Selasa, 25 Maret 2014

KEDUDUKAN HUKUM SEBAGAI PENGINTEGRASI KEKUASAAN NEGARA

KEDUDUKAN HUKUM SEBAGAI PENGINTEGRASI
KEKUASAAN NEGARA


BAB  I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
         Manusia sebagai makhluk sosial yang tentunya selalu di dorong untuk melakukan hubungan-hubungan sosial di antara sesamanya. Cara-cara untuk melakukan hubungan tersebut tampak dalam berbagai bentuk yang dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya lalu- lintas kendaraan di jalan raya, sekalipun berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya, namun hampir-hampir tidak terlihat kendaraan yang bertabrakan satu sama lain, sekalipun hal tersebut mungkin saja terjadi nampak hanya sebagian kecil saja. Dari sini tampak adanya keteraturan atau ketertiban dalam hubungan tersebut Demikian pula dengan hubungan perdagangan bahwa barang-barang dan jasa-jasa tersebut tersalur secara tertib dan teratur kepada mereka yang membutuhkannya. Hal-hal ini merupakan bukti adanya suatu hubungan yang tertib antara produsen dan konsumen.
         Dari beberapa contoh di atas, dapat di lihat adanya sesuatu hal yang menjadi sebab adanya keteraturan dan ketertiban. Keteraturan dan ketertiban itu ditimbulkan oleh adanya kaedah-kaedah atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya diantaranya adalah kaedah-kaedah/norma-norma hukum, sehingga hubungan-hubungan sosial tersebut dapat berlangsung secara tertib dan teratur. Jadi ketertiban dan keteraturan merupakan syarat bagi berlangsungnya hubungan antara sesama anggota masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
         Dalam konteks suatu negara, hukum merupakan salah satu produk kekuasaan yang dihasilkan melalui suatu proses kesepakatan politik di parlemen. Hukum yang dihasilkan tersebut kemudian akan dengan sendirinya berlaku ditengah-tengah kehidupan masyarakat setelah mendapat pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Namun yang menjadi suatu permasalahan yang serius dewasa ini adalah ketika lahirnya suatu undang-undang yang hanya merupakan kesepakatan politik oleh para elit dan penguasa untuk mencapai keinginannya. Hukum digunakan sebagai alat pengitegrasi kepentingan-kepentingan politik oleh kelompok penguasa. Peraturan perundang-undangan tersebut sarat dengan muatan-muatan politik yang cenderung lebih memihak kepada penguasa dan kelompok-kelompok tertentu sehingga dalam pelaksanaannya sering mendapat respon yang negatif dari masyarakat.
         Dengan demikian hukum yang merupakan panglima dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang mempunyai peranan untuk menciptakan suatu keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan dimasyarakat kemudian menjadi suatu hal yang kontradiksi dengan kenyataan yang terjadi dan di alami oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini disebabkan adanya pergeseran nilai-nilai hukum yang terkandung dalam substansi suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dirasakan tidak lagi berpihak kepada rakyat dalam menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, dan hanya cenderung mementingkan keinginan-keinginan kelompok penguasa itu sendiri.
                 
B.   Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimanakah kedudukan hukum sebagai alat pengintegrasi kekuasaan negara ?
     
C.  Tujuan dan Manfaat
1.   Tujuan penulisan
               Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum sebagai pengintegrasi kekuasaan negara.

2.   Manfaat Penulisan
               Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang kedudukan hukum sebagai pengintegrasi kekuasaan negara.


BAB II
KERANGKA TEORI


A. Konsep Hukum
               Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret. Oleh karena itu pertanyaan tentang apakah hukum itu, senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi keilmuan mereka, masyarakat akan memandang hukum dari sudut pandang mereka juga masing-masing sesuai dengan profesi dan pekerjaan yang digelutinya dalam kehidupan sehari-hari.
                Perkembangan sejarah kehidupan manusia menyebabkan senantiasa terjadi pula perubahan tentang apa yang dimaksud sebagai hukum dari masa ke masa. Sebelum manusia mengenal undang-undang, hukum identik dengan kebiasaan dan tradisi yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka. Ketika undang-undang sedemikian diagungkan muncul pandangan yang mengidentikan hukum dengan undang-undang. Pada masyarakat yang religius, hukum diidentikan dengan hukum tuhan atau hukum agama. Ketika masyarakat tiba pada tahap perkembangan dimana pranata peradilan sangat difungsikan, maka orang mengidentikan hukum dengan segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan.
                Uraian tersebut di atas merupakan salah satu alasan kesulitan untuk membuat suatu definisi hukum yang dapat di terima oleh semua kalangan. Oleh karena itu masih relevan kalimat yang dilontarkan oleh Emmanuel Kant yaitu Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht (tidak ada seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi hukum yang sempurna[1]. Penyebab lain kesulitan-kesulitan untuk mendefinisikan hukum selain sifatnya yang abstrak, juga karena cakupan yang di atur oleh hukum sangat luas. Secara normatif dan dogmatif dapat dikatakan bahwa hukum mengatur hampir seluruh segi kehidupan manusia, mulai dari sebelum manusia lahir sampai sesudah manusia meninggal sekalipun.
                Namun demikian dalam penulisan makalah ini, penulis akan memberikan beberapa definisi hukum dari beberapa pakar hukum yang terkemuka, untuk menjadi gambaran sekaligus sebagai bahan perenungan tentang apa yang dimaksud dengan hukum, sebagai berikut : [2]
             1.   Menurut Bellfroid bahwa hukum yang berlaku di masyarakat mengatur tata tertib masyarakat,  dan di dasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu ;
          2.  Leon Duguit, bahwa hukum adalah tingkah laku warga masyarakat yang merupakan aturan  dimana daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh warga masyarakat sebagai  jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran ;
              3.   Paul Bohannan, bahwa hukum adalah himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan dalam pranata hukum ;
              4.   Pospisi., bahwa hukum adalah aturan-aturan dan mode-mode tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas pengendalian ;
              5.   Van Kant, bahwa bahwa hukum adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi masyarakat ;          
             6.   Paul Scholten, bahwa hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, jadi hukum itu bersifat suatu perintah.

                Selanjutnya Soerjono Dirdjosisworo memberikan definisi bahwa hukum itu adalah kumpulan dari berbagai aturan-aturan hidup (tertulis atau tidak tertulis) yang menentukan apakah yang patut atau tidak patut dilakukan oleh seseorang dalam pergaulan hidupnya, suatu hal yang khusus yang terdapat pada peraturan-peraturan hidup itu, yakni bahwa untuk penataanya ketentuan itu dapat dipaksakan berlakunya.[3]
                Selanjutnya dalam hukum terdapat subjek hukum atau subject Van Een Recht yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya sedangkan perbuaan yang dapat menimbulkan akibat hukum yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita yang oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak.[4]
                Khususnya dalam penentuan hak dan kewajiban dan perlindungan kepentingan sosial dari para individu. Peranan di sini mencerminkan lagi secara lebih nyata bekerjanya hukum di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Hukum berperan sedemikian rupa sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung dengan tertib dan teratur, karena hukum secara tegas akan menentukan hak-hak dan kewajiban antara mereka yang mengadakan hubungan serta bagaimana tugas dan kewajiban serta wewenang dihubungan kesatuan (pemerintah) dengan kepentingan para individu, sedemikian rupa sehingga tidak terjadi ketegangan dalam berbagai ketidakteraturan.[5]
                Ada banyak cara berpikir yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan memahami hukum. Cara berpikir yang pertama yang kemudian disebut sebagai aliran analistis yang memandang bahwa hukum sebagai penetapan kaitan-kaitan logis antara kaidah-kaidah dan antara bagian-bagian yang ada dalam tertib hukum. Setiap istilah hukum yang di pakai selalu di definisikan secara tegas. Pandangan yang demikian itu cenderung meletakkan setiap persoalan hukum sebagai persoalan-persoalan legalitas-formal, terutama mengenai penafsiran serta penerapan pasal-pasal undang-undang. [6]
                Aliran pemikiran ini berpendirian bahwa sejak suatu aturan hukum ditetapkan, maka ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum positif dan dengan demikian aturan hukum itu tetap berputar sebagai bagian dari sistem tersebut secara logis, rasional, konsisten, dan sistematis. Itu artinya ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan tentang hukum positif selalu menempatkan hukum di dalam batas-batas perundang-undangan dan sebagai lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat.
                Tidak dapat di sangkal lagi, bahwa perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang, mengkehendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.
               Namun harus di sadari sungguh-sungguh bahwa masalah pengaturan oleh hukum itu bukan saja di lihat dari segi legitimasinya dan bukan juga semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan. Itulah sebabnya muncul suatu cara berpikir lain (aliran pemikiran non-analitis) yang tidak lagi melihat hukum sebagai lembaga otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat.
                Mengenai hal ini, Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak melainkan ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian masalah efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting, oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial diluarnya. Hal ini jelas dikataan pula oleh Robert B. Seidman, bahwa setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah, baik melalui perubahan normal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.
                Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan perkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga semakin intensif. Hal ini menjadikan hubungan antara tertib hukum dan tertib sosial yang lebih luas kian menjadi permasalahan pokok di dalam ilmu hukum. Dalam kerangka pemahaman yang demikian itu, maka kompleksitas hubungan yang berlangsung antara tertib hukum dan tertib sosial tersebut harus mendapat perhatian yang serius agar dapat memahami secara baik seluk-beluk masalah yang diaturnya. Disini berarti pengaturan oleh hukum itu tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Misalnya tata aturan mengenai jual beli, perkawinan dan sebagainya itu bersumber pada tingkah laku manusia.[7]
                Bekerjanya hukum itu memang tidak dapat di lepaskan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat di sekelilingnya. Hukum itu tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Untuk menjalankan pekerjaan seperti itu, hukum membutuhkan suatu kekuatan pendorong. Ia membutuhkan kekuasaan, kekuasaan ini memberikan kekuatan kepadanya untuk menjalankan fungsi hukum, seperti misalnya sebagai kekuatan pengintegrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. Kita bisa menyatakan, bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka.[8]
                Menurut J Van Kan & J.H. Beekhuis bahwa hukum diciptakan oleh negara atau setidak-tidaknya oleh alat-alat yang di dalam negara diberikan kekuasaan membentuk hukum. Negara sebagai suatu persekutuan yang di organisasikan oleh hukum, adalah ciptaan hukum sendiri. Jadi pembentukan negara adalah sejalan dengan pengaturan dari organisasi kekuatan negara, yang menunjuk pejabat-pejabat dari kekuasaan ini dan menentukan batas-batas penyelengggaraan itu.[9]

B.   Konsep Kekuasaan                                            
                Istilah kekuasaan (power) berasal dari kata Yunani yang berarti  sanggup untuk membuat sesuatu, sanggup untuk mempengaruhi orang, sanggup membuat perubahan dan tanpa kekuasaan sesuatu tidak akan terjadi. Kekuasaan dapat juga di artikan suatu kapasitas yang dapat mendorong manusia atau mempengaruhi pihak lain untuk mengubah tingkah laku atau untuk mengerjakan apa yang dikehendaki.[10]
                Bertolak dari definisi tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa konsep kekuasaan sebenarnya menunjukan kelebihan atau kemampuan pribadi seseorang yang tercermin dalam berbagai aspek khususnya di dalam interaksi sosial, sehingga seseorang yang memiliki kekuasaan dapat merealisir keinginannya melalui orang lain. Kekuasaan dapat berwujud dalam bentuk otoritas pengaruh dan paksaan. Istilah kekuasaan seringkali digunakan silih berganti dengan istilah wewenang (autority). Namun tidak berarti kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, karena wewenang / otoritas hanya bagian dari kekuasaan yaitu tercakup dalam salah satu variabel kekuasaan yang disebut kekuasaan murni. Otoritas merupakan suatu kekuasaan yang sah untuk melakukan tindakan atau membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Dengan kata lain bahwa wewenang / otoritas di peroleh karena adanya power / kekuasaan yang dimiliki seseorang yang menimbulkan pengaruh bagi orang lain.[11]                      
                Weber mendefinisikan kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi kemungkinan itu. Selanjutnya dalam Dictionary of Sociology, kekuasaan di artikan sebagai kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa atau mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri kebebasannya, dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara tertentu.[12]
               Mengutip pendapat Foucault, Haryatmoko menegaskan bahwa kekuasaan terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil persetujuan, tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan pertama-tama bukan represi atau pertarungan kekuatan dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang di dasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi. Kekuasaan ada di mana-mana dan bukannya kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana. Pada dasarnya terminologi kekuasaan selalu terkait dengan hakikat, wewenang dan dasar legitimasi. Hakikat kekuasaan bersentuhan dengan hal sebenar-benarnya. Dari segi hakikat kekuasaan adalah kekuatan, kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu dan mengandung makna wewenang atas sesuatu pula.[13]
                Menurut Barrington Mooore memberikan definisi kekuasaan juga di artikan sebagai dominasi dari pengawasan yang berorientasi kepada metode atau cara bagaimana golongan-golongan individu-individu tertentu berhasil melakukan dominasi terhadap sesamanya. Adapun Talcots Parson dan Robert Lync cenderung merumuskan kekuasaan sebagai kekuatan untuk mengawasi atau melakukan pengawasan. Parsons menganggap kekuasaan sebagai pemilihan fasilitas-fasilitas untuk menguasai, sedangkan Robert Lync menganggap kekuasaan sebagai sumber sosial yang utama untuk mengadakan pengawasan.[14]
                Dalam pandangan Engels kekuasaan itu berasal dari masyarakat dan berkuasa di atas masyarakat. Dari rumusan ini, kekuasaan dapat ditarik pada pengertian yang lebih umum yaitu sebagai suatu kesempatan bagi seseorang atau kelompok untuk mewujudkan kehendaknya dalam bentuk suatu aksi sosial bagi mereka yang menentang maupun tidak. Mengenai darimana datangnya kekuasaan, Parson menyebut kekuasaan sebagai suatu sumber sistem yang di lihat dari sudut konsensus dan legitimasi, merupakan suatu kemampuan untuk menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat (terhadap tujuan-tujuan kolektif yang disepakati) dari satuan-satuan yang ada di dalam suatu sistem organisasi yang kolektif dan jika ada perlawanan, maka ada lembaga yang berkuasa penuh menegakannya dengan sanksi-sanksi situasional yang bersifat negatif.
                Lebih lanjut Hannah Arendt memperlihatkan bahwa kekuasaan (power) harus dibedakan dengan tajam dari paksaan dan penindasan (force). Menurutnya, kekuasaan adalah suatu pola hubungan antar manusia yang tinggi derajatnya dan hidup dari pengakuan bebas mereka yang berada dalam hubungan kekuasaan itu. Di sisi lain, J. Geltung menyebut 3 sumber kekuasaan, yaitu: (1) kekuasaan yang diperoleh karena pembawaan sejak lahir yang berhubungan dengan dimensi ada (being power) ; (2) kekuasaan yang diperoleh karena memiliki sumber-sumber kemakmuran (having power); dan (3) kekuasaan yang diperoleh karena kedudukan seseorang dalam suatu struktur (structure power).[15]
                Masih soal sumber kekuasaan, Weber menyebut adanya 3 sumber legitimasi kekuasaan yaitu karismatis, tradisional, dan rasional. Legitimasi karismatis bertumpu pada kesetiaan terhadap keistimewaan yang menonjol dari seseorang dan kepada tatanan yang dikeluarkan oleh orang yang menjadi sanjungan kesetiaan tersebut. Legitimasi tradisional di dasarkan atas kepercayaan yang telah mapan dan melembaga mengenai tradisi turun temurun, termasuk kepercayaan pada legitimasi mereka yang menjalankan kekuasaan atas dasar tradisi tersebut. Terakhir, legitimasi rasional didasarkan kepada kepercayaan kepada pola-pola dari kaidah-kaidah normatif dan terhadap hak dari mereka yang memiliki otoritas, yang muncul dari kaidah-kaidah tersebut, untuk mengeluarkan perintah-perintah. [16]
                Dengan demikian, kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Baik buruknya kekuasaan senantiasa harus di ukur dengan kegunaannya untuk suatu tujuan yang telah ditentukan atau di dasari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di dalam setiap masyarakat baik yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga masyarakat oleh karena justru pembagian yang tidak merata tidak timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.[17]
                Jika kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang di kuasai atau dengan perkataan lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela atau terpaksa. Apabila kekuasaan itu di jelmakan dalam diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang mengikutinya dinamakan pengikut-pengikutnya. Beda antara kekuasaan dan wewenang (authority) adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali letak wewenang yang diakui dan letak kekuasaan yang nyata tidak berada di dalam satu tangan atau satu tempat.
                Apabila kekuasaan dihubungkan dengan sistem hukum, maka paling sedikit ada dua hal yang menonjol yaitu pertama bahwa para pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, oleh karena pembatasan tertentu atas peran-perannya yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari pengguna kekuasaan itu sendiri. Efektivitas hukum ditentukan oleh keabsahan hukum tadi, artinya apakah hukum tadi dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan yang benar-benar mempunyai wewenang yakni kekuasaan yang diakui. Dalam arti inilah hukum mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. Akan tetapi sistem hukum merupakan juga suatu alat bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat atau untuk mempertahankan atau menambah kekuasaannya.[18]
                Hal yang kedua adalah bahwa sistem hukum antara lain menciptakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini ada hak-hak masyarakat yang tidak dapat dijalankan oleh karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya dan sebaliknya, ada hak-hak yang secara otomatis di dukung oleh kekuasaan. Lagipula jika masyarakat mengakui adanya hak-hak tertentu maka hal itu pada umumnya berarti adanya kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak tersebut melalui lembaga-lembaga hukum tertentu oleh karena hukum tanpa kekuasaan merupakan hukum yang mati.[19]
                Selanjutnya, menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan.[20]
                Menurut S. Mertokusumo, hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukan hukum. Sebaliknya hukum itu sendiri pada hakekatnya kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan ketertiban, dan membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum menjalankan fungsi itu jika tidak merupakan kekuasaan. Intinya, hukum merupakan kekuasaan untuk mengusahakan ketertiban, tidak boleh diartikan bahwa karena hukum itu merupakan kekuasaan lantas dihalalkan munculnya hukum kekuasaan, yaitu hukum bagi mereka yang berkuasa.[21]
                Sejalan dengan itu, Sacipto Rahardjo memberikan pendapat yang hampir senada yakni kekuasaan dibutuhkan oleh hukum agar ia mampu menjalankan fungsinya, seperti misalnya sebagai kekuatan pengintegrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. Meskipun hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak boleh membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum. Secara bernas hendak dikatakan bahwa dalam tali-temali yang rumit antara hukum dan kekuasaan ini, maka hukum merupakan sarana mengontrol kekuasaan pada orang-orang, menyalurkan kekuasaan, sekaligus sumber kekuasaan. [22]

 C. Konsep Negara                                      
               Untuk memahami suatu negara, perlu diketahui sifat hakekat negara. Sifat hakekat negara secara akademik dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek sosiologis dan aspek hukum (yuridis).
      1).     Aspek Sosiologis
                      Dari aspek sosiologis, maksud suatu negara adalah memahaminya sebagai anggota masyarakat atau zoon politicon. Negara sebagai wadah bangsa menggambarkan cita-cita kehidupan bangsanya. Pandangan sifat hakekat negara berkaitan dengan pandangan hidup yang di anutnya.
                        Untuk itu perlu di kemukakan beberapa pandangan filsuf terkemuka tentang negara dari aspek sosiologis, sebagai berikut : [23]
                         a).  Scorates, menganggap polis identik dengan masyarakat dan masyarakat identik dengan negara. Negara adalah suatu organisasi yang mengatur hubungan antara orang-orang yang ada didalam polis (masyarakat atau negara) dan tidak hanya mempersoalkan organisasinya saja, tetapi juga tentang kepribadian orang-orang disekitarnya.
                         b).  Plato (murid Scorates), negara adalah keingingan kerjasama antara manusia untuk memenuhi kepentingan mereka. Kesatuan mereka inilah kemudian disebut masyarakat dan masyarakat itu adalah negara. Antara sifat-sifat manusia ada persamaannya dengan sifat-sifat negara yaitu pikiran, keberanian dan aneka kebutuhan sedangkan sifat-sifat negara yaitu golongan penguasa, golongan tentara dan golongan pekerja.
                         c).  Aristoteles, (murid Plato), negara adalah gabunga keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagian dalam negara akan tercapai bila tercipta kebahagiaan individu. Sebaliknya bila manusia ingin bahagia ia harus bernegara, karena manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya dalam kepentingan hidupnya. Manusia tidak dapat lepas dari kesatuannya dan kesatuan manusia itu adalah negara.
                        d). Oppenheimer, negara merupakan suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat kepada golongan yang lemah. Maksudnya untuk menyusun dan membela kekuasaan dari penguasa.                   
                         e).  Leon Duguit, negara adalah kekuasaan orang-orang kuat memerintah orang-orang yang lemah. Dalam negara moderen, kekuasaan orang-orang kuat diperoleh dari faktor-faktor politik.
                       f).   R. Kraneburg, negara pada hakekatnya adalah suat organisasi kekuasaan, diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa, dimana tejadinya suatu negara adanya kesadaran sekelompok manusia untuk mendirikan organisasi dengan tujuan untuk memelihara kepentingan kelompok tersebut, manusia sebagai unsur primer dan negara merupakan unsur sekunder.
                 g).  Logeman, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang disebut bangsa. Berbeda dengan pendapat Kraneburg negara merupakan unsur primer sedangkan manusia adalah unsur sekunder.

      2).     Aspek Yuridis
                        Pada hakekatnya, mengkaji negara secara keseluruhan, yaitu melihat peraturan-peraturan yang membentuk negara itu. Ada tiga pandangan yang menguraikan tentang negara dari aspek yuridis, sebagai berikut : [24]
                a).      Negara sebagai Recht object yaitu negara sebagai obyek daripada orang-orang untuk dapat bertindak, dengan kata lain negara itu adalah alat manusia untuk mencapai tujuannya.
                b).     Negara sebagai Recht subjet yaitu negara sebagai pembentuk hukum. Menurut Logemann disebut ambten organisatie atau organisasi dari jabatan-jabatan.
                c).      Negara sebagai Rechtsverhatnis (penghalusan hukum), yaitu negara merupakan hasil perjanjian dengan orang-orang tertentu. Hans Kelsen memberikan definisi bahwa negara merupakan suatu tertib hukum yang memaksa atau dapat dikatakan bahwa negara identik dengan hukum.           
                Dengan demikian, berdasarkan pandangan-pandangan para ahli yang telah dikemukakan di atas tentang negara atau terbentuknya negara, terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya. Mereka berargumentasi menurut sisi pandang dan pola pikirnya masing-masing. Namun perlu di pahami bahwa pengertian negara bukanlah satu-satunya cara untuk membahas konsep negara.
                Sebagai pegangan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini, bahwa negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus kepentingan manusia tersebut yang memliki unsur-unsur kelompok manusia (rakyat), wilayah dan pemerintahan.
     
  
BAB III
PEMBAHASAN


         Sebelum lebih jauh membahas tentang kedudukan hukum sebagai pengintegrasi kekuasaan negara, pada kesempatan awal penulis mencoba untuk memberikan pembahasan mengenai salah satu fungsi hukum sebagai alat pengintegrasi sosial, yang menurut hemat penulis dapat dijadikan sebagai suatu pengantar dan bahan persandingan sehingga penulisan dan pembahasan makalah ini dapat dikaji lebih mendalam.
         Dalam kajian sosiologi hukum, dikenal salah satu fungsi hukum yaitu sebagai sarana pengintegrasi sosial adalah untuk mengurangi konflik yang terjadi dan memperlancar proses interaksi pergaulan sosial. Artinya hukum menjadi sarana untuk menciptakan keserasian berbagai kepentingan masyarakat sehingga proses pergaulan hidup berlangsung dengan tertip dan lancar. Sehubungan dengan itu, hukum bertugas sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat dan berlaku baik jika tidak ada konflik maupun setelah ada konflik. Namun demikian harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana lain seperti kaidah agama, moral, dan sebagainya.
         Pada dasarnya manusia dalam hidup bermasyarakat menyadari dirinya bahwa ia di atur oleh berbagai aturan. Aturan-aturan itu berupa nilai-nilai dan kaedah-kaedah sosial. Pengaturan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Purnadi Purbacaraka mengemukakan bahwa kaedah-kaedah itu sebagai pedoman untuk hidup yang mempunyai dua aspek secara umum, yaitu aspek hidup pribadi dan aspek hidup antar pribadi. Pertama aspek hidup pribadi mencakup kaedah-kaedah kepercayaan/ keagamaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman, kaedah-kaedah kesusilaan (moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak. Kedua  aspek hidup antar pribadi meliputi kaedah-kaedah sopan santun yang maksudnya untuk kesedapan hidup bersama, kaedah-kaedah hukum yang tertuju kepada kedamaian hidup bersama.[25]
         Menurut Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa kaedah hukum memuat suatu penilaian mengenai perbuatan tertentu. Hal ini jelas tampak dalam bentuk perintah dan larangan. Kaedah hukum ini diwujudkan dalam bentuk petunjuk bertingkah laku. Oleh karena itu kaedah hukum disebut petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan yang disertai dengan sanksi. Kaedah hukum tersebut bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui keberlakuannya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat itu. Jika kaedah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan pada otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi. Agar dengan sanksi itu masyarakat diharapkan supaya selalu berada dalam koridor yang baik, serta menghindarkan diri dari perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan kedamaian dalam masyarakat.[26]
         Kedamaian di sini adalah suatu keadaan yang mencakup dua hal, yaitu ketertiban/keamanan dan ketentraman/ketenangan. Ketertiban/keamanan menunjukkan pada hubungan atau komunikasi lahiriah, jadi melihat pada proses interaksi para pribadi dalam kelompok masyarakat. Sedang ketentraman/ketenangan menunjuk pada keadaan bathiniah, jadi melihat pada kehidupan bathiniah (internal life) masing-masing pribadi dalam kelompok masyarakat.[27]
         Ketertiban dan ketentraman bisa tercapai apabila ada kaedah-kaedah sosial. Salah satu kaedah sosial dalam mekanisme pengintegrasian adalah kaedah hukum Apabila seseorang sadar bahwa hampir semua hubungan kemasyarakatan di atur oleh kaedah-kaedah hukum dan pola-pola tertentu dalam arti tunduk pada kaedah-kaedah dan pola-pola tersebut. Sebagai contoh seseorang memiliki kesempatan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya serta menuntut hak-haknya. Dengan demikian dia akan lebih yakin bahwa ada kaedah-kaedah hukum dan pola-pola yang mengatur interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
         Selain itu, hukum juga berfungsi sebagai pengintegrasi masyarakat ketika terjadi konflik. Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu dalam hal tidak ada konflik dan dalam hal terjadi konflik. Pertama, penerapan hukum pada saat tidak ada konflik. Contohnya jika seorang  pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran sesuai dengan kesepakatan bersama. Kedua, penerapan hukum pada saat terjadi konflik. Contohnya si pembeli sudah membayar lunas harga barang, tetapi penjual tidak mau menyerahkan barangnya yang telah dijual maka hukum diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.[28]
         Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana pengintegrasi lain seperti kaedah agama, kaedah moral, dan sebagainya.
         Namun demikian, Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain atau antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Oleh sebab itu, diperlukan suatu fungsi yang sifatnya lebih memaksa dan tidak sekedar mempertahankan asas-asas terakhir yang mengatur kehidupan masyarakat. Kaedah-kaedah ini mengkoordinasikan unit-unit dalam lalu lintas kehidupan sosial dengan cara memberikan pedoman orientasi tentang bagaimana seharusnya manusia itu bertindak. Sehingga jika terjadi konflik di dalam masyarakat, maka hukum harus berperan. Olehnya itu, menurut Hobbes hukum itu ditentukan untuk mengatur konflik-konflik yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial. Inilah yang disebut oleh Hobbes fungsi hukum sebagai mekanisme pengintegrasi.[29]
         Seirama dengan pendapat Harry C.Bredemeier yang cenderung melihat fungsi hukum hanya sebagai penjaga yang bertugas untuk menyelesaikan konflik-konflik. Hukum barulah beroperasi setelah adanya suatu konflik, misalnya ada sesorang yang menggugat bahwa kepentingannya terganggu oleh orang lain. Dalam hal ini, menjadi tugas pengadilanlah untuk menjatuhkan suatu putusan, untuk mnyelesaikan konflik itu.[30]

Hukum sebagai Pengintegrasi Kekuasaan Negara
         Selanjutnya, jika kita lebih mengkhususkan pembahasan mengenai fungsi hukum selain sebagai alat pengintegrasi sosial dan membahas mengenai kedudukan hukum sebagai pengintegrasi kekuasaan negara, di kenal adanya teori Sibernetica yang dikemukakan oleh Talcott Persons, berpendapat bahwa masyarakat dapat di ibaratkan sebagai tubuh manusia yang merupakan suatu sistem yang di dalamnya dilengkapi dengan organ (sub-sistem) yang secara hirarkis saling mempengaruhi satu sama lain. Tingkatan hirarkis sub-sistem tersebut meliputi sub-sistem ekonomi yang berfungsi adaptasi, sub-sistem politik yang berfungsi pencapaian tujuan, sub-sistem hukum (sosial) yang berfungsi integrasi, dan sub-sistem budaya yang berfungsi mempertahankan pola.[31]
         Kemudian teori Sibernetica Talcott Persons tersebut dikembangkan oleh pakar hukum Harrry C. Bredemeier yang memiliki teori tentang fungsi hukum yang memandang a law as an integrative mechanism. Ia membangun analisisnya tentang fungsi hukum sebagai mekanisme pengintegrasi atau integrator dalam kerangka, yaitu adanya empat fungsional utama yang di observasi di dalam suatu sistem sosial, terdiri dari adaptasi di maksudkan sebagai proses ekonomi, pencapaian tujuan (goal pursuance) sebagai proses politik, mempertahankan pola (pattern maintenance) secara sederhana sebagai proses sosialisasi, dan integrasi adalah proses hukum.[32]
        
         Lebih lanjut menurut Bredemeier mengungkapkan suatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya dengan sub-sistem fungsional lain dari masyarakat. Ia kemudian membahas beberapa garis penting dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan analisis itu dan kedudukan sosiologi dalam hukum. Intisari dari konsep Bredemeier ini melihat sistem hukum sebagai suatu mekanisme integrative yang menyumbangkan koordinasi pada masyarakat berupa keluaran-keluaran pada sektor-sektor lain dalam masyarakat dengan memperoleh masukan-masukan, yakni sebagai berikut :
         Pertama adalah sistem hukum (badan peradilan maksudnya) merupakan suatu mekanisme yang berfungsi untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi dalam masyarakat dan mendapat masukkan (input) dari : (1) Sistem politik, yaitu berupa penetapan tujuan dan dasar kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem hukum, (2) Sistem adaptif berupa pengetahuan dan permasalahan-permasalahan sebagai patokan penelitian sebagai imbalan terhadap organisasi serta kebutuhan akan pengetahuan,  (3) Sistem pattern maintenance berupa konflik dan penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik dan keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.
         Kedua adalah di dalam fungsinya untuk menciptakan integrasi maka efektifitasnya tergantung dari berhasilnya sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas tertentu dalam proses hubungan antara sistem hukum dengan sektor-sektor lainnya. Beberapa faktor yang dapat mengganggu stabilitas tersebut antara lain : (1) kemungkinan timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan dalam hukum yang tidak konsisten dengan kebijaksanaan dengan sistem politik, (2) tanggapan dari kekuasaan legislatif terhadap fluktuasi jangka pendek kepentingan-kepentingan pribadi, (3) tidak adanya komunikasi perihal pengetahuan yang akurat dengan pengadilan, (4) tidak adanya fasilitas untuk melembagakan fungsi peradilan dalam diri warga masyarakat, (5) adanya perkembangan nilai-nilai dalam sistem pattern-maintenance yang berlawanan dengan konsepsi keadilan, (6) tidak adanya atau kurangnya saluran-saluran melalui mana kebutuhan peradilan dapat dipenuhi.
         Ketiga adalah, hal-hal tersebut di atas dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mengadakan penelitian sosiologi hukum, terutama terhadap masalah-masalah sebagai berikut : (1) latar belakang orang-orang yang berfungsi sebagai pembentuk hukum pada kekuasaan legislatif, (2) mekanisme yang diperlukan untuk menjabarkan ideal-ideal hukum dalam profesi hukum, (3) saluran komunikasi tentang ilmu pengetahuan kepada kalangan hukum, (4) persepsi-persepsi dari masyarakat terhadap hukum, dan dasar-dasar dari persepsi tersebut, (5) reaksi-reaksi warga masyarakat terhadap hukum yang di perlakukan kepadanya, (6) sarana-sarana lainnya untuk menyelesaikan konflik.di samping hukum. 
         Keberadaan hukum yang dimaksudkan di atas ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur atau seperti yang sudah disebutkan di atas sebagai mekanisme integrasi. Pada waktu timbul sengketa dalam masyarakat, maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. pada itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran.
         Berdasarkan teori Sibernetica yang telah di kemukakan di atas, jika di kaitkan dengan hukum dan kekuasan dalam suatu negara ternyata membawa kepada pemahaman dalam suatu permasalahan yang tidak sederhana. Secara sepintas hubungan antara keduanya hanya saling menolak dan meniadakan, maka dalam pengamatan lebih jauh hukum dan kekuasaan menampilkan kompleksitas perbauran yang lebih kaya. Menurut Sacipto Rahardjo dengan optik sosiologis kondisinya tidak sedemikian itu. Orang biasa mengatakan bahwa begitu datang orde hukum, maka sekalian praktik yang menggunakan kekuasaan telanjang menjadi berhenti atau ditabukan sama sekali. Tetapi, optik sosiologis menemukan kenyataan bahwa kekuasaan itu tetap ada secara laten dan pada saat tertentu dapat muncul kembali dalam hal ini dengan menggunakan hukum sebagai selimut. Keadaan seperti itulah yang pernah di singgung oleh Alvin Toffler pada waktu menceritakan betapa dunia makin bergeser dari praktik menggunakan kekuasaan atau kekuatan kepada pendayagunaan otak, maka harus di akui bahwa kekuatan itu sering muncul kembali dalam baju yang lebih halus antara lain melalui hukum.
         Kekuatan dan kekuasaan yang pada masa sebelumnya dapat bergerak bebas sekarang harus mencari sandaran atau legitimasinya pada hukum, tetapi bagaimanapun tetapi tetap saja ia tampil sebagai suatu kekuatan atau kekerasan sehingga hukum adalah kekuasaan yang diorganisasikan kembali sehingga menjadi lebih beradab dan tidak tampak ketelanjangannya. Pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, aparat birokasi, dan penjara, misalnya merupakan penjabaran kekuasaan negara ke dalam orde hukum. Manusia sebagai warga negara setiap saat berada pada ujung penodongan kekuasaan semacam itu. Orang harus mematuhi hukum atau menerima resiko berhadapan dengan polisi dan aparat penegak hukum lainnya.         
         Menurut Sacipto Rahardjo, kekuasaan itu dapat bersifat netral atau tidak tergantung kepada penggunaannya. Sekalipun demikian tidak dapat dihilangkan kesan bahwa kekuasaan itu memiliki kecenderungan tertentu yang lebih kuat daripada sifat netral. Dalam kerangka pemahaman yang demikian merupakan hal yang tidak benar jika kekuasaan itu netral. Kekuasaan itu memiliki bakat untuk menjurus kepada praktek-praktek yang bersifat negatif, sebagaimana nampak dalam adagium populer yang disampaikan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran. Hal tersebut mendorong pemikiran untuk menciptakan bangunan peradaban baru yang boleh dikatakan bertolak dari pemahaman kekuasaan yaitu demokrasi dan negara hukum. Bangunan tersebut penuh dengan rambu-rambu untuk mengamankan warga negara dari ulah kekuasaan yang dikatakan berwatak jahat itu.
         Belajar dari pengalaman sejarah mengenai dinamika penyalahgunaan kekuasaan yang masih terus menerus berlangsung dan bahkan sudah ada semenjak munculnya kekuasaan itu sendiri, maka sejak awal sebenarnya sudah ada gagasan untuk membangun kekuasaan itu untuk melekatkan kepada fitrahnya semula yaitu untuk memberikan tempat terhormat kepada rakyat dalam mengatur negara sekaligus memberikan pedoman kepada penyelenggara negara bagaimana membangun kekuasaan untuk maksud tersebut. Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah itu perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris yaitu Lord Acton. Menurutnya, pemerintahan selalu diselenggarakan oleh politisi dan negarawan, akan tetapi pada mereka tanpa kecuali selalu melekat kelemahan. Teori itu kemudian terkenal dengan rumusan Power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely.
         .Sehubungan dengan pendapat tersebut di atas, pada masa sekarang ini kemudian muncul perdebatan mengenai eksistensi suatu undang-undang yang berhubungan langsung dengan kekuasaan politik. Dalam praktek kerapkali politik melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga menimbulkan pertanyaan manakah antara hukum dan politik yang lebih supreme dan sejauh mana pengaruh politik terhadap hukum. Jika dilakukan pengkajian tentang hubungan kasualitas antara hukum dan politik, minimal ada 3 (tiga) macam jawaban yaitu pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik harus di atur dan harus tunduk kepada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan bersaingan dalam proses pembentukannya di parlemen Ketiga, politik dan hukum sebagai sub-sistem kemasyarakatan berada posisi sederajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk kepada aturan-aturan hukum.
         Jawaban atas pertanyaan tersebut tentang mana yang lebih determinan di antara keduanya (pertama dan kedua), tentu sangat ditentukan oleh sudut pandang masing-masing ahli yang memandangnya. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politik di dalamnya. Sebagai keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakat akan menjadi lebih relevan. Tetapi kaum realis seperti Von Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi independent variable atas keadaan luarnya, terutama keadaan politiknya. Memang di dalam kenyataan hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. [33]
         Menurut Afan Gaffar, hukum tidaklah berada dalam keadaan yang vakum akan tetapi merupakan entitas yang berada pada suatu environment di mana antara hukum dengan environment tersebut terjadi hubungan yang kait-mengait. Akan tetapi tampaknya hukum merupakan produk berbagai elemen termasuk di dalamnya elemen politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan sistem nilainya. Oleh karena itu ekosistem hukum banyak tergantung kepada faktor-faktor yang berada di luar hukum. Jadi hukum bukan sesuatu yang supreme, adanya hukum karena adanya kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.[34]
         Untuk melihat siapa yang paling banyak terlibat di dalam pembentukan agenda sebelum keluarnya sebuah rancangan undang-undang, Afan Gaffar membuat suatu perbandingan antara dua model, yaitu yang demokratis dan yang tidak demokratis. [35] Di negara-negara yang tingkat demokratisnya rendah sekali yang terlibat di dalam pembentukan hukum yaitu para elit-elit utama di negara itu. Kalau di regime yang sosialistis adalah pemimpin partai ditambah sejumlah tokoh militer. Sedangkan di negara yang non-sosialistik biasanya para top birokrat, pemimpin militer, dan pengusaha kaya yang mempunyai kepentingan tertentu. Oleh karena itu, orientasi hukumnya tentu saja bersifat elitis dan selalu saja melindungi dan membela kepentingan mereka sendiri. Di samping itu, karakteristik lain yang menonjol adalah sangat bersifat konservatif dan rumusan-rumusan aturan (wardings) seringkali bersifat multi tafsir sehingga terbuka untuk mengadakan intepretasi baru dengan peraturan lebih lanjut dan harap diperhatikan bahwa intepretasi yang paling kuat adalah yang datang dari penguasa.
         Sebaliknya, dalam pemerintahan /regime yang demokratis, berbagai macam lembaga terlibat di dalam agenda pembentukan hukum. Keterlibatan masyarakat sangat tinggi karena di akui pluralisme politik di mana kelompok-kelompok dalam masyarakat baik yang tergabung di dalam partai politik ataupun tidak (pressure group, interest group, mass media, dan lain-lain) termasuk di dalamnya lembaga swadaya masyarakat / organisasi non-pemerintah. Oleh karena itu produk hukumnya bersifat populis yang sangat berbeda dengan elitis di dalam regime tidak demokratis. Hukum yang dikembangkan adalah bersifat progressive dan memberikan space yang sedikit kepada pihak eksekutif untuk memberikan intepretasi lebih lanjut dari sebuah peraturan.
         Di dalam sistem politik, para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada legitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara lain dalam bentuknya yang utama yaitu berupa berbagai hukum dan kebijakan umum. Apabila ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk menyerap umpan balik. Kesimpulannya ingin ditegaskan bahwa hukum dan politik hukum (legal policy) pada dasarnya merupakan produk dari sistem politik. Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang berlaku.
         Sehingga dapat dikatakan bahwa apabila suatu politik hukum yang berantakan pada tahap pertama akan menghasilkan kaidah-kaidah hukum dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang simpang-siur dan tidak jelas tahap pelaksanaannya. Kesimpang-siuran itu pada tahap kedua akan membiasakan orang untuk melakukan by-pass di segala tahapan pemerintahan. Kebiasan itu akan mendorong orang untuk melakukan spekulasi hukum dengan berpegang kepada penafsiran jika tidak jelas hukumnya, maka bolehlah kaidahnya. Spekulasi hukum yang semakin meluas akan mengantarkan masyarakat kepada tahap yang berikutnya yaitu keadaan tanpa kepastian hukum. Jika negara tidak memiliki kepastian hukum, maka akan sulit sekali menampilkan diri sebagai negara hukum.
         Selanjutnya, menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.[36]
         Uraian di atas menegaskan bahwa hukum sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable, sehingga dapat dikatakan bahwa karena keberlangsungan hukum yang sangat ditentukan oleh arus kepentingan politik, hukum beralih fungsi menjadi alat pengintegrasi, maksudnya hukum tak ubahnya berposisi sebagai pengintegrasi keinginan-keinginan/kepentingan-kepentingan politik para elit/penguasa yang berada di seputar pusat-pusat kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai keinginan politiknya dalam suatu negara.
         Khususnya di Indonesia, dewasa ini dalam penyelenggaraan pemerintahan baik oleh eksekutif maupun parlemen, sering terjadi adanya suatu praktek-praktek penyalahgunaan fungsi hukum sebagai alat untuk memuluskan keinginan-keinginan politik penguasa dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya tersebut, bahkan hukum seringkali digunakan untuk mempertahankan status-quo pemerintah sebagai penguasa terhadap lawan-lawan politiknya yang dianggap menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari sekian banyaknya produk-produk hukum yang dihasilkan baik di tingkat pusat antara DPR dan Pemerintah maupun di daerah yaitu antara kepala daerah yakni Gubernur dan Bupati/Walikota bersama dengan DPRD yang cenderung lebih berpihak kepada permerintah dan mengesampingkan kepentingan masyarakat.
         Sebagai contoh, kenangan masa lalu ketika Bung Karno pernah memerintahkan untuk mengeluarkan Perpu Anti Subversi 1963, guna mencoba memberangus lawan-lawan politiknya. Demikian juga sikap Menteri Penerangan Harmoko di zaman Orde Baru yang cuma bermodalkan Peraturan Menteri Penerangan untuk membreidel Majalah Tempo yang dianggap terlalu kurang ajar dengan penguasa orde baru, padahal dari sisi normatif, jelas produk Permen itu merupakan tindakan yang melabrak asas hirarki perundang-undangan, yaitu bertentangan secara diametral dengan Undang-Undang Pokok Pers saat itu, sebagai aturan yang lebih tinggi (lex superior). [37]
         Selanjutnya, dalam hal penggunaan hukum sebagai alat pengitegrasi kekuasaan di daerah-daerah, telah banyak dilahirkan berbagai macam produk peraturan daerah yang dikeluarkan oleh DPRD bersama Gubernur, Bupati dan Walikota dalam hal untuk membungkus suatu kebijakan yang telah dijalaninya, yang notabene sangat merugikan kepentingan masyarakat luas dan hanya terkesan memuluskan pelaksanaan kebijakan-kebijakan penguasa dengan kelompok-kelompok tertentu utamanya para pemilik modal yang telah melakukan kesepakatan dengan kepentingan-kepentingan politik atau ekonomi diantara mereka, sehingga cita-cita hukum untuk menciptakan adanya suatu ketertiban dan ketentraman di dalam kehidupan masyarakat jauh dari harapan.
         Demikian pula dalam tataran pelaksanaannya, hukum seringkali di intervensi oleh kepentingan kekuasaan dan politik. Arus kepentingan politik penguasa kadangkala merasuki sendi-sendi penegakan hukum di Indonesia. Telah banyak terjadi kasus-kasus yang melibatkan elit-elit politik dan penguasa, yang dengan mudahnya mematahkan kinerja dan upaya aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan citra dan wibawa hukum semakin merosot dan kemudian dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan dapat dikatakan bahwa hukum seakan-akan tidak berdaya jika berhadapan dengan kekuasaan.
         Akhirnya, sebagai penutup penulis berpendapat bahwa seharusnya hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, dan hokum tidak hanya alat yang digunakan sebagai pengintegrasi kekuasaan oleh penguasa. Demikian sebaliknya, kekuasaan politik juga diperlukan untuk menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar para penguasa pemegang kekuasaan dan elit politik jika terbukti melanggar hukum tanpa ada diskriminasi.


BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
             Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum sebagai alat pengintegrasi kekuasaan negara, hukum seringkali digunakan oleh para penguasa dan elit-elit politik dalam suatu negara sebagai alat kekuasaan dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politik penguasa. Kemudian dalam tataran penerapannya, hukum seringkali di intervensi oleh politik, terutama jika melibatkan kalangan penguasa sehingga mengakibatkan pelaksanaan penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan maksimal dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

B. Saran-Saran
             Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan sebagaimana telah disimpulkan diatas, maka disarankan :
1.   Diharapkan kepada para pemegang kekuasaan dalam hal ini kalangan eksekutif dan legislatif untuk lebih membuka ruang dan kesempatan dalam menerima saran dan masukan dari berbagai pihak dalam rangka proses pembuatan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan sehingga kepentingan masyarakat dapat terakomodir dengan baik dalam suatu produk hukum dan lebih responsif terhadap rakyat.
2.   Diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat yang ada untuk selalu bersikap kritis terhadap pemerintah dalam menjalankan pemerintahan sehingga penyelenggaraan kekuasaan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

 
DAFTAR  PUSTAKA

Buku-Buku  
                                                            
      Achmad Ali, 2000, Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta
                            , 2002, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.
      Anthony Giddens dan David Held, 2000, Pendekatan Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok Kekuasaan dan Konflik, Rajawali Pers, Jakarta.
      Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT. Suryandru Utama, Semarang.
      Miriam Budiarjo, 1991, Aneka Pemikiran tentang Kekuasaan dan Wibawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
      Muh. Jufri Dewa, 2002, Bahan Kuliah Esensial Ilmu Negara (Staatsleer), UMK, Kendari.
      Muh Syaiful, 2010, Wajah Politik Hukum di Indonesia, Kendari.
      Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
                            , Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
      Otje Salman, 1993, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung.
      Purnadi Purbacaraka, dkk, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
      Sacipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
      Soedjono Dirdjosisworo, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
      Soerjono Soekanto, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta.
                             ,1982, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI-Pres, Jakarta.


[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta, 2000
[2] Ibid
[3] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT. Suryandru Utama, Semarang, 2005
[7] Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT. Suryandru Utama, Semarang, 2005
[8] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
[9] Ibid
[10] J, Kalof, Kepemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika, Jakarat, 2009. hlm 106
[11] J, Kalof, Ibid hlm 107
[12] Soerjono Soekanto, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm 20
[13] Definisi kata Kuasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, hlm 528
[14] Miriam Budiarjo, Aneka Pemikiran tentang Kekuasaan dan Wibawa, 1991, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,  hlm 31
[15] Anthony Giddens dan David Held, 2000, Pendekatan Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok Kekuasaan dan Konflik, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 21
[16] Anthony Giddens, hlm 22
[17] Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia,, Jakarta, UI-Pres, 1982 hal 158
[18] Soerjono Soekanto, ibid hal 86
[19] Ibid hal 86
[20] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm 56.
[21] Soerjono Soekanto, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm 20
[22] Sacipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 146
[23] Muh. Jufri Dewa, Bahan Kuliah Esensial Ilmu Negara (Staatsleer), UMK, Kendari, 2002, hlm 4-5
[24] Ibid, hlm 6
[25] Purnadi Purbacaraka dkk, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 8
[26] Sacipto Raharjo, op cit, hlm 33
[27] Purnadi Purbacaraka dkk, op cit, hlm 20
[28] Ahmad Ali, op cit, hlm 101
[29] Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1993, hlm 16
[30] Ahmad Ali, op cit, hlm 102
[31] Muh Syaiful, Wajah Politik Hukum di Indonesia, Kendari, 2010, hlm 39
[32] Ibid
[33] Muh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, hlm 70
[34] Afan Gafar, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, 1992, UII-Pres, Yogyakarta, hlm 104
[35] Ibid, hlm 108
[36] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm 10.
[37] Muh Syaiful, op cit, hlm 42-43

2 komentar:

  1. sangat bermanfaat,, ayo kunjungi juga https://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/fungsi-hukum/#comment-278

    BalasHapus
  2. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus