MA menunjukkan perkembangan sama. Misalkan saja Putusan MA Nomor 421 K/Sip/1969
tanggal 22 November 1969, dalam kasus Oentoeng Sediatmo melawan Kejaksaan Agung,
yang menyatakan :
Sebelum ada UU tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan
terhadap Pemerintah RI
Kemudian
putusan MA No. 981 K/Sip/1972 tanggal 31 Oktober 1974 yang berbunyi antara lain
:
Berdasarkan yurisprudensi perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh pejabat negara tunduk pada yurisdiksi Pengadilan
Negeri/Umum.
Contoh
lain, dalam kasus Jong Kong Seng melawan Pemerintah Daerah Kabupaten Panarukan
cs. Lalu, mengenai luas pengertian PMH bisa dilihat putusan MA Nomor 838
K/Sip/1970 tanggal 20 Januari 1971 Dalam kasus W. Josopandojo melawan
Pemerintah DKI Jakarta Raya, yang berbunyi sebagai berikut :
Hal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa harus
dinilai dengan undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, dan selain itu
dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh Penguasa.
Sedangkan
dalam dunia hukum pidana di Indonesia, pernah ada kasus kongkrit terkait judicial
liability, yakni kasus Sengkon dan Karta. Kasus ini dianggap sebuah
kesesatan peradilan. Mereka diputus bersalah melakukan pembunuhan dihukum
masing-masing 12 dan 7 tahun penjara. Namun ternyata kemudian terbukti Gunel
dkk dan Elly dkk melakukan pembunuhan atas Suleiman dan istri seperti yang
dituduhkan atas Sengkon-Karta. Akhirnya melalui PK (herziening), mereka
diputus tidak terbukti bersalah. Putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan MA pada
31 Januari 1981.
Namun
Sengkon-Karta sempat meringkuk 6 tahun dalam tahanan dan penjara, padahal
mereka tidak bersalah. Mereka mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa yang dikenal dengan onrechtmatige
overheidsdaad. Akhirnya,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Juli 1982 menolak gugatan
Sengkon-Karta.
Alasannya
antara lain menimbang bahwa para penggugat tidak berhasil membuktikan dalil
gugatannya yang pokok, demikian karena berdasarkan pertimbangan di atas ternayata
pasal 1365 KUH-Perdata tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan hakim dalam
menjalankan tugas peradilannya. Maka gugatan para penggugat haruslah ditolak
sedangkan tinjauan terhadap dalil para penggugat dan dalil sangkalan para
tergugat tidak diperlukan lagi.
Permasalahan
judicial liability, dalam hukum perdata sudah diantisipasi oleh Mahkamah
Agung (MA). Larangan menggugat perdata hakim diatur dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 09 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, perihal: Gugatan terhadap
Pengadilan dan Hakim.
Pertimbangan
hal ini mengaitkan dengan Kekuasaan Kehakiman yang bebas, yang dalam negara
kita memperoleh jaminan konstitusional dan perundang-undangan. Selain itu,
praktek segala sistem hukum dan kajian ilmu hukum menunjukkan hakim dibebaskan
dari tanggung jawab tersebut. Adapun bunyi Surat Edaran Mahkakah Agung tersebut
yang isinya :
, “… Mahkamah Agung minta agar
supaya Pengadilan-Pengadilan Tinggi dan pengadilan-pengadilan Negeri dalam
menghadapi gugatan terhadap pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di
dalam pelaksanaan tugas peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di
atas dan menolak permohonan tersebut,”
Artinya,
apa yang tertulis di SEMA yang ditandatangani Ketua MA Oemar Seno Adji selaras
dengan apa yang disampaikan dalam konferensi Ketua-Ketua MA se-Asia Pasifik
ke-7 itu.
Selain
itu, terkait apakah hakim dapat dimohonkan praperadilan berdasarkan Pasal 77
KUHAP, MA pernah membuat Surat Edaran Nomor: 14 Tahun 1983, perihal: Hakim
tidak dapat dipraperadilkan, yang isinya menyatakan :
Seorang Hakim tidak dapat diajukan
ke sidang praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP.
Alasannya
adalah, karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap ada pada
masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu, dan apabila yang
melakukan penahanan (pertama) itu adalah Hakim sendiri, maka penahanan itu
adalah dalam rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri di mana Pasal 83 ayat
(1) huruf d berlaku terhadapnya.
Oleh
karena itu, apabila ada Pengadilan Negeri di bawah pimpinan Saudara ada
permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang Hakim atas dasar Pasal 77
KUHAP, maka permintaan tersebut harus Saudara tolak, penolakan mana dapat
Saudara lakukan dengan surat biasa di luar sidang. [12]
Persoalan
tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial relevan di Indonesia untuk beberapa
alasan, yaitu pertama adalah
bahwa hal tersebut memperkuat akuntabilitas peradilan dengan menghadapkan
tindakan yudisial yang salah pada pihak berperkara yang dirugikan, dan
masyarakat. .
Peluang
adanya gugatan atas tanggung jawab hukum menciptakan akuntabilitas publik yang
lebih besar di dalam lembaga peradilan, dan menekankan disiplin yang lebih
besar dalam kinerja profesional para hakim. Tanggung jawab hukum atas tindakan
yudisial karenanya harus dieksplorasi sebagai mekanisme yang dikendalikan
masyarakat guna mendukung berbagai usulan yang ada saat ini untuk memperkuat
profesionalisme pengadilan.
Alasan
kedua mengapa tanggung jawab
hukum atas tindakan yudisial perlu diangkat di Indonesia adalah karena secara
kelembagaan hal ini tidak dapat diacuhkan. tanggung jawab hukum atas tindakan
yudisial merupakan topik yang menyertai berdirinya Komisi Yudisial, yang
dibentuk berdasarkan amandemen ketiga Konstitusi RI. Fokus dari diskusi
mengenai Komisi Yudisial hingga saat ini adalah pada perannya dalam memberantas
perilaku yudisial yang tidak pantas.
Sekarang
semua orang setuju bahwa jika hakim berlaku buruk, mereka perlu diberi sanksi.
Tapi apa yang terjadi pada pihak-pihak yang yang telah dirugikan dan menderita
kerugian sebagai dampak dari tindakan yudisial yang tidak pantas tersebut.
Pengambil kebijakan mungkin tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut, namun
pihak-pihak berperkara yang dirugikan membutuhkan jawabannya. Pembentukan
Komisi Yudisial dengan demikian akan membuat diskusi mengenai permasalahan
tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial tidak dapat dihindarkan.
Alasan
yang ketiga adalah bahwa kasus
tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial sebenarnya turut membentuk proses
peradilan di Indonesia. Kasus-kasus hukum diajukan, di mana para pihak ingin
mengubah putusan pengadilan yang didasarkan pada tindakan yudisial yang
salah/tidak pantas, di luar saluran banding normal. Hal ini merupakan langkah
kecil menuju gugatan ganti kerugian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban hakim atas putusannya (Yudicial
Liabilitity) menjadi suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh seluruh
sistem hukum di dunia saat ini. Pada masing-masing sistem hukum yang ada memiliki
keengganan untuk menetapkan bahwa hakim dapat bertanggung jawab secara hukum
atas kesalahan profesionalnya, namun demikian tidak satu pun sistem hukum
modern yang ada saat ini menutup pintu bagi tanggung jawab hukum hakim atas
tindakan yudisialnya. Pertanggungjawaban hakim atas putusannya dalam
perkembangannya dikenal dengan dua model, yaitu model Inggris/Amerika dan model
Eropah Kontinental. Dalam model Inggris/Amerika Serikat yang menganut tiada
tanggung jawab hukum negara kecuali pada kasus-kasus yang di tentukan secara
jelas oleh undang-undang yang berlaku. Sedangkan pada model Eropah Kontinental disebut sebagai Model Ya-Tetapi
yaitu sistem hukum sebagai suatu prinsip menerima tanggung jawab hukum negara
atas tindakan salah yang dilakukan organnya, kecuali bila tindakan tersebut
dilindungi oleh imunitas.
2. Sistem hukum di Indonesia, terkait
pertanggungjawaban seorang hakim atas putusannya, belum mendapat pengaturan
yang tegas dalam peraturan perundang-undangan. Perlu menjadi bahan pertimbangan
mengenai pertanggungjawaban hakim atas putusannya, disamping dapat memberikan manfaat
untuk meningkatkan dan memperkuat
akuntabilitas peradilan serta turut membentuk proses peradilan di Indonesia, namun
juga mempunyai dampak negatif yaitu bisa jadi senjata yang dapat mengikis
independensi seorang hakim dalam memutus suatu perkara di pengadilan.
B. Saran-Saran
Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan
sebagaimana telah disimpulkan diatas, maka disarankan :
1. Diharapkan kepada aparat penegak
hukum khususnya hakim, agar dalam melaksanakan hukum, kiranya lebih cermat dan
teliti dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
dalam memutus suatu perkara yang dihadapi hendaknya didasarkan kepada suatu kebenaran
materiil untuk menghindari kesalahan terkait putusan yang dikeluarkannya.
2. Diharapkan kepada para pembuat
kebijakan legislasi, kiranya lebih membuka diri dalam hal mengeluarkan aturan
yang tegas terkait dengan pertanggungjawaban seorang hakim terhadap kesalahan
yudisialnya dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat sebagai korban
akibat kesalahan yudisial seorang hakim dalam proses peradilan.
|
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
H.J. Abraham,1998, Proses Yudisial, OUP
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga
, 1985,
KUHAP Sekarang
Wirjono Prodjodikoro, 1974, Bunga Rampai Ilmu Hukum
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun
1976 tanggal 16 Desember 1976
Makalah/Paper
A.W. (TON) Joengbloed, Memikirkan Putusan Pengadilan yang Semena-mena,
dipresentasikan pada diskusi Judicial
Liability yang diselenggarakan Komisi Yudisial RI-NLRP, Jakarta, 12 Mei
2010
Sebastiaan Pompe, 2005, A Summary of
A.W. Jongbloed's piece on Judicial Liability (Aansprakelijkheid voor optreden
van de rechterlijkemacht, Den Haag, BoomJuridische Uitgevers 1999)
yang dipresentasikan pada diskusi mengenai judicial liability oleh
Komisi Yudisial-NLRP pada tanggal 12 Mei 2010
[1] Lihat, Oemar Seno Adji dalam bukunya KUHAP
Sekarang, 1985
[2] Sebastiaan Pompe, 2005, A Summary of
A.W. Jongbloed's piece on Judicial Liability (Aansprakelijkheid voor optreden
van de rechterlijkemacht, Den Haag, BoomJuridische Uitgevers 1999)
yang dipresentasikan pada diskusi mengenai judicial liability oleh
Komisi Yudisial-NLRP pada tanggal 12 Mei 2010.
[3] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara
Hukum, Erlangga, 1980, hlm. 258
[4] A.W. (TON) Joengbloed, Memikirkan
Putusan Pengadilan yang Semena-mena, dipresentasikan pada diskusi Judicial Liability yang
diselenggarakan Komisi Yudisial RI-NLRP, Jakarta, 12 Mei 2010
[5] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1-9
[6] Wirjono Prodjodikoro, 1974, Bunga Rampai Ilmu Hukum.
[7] Lihat, Oemar Seno Adji dalam
bukunya KUHAP Sekarang, 1985
[8] A.W. (TON) Joengbloed, Memikirkan
Putusan Pengadilan yang Semena-mena, dipresentasikan pada diskusi Judicial Liability yang
diselenggarakan Komisi Yudisial RI-NLRP, Jakarta, 12 Mei 2010
[11] H.J. Abraham, Proses Yudisial,
OUP 1998, 7th Ed., Hlm.290
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!