Selasa, 25 Maret 2014

PERTANGGUNGJAWABAN PUTUSAN HAKIM (YUDICIAL LIABILITY)

PERTANGGUNGJAWABAN PUTUSAN HAKIM
(YUDICIAL LIABILITY)

BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
            Suatu problema yang sedang terjadi dalam dunia penegakan hukum saat ini adalah permasalahan dapatkah hakim dimintai tanggungjawab hukum atas kesalahan profesional. Pandangan tradisional menyatakan hakim punya imunitas dan tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum atas apa yang mereka lakukan sebagai hakim.
           Pandangan tradisional tersebut pada faktanya punya banyak nuansa, dimana semua sistem hukum pada umumnya cenderung segan untuk memperkenalkan konsep tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial, tetapi tidak satu pun sistem hukum memberikan kekebalan absolut pada hakim. Selain itu terdapat pergerakan yang sangat hati-hati pada sistem hukum tertentu terhadap tanggung jawab hukum peradilan yang lebih besar.
Permasalahan tentang apakah hakim memiliki tanggung jawab hukum atas kelalaian atau kesalahannya dalam tugas mengadili (judicial liability) mulai mengemuka pada akhir-akhir ini, meskipun pada dasarnya sekitar 1970 sampai 1980-an isu ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan dunia hukum. Istilah Judicial liability mungkin masih asing terdengar di telinga para penggiat peradilan atau masyarakat hukum Indonesia. Konsep yang memungkinkan pihak yang berperkara menuntut ganti rugi akibat kesalahan hakim dalam menangani atau memutus perkara memang belum diatur secara tegas oleh hukum Indonesia.
Perdebatan terutama mengenai pertanyaan dapatkah seorang hakim digugat secara perdata atas kesalahannya dalam mengadili yang berakibat kerugian bagi seseorang. Selain itu juga terkait hukum acara pidana, pernah muncul pertanyaan dapatkah hakim di pra-peradilankan, disamping polisi dan jaksa yang menyalahi prosedur hukum acara pidana.
Terkait judicial liability, dunia praktek hukum sebenarnya menganggap seorang hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak bertanggung jawab terhadap siapapun, hanya kepada Tuhan. Ketua Pengadilan atau pengadilan diatasnya pun tidak diperkenankan mempengaruhi hakim dalam mengambil putusan dalam suatu perkara.
Merupakan sebuah kebiasaan dan sikap saling menerima, apakah jelek atau bagus kualitas putusan yang dijatuhkan oleh hakim, jika tidak menerima atau tidak adil dapat menggunakan upaya hukum yang tersedia. Hakim yang terbukti, misalkan menerima suap, korupsi dan penyalahgunaan lain menjadi persoalan tersendiri, bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatannya.
Akan sangat membantu bila kita lebih dulu mendefinisikan sejumlah konsep utama apa yang dimaksud dengan tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial, perlu membedakan antara tanggung jawab pidana dan perdata. Tanggung jawab pidana mengarah pada tindakan yudisial yang melibatkan korupsi sehingga dalam tanggung jawab pidana meletakkan hakim pada sanksi pidana secara pribadi, di mana penuntutannya ada di tangan negara. tanggung jawab perdata meletakkan hakim pada kemungkinan membayar ganti rugi.
Kasus kongkrit sebenarnya pernah terjadi di Indonesia, yakni kasus Sengkon (bin Yakin) dan Karta (bin Salam). Di dunia hukum kasus ini dianggap sebuah kesesatan peradilan. Mereka diputus bersalah melakukan pembunuhan dan dihukum masing-masing 12 dan 7 tahun penjara. Namun ternyata kemudian terbukti Gunel dkk dan Elly dkk melakukan pembunuhan atas Suleiman dan istri seperti yang dituduhkan atas Sengkon dan Karta. Akhirnya melalui PK (herziening), mereka diputus tidak terbukti bersalah. Putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan MA pada 31 Januari 1981.
Dari putusan Sengkon-Karta jelas bahwa sebuah putusan oleh hakim yang salah dan sembrono atau kurang hati-hati bisa membawa kerugian yang nyata. Atas putusan ini, Oemar Seno Adji, didasarkan perkembangan kasus dan pandangan hakim di luar negeri, ia menyatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sewaktu menolak gugatan, patut mencantumkan asas, bahwa hakim tidak dapat digugat secara perdata dalam pelaksanaan tugas yudisialnya, dengan syarat bahwa kesalahan dilakukan dengan itikad baik tanpa mempersoalkan salah-tidaknya putusan. [1]
Oleh karena itu pentingnya dilakukan suatu kajian yang mendalam tentang konsep Yudicial Liability dalam hal penegakan hukum, sehingga pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia dalam mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat terwujud.

B.   Rumusan Masalah
             Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
      1.   Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial            Liability) ?
      2.   Bagaimanakah konsep pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial Liability) di Indonesia ?

C.  Tujuan dan Manfaat
1.   Tujuan penulisan
               Tujuan penulisan makalah ini adalah :
      a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial        Liability).
        b.   Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban hakim (Yudicial Liability) di Indonesia.
2.   Manfaat Penulisan
                  Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum pidana serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial Liability).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Konsep Yudicial Liability
Menurut Sebastiaan Pompe (2005), memberikan definisi yang di dimaksud konsep judicial liability terkait dengan tanggung jawab pidana dan perdata. Tanggungjawab pidana mengarah pada tindakan yudisial yang melibatkan korupsi, dan meletakkan kedudukan hakim pada sanksi pidana secara pribadi, di mana penuntutannya ada di tangan negara. Sedangkan tanggungjawab perdata meletakkan hakim pada kemungkinan membayar ganti rugi. Pada dasarnya, tanggungjawab hukum perdata tersebut dapat melekat baik pada hakim secara individu atau pada negara.[2]
Jauh hari sebelumnya, Oemar Seno Adji sebenarnya mengemukakan dalam makalahnya, Safeguards of The Judiciary, yang disampaikan dalam Konfrensi Ketua-Ketua MA se-Asia Pasifik ke-7 di Jakarta pada bulan Juni 1978, umumnya di semua negara hakim tidak dapat dipertanggungjawabkan karena melakukan suatu onrechtmatige daad, untuk kesalahan yang ia perbuat selama ia menjalankan tugas peradilannya.
Begitu pula negara tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh hakim dalam pelaksanaan tugasnya. Kesalahan di luar tugas peradilan masih memungkinkan diajukannya gugatan perdata terhadap hakim. Selanjutnya, negara tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk rechtterlijk handelingen, sekedar dan selama itu perbuatan peradilan, sedangkan dapat dipertanggungjawabkan jika perbuatan yang tidak memiliki sifat peradilan tersebut.[3]
Putusan yang tidak berdasarkan hukum dapat didekati dengan cara berbeda, misalnya dengan menggunakan prinsip fair trial sebagai kriteria dalam menentukan ilegal tidaknya suatu putusan. Upaya ini tidak mempersoalkan sifat dasar keadilan dan aktivitas peradilan. Sedangkan putusan yang tidak berdasarkan hukum, terminologinya sendiri sudah mengindikasikan, mencakup putusan pengadilan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, yang secara hukum salah. Putusan pengadilan juga bisa tidak benar ketika melanggar prinsip fair trial. [4]
Dalam sejarah praktek peradilan hukum, pengaturan mengenai pertanggungjawaban putusan hakim dalam peradilan (Yudicial Liability), awalnya diatur dalam Pasal 1365 BW, yang berbunyi : Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian.
Di negara-negara Eropah Kontinental, perbuatan melawan hukum atau disingkat PMH dikenal dengan istilah onrechtmatige daad atau Anglo Saxon dengan istilah tort yang pengertiannya berkembang terus menerus, tidak hanya yang dilakukan oleh orang perorangan, akan tetapi juga badan hukum termasuk oleh penguasa.
Namun pengertian PMH secara klasik menurut Munir Fuady mengutip William C. Robinson (1882), adalah sebagai berikut :
a.    Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum ;
b.   Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak melakukannya ;
c.    Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.

Di Belanda sebelum tahun 1919, PMH hanya dianggap sebatas melanggar pasal-pasal hukum tertulis. Akan tetapi sejak kasus Lindenbaum versus Cohen tahun 1919, onrechtmatige daad tidak hanya onwetmatige daad saja, namun secara luas yakni: [5]
1.   Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
2.   Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
3.   Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
4.   Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

Dalam ilmu hukum sendiri, dikenal tiga kategori PMH yaitu PMH karena kesalahan, PMH tanpa kesalahan (tanpa unsur kesalahan dan kelalaian), dan PMH karena kelalaian. Disamping semakin luasnya lapangan pengertian PMH, Menurut Wirjono Prodjodikoro (1974), pada tahun 1942 ada putusan penting dari Peradilan Tertinggi di Negeri Belanda (Ostermann-arrest), yang menentukan bahwa Pemerintah berdasarkan atas Pasal 1401 BW Belanda (Pasal 1365 BW Indonesia) bertanggung jawab atas segala perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya yang melanggar hukum perdata saja melainkan juga melanggar hukum publik.
Dengan putusan ini, Pengadilan Perdata diperbolehkan menginjakkan lapangan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan. Tanggung jawab negara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah ini dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad. [6]
Perbuatan alat perlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat, apabila Pemerintah memakai kekuasaannya menurut Hukum Publik itu untuk tujuan yang tidak dimaksudkan oleh Hukum Publik itu, atau dalam bahasa Perancis kalau ada detournement de pouvoir. Sekiranya juga dapat dikatakan, bahwa perbuatan Pemerintah tidak pantas dalam masyarakat, apabila perbuatannya bersifat sewenang-wenang (willekeur).
Dalam kajian llmu hukum yang dikembangkan oleh sarjana hukum seperti Prof. Meyers, umumnya berkesimpulan bahwa Pasal 1365 BW tidak dapat diterapkan terhadap hakim yang salah dalam melaksanakan tugas peradilannya.[7]. Beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, Pakistan, Amerika Serikat dengan sistem hukum yang berbeda, akan tetapi memiliki identitas konstitusionalnya sebagai peradilan yang bebas termasuk hakim bebas dari gugatan perdata, biasanya disertai syarat bahwa apa yang dilaksanakan hakim dengan itikad baik, kecuali Belgia dan Perancis terdapat tambahan kecuali apabila hakim menerima suap atau melakukan penolakan hukum.
Di Belanda, sesuai putusan MA tahun 1971, yaitu putusan benchmark dalam kasus Mrs X melawan pemerintah Belanda, Prof. A.W. (Ton) Joengbloed, menyetujui putusan tersebut, negara pada prinsipnya tidak dapat dimintai tanggung jawab hukum atas putusan yang tidak berdasarkan hukum, kecuali jika hakim dalam mempersiapkan kasus tersebut tidak mengindahkan prinsip hukum yang fundamental dan dapat dikatakan bahwa tidak ada perlakuan yang jujur dan imparsial terhadap kasus tersebut. Kemudian dikatakannya hanya pelanggaran terhadap prinsip fair trial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ECHR yang dapat dikabulkan gugatan ganti ruginya, dan ketika pelanggaran tersebut diakui, kita pada dasarnya berbicara mengenai tanggungjawab hukum negara yang ketat/strict liability. [8]
Sementara itu, di Belgia terdapat perkembangan padangan tradisional, di mana Mahkamah Agung Belgia (Cour de Cassation) mendefinisikan ulang tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial dalam kasus Kepailitan ANCA yang terkenal (RW1992-1993, 396). MA Belgia menyatakan negara bisa dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang ditimbulkan oleh kekeliruan peradilan dalam perkara perdata, ketika hakim bertindak atau dapat secara meyakinkan diasumsikan untuk bertindak, di dalam batas-batas kewenangannya.
Dari pertimbangan MA tersebut, argumennya negara merupakan subyek hukum seperti halnya pihak swasta. Tidak satu pun hukum di negara tersebut mengecualikan pengadilan dari kewajiban untuk bertindak secara hati-hati, atau dari kewajiban membayar ganti rugi jika kehati-hatian tersebut dilanggar. Mengenai anggapan pelanggaran independensi pengadilan, MA berpendapat hal tersebut terlalu berlebihan.
Sedangkan anggapan pelanggaran atas pemisahan kekuasaan, menurut MA Belgia, lembaga peradilan sendirilah yang menentukan ada tidaknya tanggungjawab hukum dalam kasus ini (dan bukan kekuasaan negara yang lain), dan juga bahwa di sini tanggungjawab hukum tidak dilekatkan pada kekuasaan negara tertentu, melainkan pada negara sebagai kesatuan entitas hukum dan argument lainnya.
Sementara itu, oleh beberapa negara yang agak berlainan baik sistem pengadilan maupun sistem hukumnya, akan tetapi yang mengakui asas kebebasan bagi pengadilan beserta hakimnya, antara lain :[9]
a.    Di Filipina, maka dikatakan oleh Hakim Agung/Guru Besar Enrique N. Fernando dalam The Constitution of The Filipines (Konstitusi tersebut adalah konstitusi terakhir pada tahun 1973) bahwa, berdasarkan perkara Alzua melawan Johnson, maka To Implement hits constitutional policy in favour of an independent judiciary, The judgesare excempted from civil liability for acts committed in the exercise of a jdicial function. (untuk melengkapi kebijaksanaan konstituonal kearah pengadilan, kekuasaan kehakiman yang bebas, para hakim itu dibebaskan dari pertanggungjawab perdata mengenai perbuatan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas peradilan).

b.   Di Pakistan, tidak ada suatu hakim pun yang dapat dipertanggung jawabkan dalam suatu proses Perdata mengenai sesuatu yang ia lakukan dengan itikad baik. (Study of equality in administration of justice United Nations, halaman 79. "In Pakistan no judjges I liable in a civil action for anything done in good faith").

c.    Bahkan Amerika Serikat lebih jauh, pada tahun 1967, menyatakan dalam perkara Pierson V, Ray, bahwa kekebalan para Hakim terhadap gugatan ganti rugi harus ditegakkan walaupun terdapat tuduhan-tuduhan terhadap Hakim mengenai perbuatan yang dilakukan tidak dengan itikad baik ataupun secara korektif sifatnya.

d.  Malaysia telah mengatur hal ini dengan Undang-undang yaitu Section 14 Courts of Judicature act 1964, yaitu :

      1).  Hakim atau seorang pejabat yang bertindak sebagai Hakim TIDAK AKAN DAPAT dipertanggung jawabkan dan digugat di depan Pengadilan secara Perdata untuk suatu tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas peradilannya, tanpa dihiraukan apakah tindakan tersebut melampaui batas-batas Kewenangannya, begitu pula tidak dapat diperintahkan pada Hakim pembayaran ganti rugi, asal saja hakim tersebut patuh waktu itu secara itikad baik berpendapat bahwa ia berwenang untuk melakukan atau memerintahkan perbuatan yang digugat tersebut.

      2).  Pejabat Pengadilan atau orang lain yang berkewajiban untuk melaksanakan surat perintah pelaksanaan yang sah atau perintah-perintah yang diberikan oleh Hakim atau pejabat lain yang bertindak sebagai Hakim, tidak akan dapat dipertanggung jawabkan dan digugat di depan Pengadilan secara Perdata, karena pelaksanaan surat perintah yang sah atas perintah yang wajib dilaksanakannya kalau berada dalam batas-batas wewenang Hakim atau pejabat yang bertindak sebagai Hakim.

      3).  Pejabat kepolisian, juru sita atau pejabat Pengadilan lain yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan suatu Keputusan Hakim, perintah atau pelaksanaan sitaan, atau menyerahkan harta sebagai jaminan, sebelum ada Keputusan Hakim, TIDAK AKAN DAPAT dipertanggung jawabkan dan digugat Pengadilan secara Perdata, karena harta yang disita olehnya, atau karena terjadi kerusakan pada hak milik dalam usaha melaksanakan sitaan, kecuali kalau ternyata bahwa ia dengan sengaja bertindak melampaui batas Kewenangannya dengan sengaja, hanya dengan alasan telah mengetahui adanya suatu sengketa mengenai hak milik harta yang disita tersebut.
            
             Bapak Tun Mohamad Soffian, Ketua Hakim Negara Mahkamah Persekutuan Malaysia dalam pembicaraannya dengan Mahkamah Agung di Indonesia menjelaskan bahwa, Hukum mengenai hal tersebut di atas mengikuti Hukum yang berlaku di Inggris, yang dapat ditemukan jelas dalam Keputusan Lord Denning, President of the Court of Appeal in Angland dalam perkara Sirros v. Moore and Other (1975) (Perhatikan lampiran).

Kesemuanya itu sekedar menunjukkan bahwa beberapa Negara sistem peradilan manapun sistem hukum manapun yang dianut olehnya, Hakim dalam perkara Perdata adalah bebas dari gugatan ganti rugi karena adanya kesalahan dalam perbuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan. Hal demikian dikaitkan juga dengan permasalahan Kekuasaan Kehakiman yang bebas, yang dalam Negara kita memperoleh jaminan konstitusional dan perundang-undangan. [10]
                   Dengan demikian, dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas tentang perkembangan konsep pertanggungjawaban putusan hakim (Yudicial Liability), maka dapat di kemukakan bahwa konsep Yudicial Liability terbagi dalam 2 pemikiran besar yaitu sebagai berikut : 
      1.   Model Inggris/Amerika
                        Dalam sistem model Inggris/Amerika Serikat yang menganut tiada tanggung jawab hukum negara kecuali pada kasus-kasus yang ditentukan secara jelas. Kata Pompe, imunitas dipandang sebagai suatu elemen penting agar hakim dapat mengambil putusan kontroversial tanpa rasa takut, termasuk rasa takut terhadap gugatan hukum.
                        Pompe mengutip pernyataan Lord Denning yang mengatakan dalam kasus Sirros v. Moore (1974) 3WLR 458 C.A: He should not have to turn the pages of his book with trembling fingers, asking himself : If I do this, shall I be liable in damages. Di Inggris, secara spesifik memberikan kekebalan hakim dalam malaksanakan tugas yudisialnya yang terkait independensi dan imparsialitas, sedangkan tindakan lain misalkan terkait fungsi administratif tiada kekebalan.
                        Model Inggris/Amerika Serikat dapat dirangkum sebagai aturan Tidak-Kecuali yaitu tidak ada tanggung jawab hukum oleh negara kecuali pada kasus-kasus yang ditentukan secara jelas. Doktrin historisnya didasarkan pada imunitas negara, yang maksudnya negara tidak dapat digugat kecuali ada aturan yang secara spesifik memungkinkannya. Mungkin agak terlambat, dan dengan beberapa catatan bahwa tanggung jawab hukum seperti itu diakui. Selain itu, pengakuannya pun bersifat parsial dan doktrin imunitas negara secara esensial belum ditinggalkan hingga saat ini.
                        Sejauh dapat diterima, tanggung jawab hukum negara tersebut di definisikan dalam terminologi common law yaitu pemerintah dengan segala niat dan tujuannya dianggap identik dengan warga negaranya, serta memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hal ini diartikan bahwa tanggung jawab hukum negara secara prinsip didefinisikan sebagai tanggung jawab hukum pribadi agen negara, bukan negara itu sendiri. Gugatan ganti rugi terhadap pejabat negara harus diarahkan pada pejabat yang bersangkutan, bukan pada negara, dan ganti rugi oleh karenanya harus ditanggung oleh pejabat tersebut.
                        Salah satu konsekuensi dari pendekatan ini adalah karena ia menantang pihak penggugat untuk membuktikan bahwa pejabat negara yang digugat telah melampaui kewenangannya berdasarkan hukum yang berlaku, maka beban pembuktian bisa jadi lebih berat. Lebih penting lagi, peluang pejabat publik untuk menghadapi gugatan hukum, dapat secara mudah mempengaruhi cara yang bersangkutan menjalankan tugas dan kewenangannya.
                        Di antara implikasi dan pelajaran dari pengalaman adalah peluang seorang pejabat publik menjalankan tugasnya dengan penuh ketakutan atau dengan sembrono, atau tidak menjalankan tugasnya sesuai penilaian yang hati-hati namun berdasarkan kepentingan; itu adalah kesulitan, yang muncul dari, meminta pertanggung jawaban seorang pegawai pemerintah; dan juga pertanyaan mengapa, dalam menjalankan tugas pemerintahan, seorang pegawai pemerintah harus bertanggung jawab sejak awal.[11]
                        Tanggung jawab hukum pribadi untuk tugas-tugas resmi telah menjadi faktor kritis dalam membatasi tanggung jawab hakim dalam model Inggris/Amerika Serikat. Namun, pertanyaannya adalah, dapatkah independensi hakim dijaga secara memadai, jika mereka harus bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan yudisialnya. Imunitas dipandang sebagai suatu elemen penting agar hakim dapat mengambil putusan yang kontroversial tanpa rasa takut, termasuk rasa takut terhadap gugatan hukum.
                        Seperti yang dinyatakan Lord Denning (soal hakim) dalam kasus Sirros v. Moore (1974) 3 WLR 458 C.A, yaitu :
Ia tidak boleh membuka halaman bukunya dengan jari-jari yang gemetar, sambil bertanya kepada dirinya: “jika aku melakukan hal ini, apakah aku harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi.

            Di Inggris, Crown Proceeding Act ayat 2 (5) secara spesifik memberi imunitas pada hakim “melaksanakan atau bermaksud melaksanakan tanggung jawab apapun yang bersifat yudisial…’ Logikanya adalah karena hakim tidak dapat menerima perintah dari Raja, maka Raja pada gilirannya tidak dapat dimintai tanggung jawab atas tindakan yudisial yang keliru.
            Di Inggris seperti halnya di Amerika Serikat, syarat dari kekebalan ini adalah bahwa hakim bertindak dalam garis batas fungsi yudisial mereka, dan perkembangan hukum di persoalan ini telah mengarah untuk mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud fungsi yudisial. Di Inggris, prinsip dasar yang terbentuk dalam kasus Sirros v. Moore adalah sebagai berikut :
             a.    Dalam kasus pidana, seorang hakim dapat dikenai sanksi pidana (tentu saja, jika hakim menerima suap atau korupsi, atau berbuat menyimpang, maka ia dapat dihukum dalam peradilan pidana).

             b. Dalam hal tanggung jawab perdata, tidak ada tanggung jawab hukum yang bisa dibebankan jika hakim bertindak berdasarkan niat baik dan dalam yurisdiksinya. Hanya jika ia bertindak di luar fungsinya, dan tidak yakin bahwa dia bertindak dalam fungsinya, maka dia bisa dimintai tanggung jawab perdata.

                   Tanggung jawab hukum tersebut akan menjadi tanggung jawab hukum pribadi, dan akan didasarkan pada aturan umum mengenai perbuatan melawan hukum. Peraturan ini kemudian diadopsi dalam Courts and Legal Services Act 1990 ayat 108.

            Demikian pula di Amerika Serikat. Upaya diarahkan untuk mendefinisikan tindakan yudisial yang menurut Mahkamah Agung Amerika Serikat harus diberikan imunitas (Stump vs. Sparkman 435 US 349 (1978)). Tindakan-tindakan lain, seperti tindakan yang bersifat administratif, tidak diberi imunitas. Mahkamah Agung Amerika Serikat mengembangkan dua alat uji untuk mendefinisikan tindakan yudisial :
             a.    Apakah suatu tindakan sering dilakukan oleh seorang hakim (yang ditentukan oleh sifat dari tindakan tersebut),

             b.   Apakah seorang hakim bertindak dalam yurisdiksinya (yang ditentukan oleh ekspektasi yang wajar dari pihak-pihak berperkara).

            Pengujian tersebut terjadi dalam kasus Pulliam v. Allen 466 US 522 (1984), di mana Mahkamah Agung menetapkan bahwa meski hakim Pulliam telah bertindak sebagai hakim dalam yurisdiksinya, injunctive relieve (perintah Pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan) terhadap yang bersangkutan dapat diberikan.
            Mahkamah Agung juga menyatakan hakim yang bersangkutan wajib mengganti biaya jasa pengacara yang dikeluarkan penggugat. Empat tahun kemudian, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengesampingkan Stump-test dalam kasus Forrester v. White 484 US 219 (1988). Di sini, menyusul dissenting opinion hakim agung Posner dalam kasus Stump, Mahkamah Agung menyetujui bahwa imunitas peradilan merupakan instrumen yang sangat kuat, yang hanya dapat digunakan dalam kasus di mana tanpa imunitas tersebut seorang hakim tidak dapat menjalankan fungsi yudisialnya dengan baik.
            Hal tersebut tergantung pada dua hal yaitu apakah ada yurisprudensi di mana tindakan hakim yang dipersoalkan memenuhi kualifikasi sebagai tindakan yudisial, dan apakah kepentingan masyarakat akan dilayani lebih baik bila imunitas diberikan.
            Pertanyaan kuncinya berlanjut menjadi kapankah suatu tindakan yudisial dikatakan telah terjadi. Pada beberapa kasus ekstrim cukup mudah menjawabnya. Pada kasus di mana hakim membanting para pihak ke tanah, memukuli mereka, atau melompat-lompat di atas perut mereka, maka itu bukanlah tindakan yudisial (dan karenanya harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum oleh hakim yang bersangkutan). Bukan pula tindakan yudisial ketika hakim memerintahkan polisi untuk menangkap pedagang kopi pinggir jalan, memborgolnya, mendorongnya ke tanah, hanya karena kopinya tidak enak (Zarcone v. Perry 572 F.2d 52 (2d Cir. 1978)).
            Melalui pasang surut pendefinisian apa yang dimaksud tindakan yudisial, dan sekaligus, tanggung jawab hukum pribadi seorang hakim, tiga elemen berikut dapat diajukan :
                        a.    Hanya dengan imunitas maka independensi dan juga imparsialitas peradilan dapat         dijaga (prinsip independensi peradilan);
                          b.   Kasus hukum harus bisa diselesaikan, dan tidak boleh berlarut-larut diperkarakan ulang (prinsip ‘litis finiri oportet’);
                     c.    Saluran bagi pihak berperkara secara umum untuk mengajukan keberatan harus          disediakan dengan memintakan sanksi disiplin atau jalur banding biasa.

      2.   Model Eropah Kontinental             
                        Model Eropah Kontinental, yang lebih menekankan tanggung jawab negara atas kesalahan organnya, dijelaskan Sebastiaan Pompe, di dalam hukum Jerman bahwa,“.. hakim secara eksplisit dikecualikan dari ketentuan Konstitusi soal tanggungjawab hukum negara atas organ-organnya (Pasal 34 Konstitusi, kalimat kedua), tetapi hanya menyangkut tindakan yudisial. Juga, dua kategori dari tindakan yudisial secara spesifik dikecualikan: mengingkari keadilan (denials of justice) dan penundaan yang tidak layak (improper delays) juga berkontribusi terhadap kelemahan yang ada masih bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
                        Model Eropah Kontinental mungkin lebih baik disebut sebagai Model Ya-Tetapi yaitu sistem hukum sebagai suatu prinsip menerima tanggung jawab hukum negara atas tindakan salah yang dilakukan organnya, kecuali bila tindakan tersebut dilindungi oleh imunitas. Hasilnya adalah bahwa sistem hukum kontinental secara umum cukup komprehensif dalam mengatur tanggung jawab hukum negara.
                        Contoh yang baik adalah Pasal 34 dari Konstitusi Jerman (yang berasal dari pertengahan abad ke-18), yang secara umum menetapkan negara wajib bertanggung jawab terhadap perilaku organ atau pejabatnya yang salah. Karena banyak bergantung pada apakah pejabat publik telah bertindak sesuai kapasitas jabatannya atau tidak, perkembangan hukum dalam sistem kontinental pada tingkatan tertentu mencerminkan perdebatan dalam model Inggris/Amerika serikat.
                        Dengan demikian, dalam hukum Jerman, hakim secara eksplisit dikecualikan dari ketentuan Konstitusi soal tanggung jawab hukum negara atas organ-organnya (Pasal 34 Konstitusi, kalimat kedua), tetapi hanya menyangkut “tindakan yudisial”. Juga, dua kategori dari tindakan yudisial secara spesifik dikecualikan: mengingkari keadilan (denials of justice) dan penundaan yang tidak layak (improper delays) juga berkontribusi terhadap kelemahan yang ada masih bisa dipertanggung jawabkan secara hukum.
                        Yurisprudensi mengartikan bahwa imunitas tidak berlaku bagi seluruh tindakan yudisial, tapi hanya untuk tindakan yang dibuat oleh hakim independen, yang diputuskan dengan benar, dan merupakan suatu putusan final dalam sebuah sengketa (dalam arti sudah final dan mengikat). Tanggung jawab hukum negara hanya muncul jika putusan final pengadilan merupakan suatu tindak pidana. Serta, kegagalan untuk mengajukan banding telah meniadakan hak untuk mengklaim dan mengajukan gugatan ganti rugi.
                        Model Eropah Kontinental bergerak mencari bentuk dan siap untuk menerjemahkan tanggung jawab hukum, sebagai tanggung jawab hukum negara dan bukan sebagai tanggung jawab hukum pejabat publik seperti halnya dalam model Inggris/Amerika. Pihak yang dirugikan harus mengajukan gugatan terhadap negara dan tidak terhadap pejabat perorangan (seperti halnya di Inggris/Amerika Serikat), dan kewajiban ganti rugi ada pada negara. Pertanyaannya kemudian, apakah negara dapat meminta penggantian atas ganti rugi yang dibayarkannya, kepada pejabat yang menyebabkan negara harus membayar ganti rugi tersebut (hak untuk memulihkan).
                        Dalam konstitusi Jerman memberikan mandat kepada negara untuk minta penggantian pada pejabatnya, namun secara spesifik mengecualikan hakim. Konstitusi atau perundang-undangan negara kontinental yang lain, seperti Konstitusi Belgia, menolak hak negara untuk meminta penggantian atas ganti rugi yang disebabkan oleh hakim dalam menjalankan fungsi resminya. Konsekuensinya, tidak seperti dalam model Inggris/AS, kaitan antara tanggung jawab hukum peradilan dan independensi peradilan menjadi kurang begitu jelas. “Jari yang gemetar” pada argumen Denning untuk membatasi tanggung jawab hukum, tidak terlalu jelas dalam model kontinental.         

B.   Konsep Yudicial Liability di Indonesia
Persoalan tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial relevan di Indonesia untuk berbagai alasan kata Pompe dikaitkan hukum Indonesia. Alasannya menurut Pompe, karena selain meningkatkan manfaat untuk memperkuat akuntabilitas peradilan, juga orang yang dirugikan menghendaki hakim yang berperilaku buruk perlu diberikan sanksi sebagaimana sesuai alasan lahirnya Komisi Yudisial. Selain itu, kasus tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial sebenarnya turut membentuk proses peradilan di Indonesia.
Namun, Pompe mengingatkan, tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial adalah senjata yang berbahaya untuk digunakan. Jika digunakan secara sembrono, senjata ini dapat melukai dua sisi, dan ketimbang menjadi alat bagi akuntabilitas peradilan, dia bisa jadi senjata untuk mengikis independensi peradilan. Namun potensi kebaikannya juga besar, baik bagi masyarakat maupun bagi lembaga peradilan sendiri. Lembaga peradilan Indonesia menghadapi kondisi di mana kemampuannya untuk memulihkan kredibilitas dan efektivitasnya hanya dengan mengandalkan sumber daya internal diragukan.
Diskusi mengenai judicial liability memang harus mempertimbangkan segala sisi. Menurut Pompe, Tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial yang dirancang secara hati-hati akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses reformasi, dan menghasilkan daya dorong baru yang signifikan bagi proses reformasi kelembagaan.
Memang, jangan sampai kekhawatiran upaya gugatan perdata hanya menjadi senjata pihak yang telah menggunakan segala upaya hukum yang tersedia, akan tetapi tetap kalah, dan hanya upaya ini dimanfaatkan untuk ketidakpusan, serta putusan yang final menjadi sasaran sebuah gugatan baru oleh pihak yang dikalahkan untuk mementahkan kembali.
Di Indonesia sendiri, perkembangan judicial liability dapat ditinjau dari putusan MA menunjukkan perkembangan sama. Misalkan saja Putusan MA Nomor 421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969, dalam kasus Oentoeng Sediatmo melawan Kejaksaan Agung, yang menyatakan :
Sebelum ada UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan terhadap Pemerintah RI

Kemudian putusan MA No. 981 K/Sip/1972 tanggal 31 Oktober 1974 yang berbunyi antara lain :
Berdasarkan yurisprudensi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat negara tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Negeri/Umum.

Contoh lain, dalam kasus Jong Kong Seng melawan Pemerintah Daerah Kabupaten Panarukan cs. Lalu, mengenai luas pengertian PMH bisa dilihat putusan MA Nomor 838 K/Sip/1970 tanggal 20 Januari 1971 Dalam kasus W. Josopandojo melawan Pemerintah DKI Jakarta Raya, yang berbunyi sebagai berikut :
Hal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa harus dinilai dengan undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, dan selain itu dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh Penguasa.

Sedangkan dalam dunia hukum pidana di Indonesia, pernah ada kasus kongkrit terkait judicial liability, yakni kasus Sengkon dan Karta. Kasus ini dianggap sebuah kesesatan peradilan. Mereka diputus bersalah melakukan pembunuhan dihukum masing-masing 12 dan 7 tahun penjara. Namun ternyata kemudian terbukti Gunel dkk dan Elly dkk melakukan pembunuhan atas Suleiman dan istri seperti yang dituduhkan atas Sengkon-Karta. Akhirnya melalui PK (herziening), mereka diputus tidak terbukti bersalah. Putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan MA pada 31 Januari 1981.
Namun Sengkon-Karta sempat meringkuk 6 tahun dalam tahanan dan penjara, padahal mereka tidak bersalah. Mereka mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa yang dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad. Akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 Juli 1982 menolak gugatan Sengkon-Karta.
Alasannya antara lain menimbang bahwa para penggugat tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya yang pokok, demikian karena berdasarkan pertimbangan di atas ternayata pasal 1365 KUH-Perdata tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Maka gugatan para penggugat haruslah ditolak sedangkan tinjauan terhadap dalil para penggugat dan dalil sangkalan para tergugat tidak diperlukan lagi.
Permasalahan judicial liability, dalam hukum perdata sudah diantisipasi oleh Mahkamah Agung (MA). Larangan menggugat perdata hakim diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, perihal: Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim.
Pertimbangan hal ini mengaitkan dengan Kekuasaan Kehakiman yang bebas, yang dalam negara kita memperoleh jaminan konstitusional dan perundang-undangan. Selain itu, praktek segala sistem hukum dan kajian ilmu hukum menunjukkan hakim dibebaskan dari tanggung jawab tersebut. Adapun bunyi Surat Edaran Mahkakah Agung tersebut yang isinya :
, “… Mahkamah Agung minta agar supaya Pengadilan-Pengadilan Tinggi dan pengadilan-pengadilan Negeri dalam menghadapi gugatan terhadap pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di dalam pelaksanaan tugas peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di atas dan menolak permohonan tersebut,”

Artinya, apa yang tertulis di SEMA yang ditandatangani Ketua MA Oemar Seno Adji selaras dengan apa yang disampaikan dalam konferensi Ketua-Ketua MA se-Asia Pasifik ke-7 itu.
Selain itu, terkait apakah hakim dapat dimohonkan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, MA pernah membuat Surat Edaran Nomor: 14 Tahun 1983, perihal: Hakim tidak dapat dipraperadilkan, yang isinya menyatakan :
Seorang Hakim tidak dapat diajukan ke sidang praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP.

Alasannya adalah, karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap ada pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu, dan apabila yang melakukan penahanan (pertama) itu adalah Hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri di mana Pasal 83 ayat (1) huruf d berlaku terhadapnya.
Oleh karena itu, apabila ada Pengadilan Negeri di bawah pimpinan Saudara ada permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang Hakim atas dasar Pasal 77 KUHAP, maka permintaan tersebut harus Saudara tolak, penolakan mana dapat Saudara lakukan dengan surat biasa di luar sidang. [12]
Persoalan tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial relevan di Indonesia untuk beberapa alasan, yaitu pertama adalah bahwa hal tersebut memperkuat akuntabilitas peradilan dengan menghadapkan tindakan yudisial yang salah pada pihak berperkara yang dirugikan, dan masyarakat. .
Peluang adanya gugatan atas tanggung jawab hukum menciptakan akuntabilitas publik yang lebih besar di dalam lembaga peradilan, dan menekankan disiplin yang lebih besar dalam kinerja profesional para hakim. Tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial karenanya harus dieksplorasi sebagai mekanisme yang dikendalikan masyarakat guna mendukung berbagai usulan yang ada saat ini untuk memperkuat profesionalisme pengadilan.
Alasan kedua mengapa tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial perlu diangkat di Indonesia adalah karena secara kelembagaan hal ini tidak dapat diacuhkan. tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial merupakan topik yang menyertai berdirinya Komisi Yudisial, yang dibentuk berdasarkan amandemen ketiga Konstitusi RI. Fokus dari diskusi mengenai Komisi Yudisial hingga saat ini adalah pada perannya dalam memberantas perilaku yudisial yang tidak pantas.
Sekarang semua orang setuju bahwa jika hakim berlaku buruk, mereka perlu diberi sanksi. Tapi apa yang terjadi pada pihak-pihak yang yang telah dirugikan dan menderita kerugian sebagai dampak dari tindakan yudisial yang tidak pantas tersebut. Pengambil kebijakan mungkin tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut, namun pihak-pihak berperkara yang dirugikan membutuhkan jawabannya. Pembentukan Komisi Yudisial dengan demikian akan membuat diskusi mengenai permasalahan tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial tidak dapat dihindarkan.
Alasan yang ketiga adalah bahwa kasus tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial sebenarnya turut membentuk proses peradilan di Indonesia. Kasus-kasus hukum diajukan, di mana para pihak ingin mengubah putusan pengadilan yang didasarkan pada tindakan yudisial yang salah/tidak pantas, di luar saluran banding normal. Hal ini merupakan langkah kecil menuju gugatan ganti kerugian.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
             Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.   Pertanggungjawaban hakim atas putusannya (Yudicial Liabilitity) menjadi suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh seluruh sistem hukum di dunia saat ini. Pada masing-masing sistem hukum yang ada memiliki keengganan untuk menetapkan bahwa hakim dapat bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan profesionalnya, namun demikian tidak satu pun sistem hukum modern yang ada saat ini menutup pintu bagi tanggung jawab hukum hakim atas tindakan yudisialnya. Pertanggungjawaban hakim atas putusannya dalam perkembangannya dikenal dengan dua model, yaitu model Inggris/Amerika dan model Eropah Kontinental. Dalam model Inggris/Amerika Serikat yang menganut tiada tanggung jawab hukum negara kecuali pada kasus-kasus yang di tentukan secara jelas oleh undang-undang yang berlaku. Sedangkan pada model Eropah Kontinental disebut sebagai Model Ya-Tetapi yaitu sistem hukum sebagai suatu prinsip menerima tanggung jawab hukum negara atas tindakan salah yang dilakukan organnya, kecuali bila tindakan tersebut dilindungi oleh imunitas.
2.  Sistem hukum di Indonesia, terkait pertanggungjawaban seorang hakim atas putusannya, belum mendapat pengaturan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan. Perlu menjadi bahan pertimbangan mengenai pertanggungjawaban hakim atas putusannya, disamping dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan dan memperkuat akuntabilitas peradilan serta turut membentuk proses peradilan di Indonesia, namun juga mempunyai dampak negatif yaitu bisa jadi senjata yang dapat mengikis independensi seorang hakim dalam memutus suatu perkara di pengadilan.

B.   Saran-Saran
             Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan sebagaimana telah disimpulkan diatas, maka disarankan :
1.   Diharapkan kepada aparat penegak hukum khususnya hakim, agar dalam melaksanakan hukum, kiranya lebih cermat dan teliti dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam memutus suatu perkara yang dihadapi hendaknya didasarkan kepada suatu kebenaran materiil untuk menghindari kesalahan terkait putusan yang dikeluarkannya.
2.   Diharapkan kepada para pembuat kebijakan legislasi, kiranya lebih membuka diri dalam hal mengeluarkan aturan yang tegas terkait dengan pertanggungjawaban seorang hakim terhadap kesalahan yudisialnya dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat sebagai korban akibat kesalahan yudisial seorang hakim dalam proses peradilan.


 
DAFTAR  PUSTAKA


Buku-Buku               

      H.J. Abraham,1998, Proses Yudisial, OUP

      Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

      Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga

                                  , 1985, KUHAP Sekarang       

      Wirjono Prodjodikoro, 1974,  Bunga Rampai Ilmu Hukum


Peraturan Perundang-undangan

      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

      Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976


Makalah/Paper

      A.W. (TON) Joengbloed, Memikirkan Putusan Pengadilan yang Semena-mena, dipresentasikan pada  diskusi Judicial Liability yang diselenggarakan Komisi Yudisial RI-NLRP, Jakarta, 12 Mei 2010

      Sebastiaan Pompe, 2005, A Summary of A.W. Jongbloed's piece on Judicial Liability (Aansprakelijkheid voor optreden van de rechterlijkemacht, Den Haag, BoomJuridische Uitgevers 1999) yang dipresentasikan pada diskusi mengenai judicial liability oleh Komisi Yudisial-NLRP pada tanggal 12 Mei 2010



[1] Lihat, Oemar Seno Adji dalam bukunya KUHAP Sekarang, 1985
[2] Sebastiaan Pompe, 2005, A Summary of A.W. Jongbloed's piece on Judicial Liability (Aansprakelijkheid voor optreden van de rechterlijkemacht, Den Haag, BoomJuridische Uitgevers 1999) yang dipresentasikan pada diskusi mengenai judicial liability oleh Komisi Yudisial-NLRP pada tanggal 12 Mei 2010.
[3] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, 1980, hlm. 258
[4] A.W. (TON) Joengbloed, Memikirkan Putusan Pengadilan yang Semena-mena, dipresentasikan pada  diskusi Judicial Liability yang diselenggarakan Komisi Yudisial RI-NLRP, Jakarta, 12 Mei 2010
[5] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1-9
[6] Wirjono Prodjodikoro, 1974,  Bunga Rampai Ilmu Hukum.
[7] Lihat, Oemar Seno Adji dalam bukunya KUHAP Sekarang, 1985
[8] A.W. (TON) Joengbloed, Memikirkan Putusan Pengadilan yang Semena-mena, dipresentasikan pada  diskusi Judicial Liability yang diselenggarakan Komisi Yudisial RI-NLRP, Jakarta, 12 Mei 2010
[9] Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976
[10] Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976
[11] H.J. Abraham, Proses Yudisial, OUP 1998, 7th Ed., Hlm.290
[12] Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976

1 komentar:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus