KEDUDUKAN HUKUM SEBAGAI PENGINTEGRASI
KEKUASAAN NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia sebagai
makhluk sosial yang tentunya selalu di dorong untuk melakukan hubungan-hubungan
sosial di antara sesamanya. Cara-cara untuk melakukan hubungan tersebut tampak
dalam berbagai bentuk yang dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti
halnya lalu- lintas kendaraan di jalan raya, sekalipun berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya, namun hampir-hampir
tidak terlihat kendaraan yang bertabrakan satu sama lain, sekalipun hal
tersebut mungkin saja terjadi nampak hanya sebagian kecil saja. Dari sini tampak
adanya keteraturan atau ketertiban dalam hubungan tersebut Demikian pula dengan
hubungan perdagangan bahwa barang-barang dan jasa-jasa tersebut tersalur secara
tertib dan teratur kepada mereka yang membutuhkannya. Hal-hal ini merupakan
bukti adanya suatu hubungan yang tertib antara produsen dan konsumen.
Dari beberapa contoh
di atas, dapat di lihat adanya sesuatu hal yang menjadi sebab adanya
keteraturan dan ketertiban. Keteraturan dan ketertiban itu ditimbulkan oleh adanya
kaedah-kaedah atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya diantaranya adalah kaedah-kaedah/norma-norma
hukum, sehingga hubungan-hubungan sosial tersebut dapat berlangsung secara
tertib dan teratur. Jadi ketertiban dan keteraturan merupakan syarat bagi
berlangsungnya hubungan antara sesama anggota masyarakat dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks suatu
negara, hukum merupakan salah satu produk kekuasaan yang dihasilkan melalui
suatu proses kesepakatan politik di parlemen. Hukum yang dihasilkan tersebut
kemudian akan dengan sendirinya berlaku ditengah-tengah kehidupan masyarakat
setelah mendapat pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Namun
yang menjadi suatu permasalahan yang serius dewasa ini adalah ketika lahirnya
suatu undang-undang yang hanya merupakan kesepakatan politik oleh para elit dan
penguasa untuk mencapai keinginannya. Hukum digunakan sebagai alat pengitegrasi
kepentingan-kepentingan politik oleh kelompok penguasa. Peraturan
perundang-undangan tersebut sarat dengan muatan-muatan politik yang cenderung
lebih memihak kepada penguasa dan kelompok-kelompok tertentu sehingga dalam
pelaksanaannya sering mendapat respon yang negatif dari masyarakat.
Dengan demikian hukum yang
merupakan panglima dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang mempunyai peranan
untuk menciptakan suatu keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan dimasyarakat
kemudian menjadi suatu hal yang kontradiksi dengan kenyataan yang terjadi dan
di alami oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini disebabkan adanya pergeseran nilai-nilai
hukum yang terkandung dalam substansi suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dirasakan tidak lagi berpihak kepada rakyat dalam menciptakan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, dan hanya cenderung mementingkan
keinginan-keinginan kelompok penguasa itu sendiri.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
adalah bagaimanakah kedudukan hukum sebagai alat pengintegrasi kekuasaan negara
?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum sebagai
pengintegrasi kekuasaan negara.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum
serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi
hukum khususnya tentang kedudukan hukum sebagai pengintegrasi kekuasaan negara.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Konsep Hukum
Hukum pada
hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak meskipun dalam manifestasinya bisa
berwujud konkret. Oleh karena itu pertanyaan tentang apakah hukum itu,
senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata
lain, persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam tergantung dari sudut
mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut
pandang profesi mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan akan memandang hukum itu
dari sudut pandang profesi keilmuan mereka, masyarakat akan memandang hukum
dari sudut pandang mereka juga masing-masing sesuai dengan profesi dan
pekerjaan yang digelutinya dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan sejarah kehidupan manusia menyebabkan
senantiasa terjadi pula perubahan tentang apa yang dimaksud sebagai hukum dari
masa ke masa. Sebelum manusia mengenal undang-undang, hukum identik dengan
kebiasaan dan tradisi yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka. Ketika
undang-undang sedemikian diagungkan muncul pandangan yang mengidentikan hukum
dengan undang-undang. Pada masyarakat yang religius, hukum diidentikan dengan
hukum tuhan atau hukum agama. Ketika masyarakat tiba pada tahap perkembangan
dimana pranata peradilan sangat difungsikan, maka orang mengidentikan hukum
dengan segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan.
Uraian tersebut di atas merupakan salah satu alasan
kesulitan untuk membuat suatu definisi hukum yang dapat di terima oleh semua
kalangan. Oleh karena itu masih relevan kalimat yang dilontarkan oleh Emmanuel
Kant yaitu Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von
recht (tidak ada seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi hukum
yang sempurna[1].
Penyebab lain kesulitan-kesulitan untuk mendefinisikan hukum selain sifatnya
yang abstrak, juga karena cakupan yang di atur oleh hukum sangat luas. Secara
normatif dan dogmatif dapat dikatakan bahwa hukum mengatur hampir seluruh segi
kehidupan manusia, mulai dari sebelum manusia lahir sampai sesudah manusia
meninggal sekalipun.
Namun demikian dalam penulisan makalah ini, penulis
akan memberikan beberapa definisi hukum dari beberapa pakar hukum yang
terkemuka, untuk menjadi gambaran sekaligus sebagai bahan perenungan tentang
apa yang dimaksud dengan hukum, sebagai berikut : [2]
1. Menurut Bellfroid bahwa hukum yang berlaku di
masyarakat mengatur tata tertib masyarakat, dan di dasarkan atas kekuasaan yang
ada dalam masyarakat itu ;
2. Leon Duguit, bahwa hukum adalah tingkah laku
warga masyarakat yang merupakan aturan dimana daya penggunaannya pada saat
tertentu diindahkan oleh warga masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran ;
3. Paul Bohannan, bahwa hukum adalah himpunan
kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan dalam pranata hukum ;
4. Pospisi., bahwa hukum adalah aturan-aturan
dan mode-mode tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi
yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu
otoritas pengendalian ;
5. Van Kant, bahwa bahwa hukum adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi masyarakat ;
6. Paul Scholten, bahwa hukum adalah suatu
petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan,
jadi hukum itu bersifat suatu perintah.
Selanjutnya Soerjono Dirdjosisworo memberikan
definisi bahwa hukum itu adalah kumpulan dari
berbagai aturan-aturan hidup (tertulis atau tidak tertulis) yang menentukan
apakah yang patut atau tidak patut dilakukan oleh seseorang dalam pergaulan
hidupnya, suatu hal yang khusus yang terdapat pada peraturan-peraturan hidup
itu, yakni bahwa untuk penataanya ketentuan itu dapat dipaksakan berlakunya.[3]
Selanjutnya dalam hukum terdapat
subjek hukum atau subject Van Een Recht yaitu orang yang mempunyai hak,
manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan
perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan
dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan,
mengadakan perjanjian dan sebagainya sedangkan perbuaan yang dapat menimbulkan
akibat hukum yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan
antara laki-laki dan wanita yang oleh karenanya memberikan dan membebankan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak.[4]
Khususnya dalam penentuan hak
dan kewajiban dan perlindungan kepentingan sosial dari para individu. Peranan
di sini mencerminkan lagi secara lebih nyata bekerjanya hukum di tengah-tengah
kehidupan bermasyarakat. Hukum berperan sedemikian rupa sehingga segala sesuatu
yang berkaitan dengan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung dengan tertib dan teratur, karena
hukum secara tegas akan menentukan hak-hak dan kewajiban antara mereka yang
mengadakan hubungan serta bagaimana tugas dan kewajiban serta wewenang
dihubungan kesatuan (pemerintah) dengan kepentingan para individu, sedemikian
rupa sehingga tidak terjadi ketegangan dalam berbagai ketidakteraturan.[5]
Ada banyak cara berpikir yang
dapat dipakai untuk menjelaskan dan memahami hukum. Cara berpikir yang pertama
yang kemudian disebut sebagai aliran analistis yang memandang bahwa hukum
sebagai penetapan kaitan-kaitan logis antara kaidah-kaidah dan antara
bagian-bagian yang ada dalam tertib hukum. Setiap istilah hukum yang di pakai
selalu di definisikan secara tegas. Pandangan yang demikian itu cenderung
meletakkan setiap persoalan hukum sebagai persoalan-persoalan legalitas-formal,
terutama mengenai penafsiran serta penerapan pasal-pasal undang-undang. [6]
Aliran pemikiran ini
berpendirian bahwa sejak suatu aturan hukum ditetapkan, maka ia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum positif dan dengan demikian
aturan hukum itu tetap berputar sebagai bagian dari sistem tersebut secara
logis, rasional, konsisten, dan sistematis. Itu artinya ilmu hukum sebagai ilmu
pengetahuan tentang hukum positif selalu menempatkan hukum di dalam batas-batas
perundang-undangan dan sebagai lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat.
Tidak dapat di sangkal lagi,
bahwa perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta
pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang, mengkehendaki
pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir
setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum
menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang
peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat
modern.
Namun
harus di sadari sungguh-sungguh bahwa masalah pengaturan oleh hukum itu bukan
saja di lihat dari segi legitimasinya dan bukan juga semata-mata dilihat
sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan. Itulah sebabnya muncul suatu cara
berpikir lain (aliran pemikiran non-analitis) yang tidak lagi melihat hukum
sebagai lembaga otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga
yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat.
Mengenai hal ini, Sinzheimer
mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan
dengan hal-hal yang abstrak melainkan ia selalu berada dalam suatu tatanan
sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana
mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur
sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian masalah efisiensi suatu
peraturan hukum menjadi sangat penting, oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan
lain dalam berpikirnya yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta
kekuatan-kekuatan sosial diluarnya. Hal ini jelas dikataan pula oleh Robert B.
Seidman, bahwa setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah, baik
melalui perubahan normal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi
ketika bertindak dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.
Campur tangan hukum yang semakin
meluas ke dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan perkaitannya
dengan masalah-masalah sosial juga semakin intensif. Hal ini menjadikan
hubungan antara tertib hukum dan tertib sosial yang lebih luas kian menjadi
permasalahan pokok di dalam ilmu hukum. Dalam kerangka pemahaman yang demikian
itu, maka kompleksitas hubungan yang berlangsung antara tertib hukum dan tertib
sosial tersebut harus mendapat perhatian yang serius agar dapat memahami secara
baik seluk-beluk masalah yang diaturnya. Disini berarti pengaturan oleh hukum
itu tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Misalnya tata aturan mengenai
jual beli, perkawinan dan sebagainya itu bersumber pada tingkah laku manusia.[7]
Bekerjanya hukum itu memang
tidak dapat di lepaskan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat di
sekelilingnya. Hukum itu tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya
sendiri, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk
dilakukannya bagi masyarakat. Untuk menjalankan pekerjaan seperti itu, hukum
membutuhkan suatu kekuatan pendorong. Ia membutuhkan kekuasaan, kekuasaan ini
memberikan kekuatan kepadanya untuk menjalankan fungsi hukum, seperti misalnya
sebagai kekuatan pengintegrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam
masyarakat. Kita bisa menyatakan, bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal
sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka.[8]
Menurut J Van Kan & J.H.
Beekhuis bahwa hukum diciptakan oleh negara atau setidak-tidaknya oleh
alat-alat yang di dalam negara diberikan kekuasaan membentuk hukum. Negara
sebagai suatu persekutuan yang di organisasikan oleh hukum, adalah ciptaan
hukum sendiri. Jadi pembentukan negara adalah sejalan dengan pengaturan dari
organisasi kekuatan negara, yang menunjuk pejabat-pejabat dari kekuasaan ini
dan menentukan batas-batas penyelengggaraan itu.[9]
B. Konsep Kekuasaan
Istilah kekuasaan (power)
berasal dari kata Yunani yang berarti
sanggup untuk membuat sesuatu, sanggup untuk mempengaruhi orang, sanggup
membuat perubahan dan tanpa kekuasaan sesuatu tidak akan terjadi. Kekuasaan dapat
juga di artikan suatu kapasitas yang dapat mendorong manusia atau mempengaruhi
pihak lain untuk mengubah tingkah laku atau untuk mengerjakan apa yang
dikehendaki.[10]
Bertolak dari definisi tersebut
di atas, dapat di simpulkan bahwa konsep kekuasaan sebenarnya menunjukan
kelebihan atau kemampuan pribadi seseorang yang tercermin dalam berbagai aspek
khususnya di dalam interaksi sosial, sehingga seseorang yang memiliki kekuasaan
dapat merealisir keinginannya melalui orang lain. Kekuasaan dapat berwujud
dalam bentuk otoritas pengaruh dan paksaan. Istilah kekuasaan seringkali
digunakan silih berganti dengan istilah wewenang (autority). Namun tidak
berarti kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, karena wewenang
/ otoritas hanya bagian dari kekuasaan yaitu tercakup dalam salah satu variabel
kekuasaan yang disebut kekuasaan murni. Otoritas merupakan suatu kekuasaan yang
sah untuk melakukan tindakan atau membuat peraturan untuk memerintah orang
lain. Dengan kata lain bahwa wewenang / otoritas di peroleh karena adanya power
/ kekuasaan yang dimiliki seseorang yang menimbulkan pengaruh bagi orang lain.[11]
Weber mendefinisikan kekuasaan
adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu
hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan
landasan yang menjadi kemungkinan itu. Selanjutnya dalam Dictionary of
Sociology, kekuasaan di artikan sebagai kemampuan atau wewenang untuk
menguasai orang lain, memaksa atau mengendalikan mereka sampai mereka patuh,
mencampuri kebebasannya, dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara tertentu.[12]
Mengutip
pendapat Foucault, Haryatmoko menegaskan bahwa kekuasaan terlaksana bukan
pertama-tama melalui kekerasan atau hasil persetujuan, tetapi seluruh struktur
tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan,
persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan pertama-tama
bukan represi atau pertarungan kekuatan dan bukan juga fungsi dominasi suatu
kelas yang di dasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi.
Kekuasaan ada di mana-mana dan bukannya kekuasaan mencakup semua, tetapi
kekuasaan datang dari mana-mana. Pada dasarnya terminologi kekuasaan selalu terkait
dengan hakikat, wewenang dan dasar legitimasi. Hakikat kekuasaan bersentuhan
dengan hal sebenar-benarnya. Dari segi hakikat kekuasaan adalah kekuatan,
kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu dan mengandung makna wewenang
atas sesuatu pula.[13]
Menurut Barrington Mooore memberikan
definisi kekuasaan juga di artikan sebagai dominasi dari pengawasan yang
berorientasi kepada metode atau cara bagaimana golongan-golongan individu-individu
tertentu berhasil melakukan dominasi terhadap sesamanya. Adapun Talcots Parson
dan Robert Lync cenderung merumuskan kekuasaan sebagai kekuatan untuk mengawasi
atau melakukan pengawasan. Parsons menganggap kekuasaan sebagai pemilihan fasilitas-fasilitas
untuk menguasai, sedangkan Robert Lync menganggap kekuasaan sebagai sumber
sosial yang utama untuk mengadakan pengawasan.[14]
Dalam pandangan Engels kekuasaan
itu berasal dari masyarakat dan berkuasa di atas masyarakat. Dari rumusan ini,
kekuasaan dapat ditarik pada pengertian yang lebih umum yaitu sebagai suatu
kesempatan bagi seseorang atau kelompok untuk mewujudkan kehendaknya dalam
bentuk suatu aksi sosial bagi mereka yang menentang maupun tidak. Mengenai
darimana datangnya kekuasaan, Parson menyebut kekuasaan sebagai suatu sumber
sistem yang di lihat dari sudut konsensus dan legitimasi, merupakan suatu
kemampuan untuk menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat (terhadap
tujuan-tujuan kolektif yang disepakati) dari satuan-satuan yang ada di dalam
suatu sistem organisasi yang kolektif dan jika ada perlawanan, maka ada lembaga
yang berkuasa penuh menegakannya dengan sanksi-sanksi situasional yang bersifat
negatif.
Lebih lanjut Hannah Arendt
memperlihatkan bahwa kekuasaan (power) harus dibedakan dengan tajam dari
paksaan dan penindasan (force). Menurutnya, kekuasaan adalah suatu pola
hubungan antar manusia yang tinggi derajatnya dan hidup dari pengakuan bebas
mereka yang berada dalam hubungan kekuasaan itu. Di sisi lain, J. Geltung menyebut 3
sumber kekuasaan, yaitu: (1) kekuasaan yang diperoleh karena pembawaan sejak
lahir yang berhubungan dengan dimensi ada (being power) ; (2) kekuasaan
yang diperoleh karena memiliki sumber-sumber kemakmuran (having power);
dan (3) kekuasaan yang diperoleh karena kedudukan seseorang dalam suatu
struktur (structure power).[15]
Masih soal sumber kekuasaan,
Weber menyebut adanya 3 sumber legitimasi kekuasaan yaitu karismatis,
tradisional, dan rasional. Legitimasi karismatis bertumpu pada kesetiaan terhadap
keistimewaan yang menonjol dari seseorang dan kepada tatanan yang dikeluarkan oleh
orang yang menjadi sanjungan kesetiaan tersebut. Legitimasi tradisional di dasarkan
atas kepercayaan yang telah mapan dan melembaga mengenai tradisi turun temurun,
termasuk kepercayaan pada legitimasi mereka yang menjalankan kekuasaan atas
dasar tradisi tersebut. Terakhir, legitimasi rasional didasarkan kepada
kepercayaan kepada pola-pola dari kaidah-kaidah normatif dan terhadap hak dari
mereka yang memiliki otoritas, yang muncul dari kaidah-kaidah tersebut, untuk
mengeluarkan perintah-perintah. [16]
Dengan
demikian, kekuasaan mempunyai peranan yang sangat
penting karena dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Baik buruknya
kekuasaan senantiasa harus di ukur dengan kegunaannya untuk suatu tujuan yang telah
ditentukan atau di dasari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada
di dalam setiap masyarakat baik yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks
susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi
rata kepada semua warga masyarakat oleh karena justru pembagian yang tidak
merata tidak timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.[17]
Jika kekuasaan tergantung dari
hubungan antara yang berkuasa dengan yang di kuasai atau dengan perkataan lain,
antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain
yang menerima pengaruh itu dengan rela atau terpaksa. Apabila kekuasaan itu di jelmakan
dalam diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka
yang mengikutinya dinamakan pengikut-pengikutnya. Beda antara kekuasaan dan wewenang
(authority) adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain
dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada
seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau pengakuan dari
masyarakat. Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan
kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali letak wewenang yang diakui dan letak
kekuasaan yang nyata tidak berada di dalam satu tangan atau satu tempat.
Apabila kekuasaan dihubungkan
dengan sistem hukum, maka paling sedikit ada dua hal yang menonjol yaitu
pertama bahwa para pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum adalah para warga
masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang mengandung unsur-unsur
kekuasaan. Akan tetapi mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaan dengan
sewenang-wenang, oleh karena pembatasan tertentu atas peran-perannya yang
ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan
praktis dari pengguna kekuasaan itu sendiri. Efektivitas hukum ditentukan oleh
keabsahan hukum tadi, artinya apakah hukum tadi dibentuk dan dilaksanakan oleh
orang-orang atau badan yang benar-benar mempunyai wewenang yakni kekuasaan yang
diakui. Dalam arti inilah hukum mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan.
Akan tetapi sistem hukum merupakan juga suatu alat bagi penguasa untuk
mengadakan tata tertib dalam masyarakat atau untuk mempertahankan atau menambah
kekuasaannya.[18]
Hal yang kedua adalah bahwa sistem hukum antara lain menciptakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini ada
hak-hak masyarakat yang tidak dapat dijalankan oleh karena yang bersangkutan
tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya dan sebaliknya, ada hak-hak
yang secara otomatis di dukung oleh kekuasaan. Lagipula jika masyarakat
mengakui adanya hak-hak tertentu maka hal itu pada umumnya berarti adanya
kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak tersebut melalui lembaga-lembaga hukum
tertentu oleh karena hukum tanpa kekuasaan merupakan hukum yang mati.[19]
Selanjutnya, menurut John
Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is a
command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti
perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar
sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme
hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau
kekuasaan.[20]
Menurut S. Mertokusumo, hukum
ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah menciptakan hukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya
bukan hukum. Sebaliknya hukum itu sendiri pada hakekatnya kekuasaan. Hukum mengatur,
mengusahakan ketertiban, dan membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum
menjalankan fungsi itu jika tidak merupakan kekuasaan. Intinya, hukum merupakan
kekuasaan untuk mengusahakan ketertiban, tidak boleh diartikan bahwa karena hukum
itu merupakan kekuasaan lantas dihalalkan munculnya hukum kekuasaan, yaitu hukum
bagi mereka yang berkuasa.[21]
Sejalan
dengan itu, Sacipto Rahardjo memberikan pendapat yang hampir senada yakni kekuasaan
dibutuhkan oleh hukum agar ia mampu menjalankan fungsinya, seperti misalnya
sebagai kekuatan pengintegrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam
masyarakat. Meskipun hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak boleh
membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum. Secara bernas hendak
dikatakan bahwa dalam tali-temali yang rumit antara hukum dan kekuasaan ini,
maka hukum merupakan sarana mengontrol kekuasaan pada orang-orang, menyalurkan
kekuasaan, sekaligus sumber kekuasaan. [22]
C. Konsep Negara
Untuk
memahami suatu negara, perlu diketahui sifat hakekat negara. Sifat hakekat
negara secara akademik dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek sosiologis dan
aspek hukum (yuridis).
1). Aspek
Sosiologis
Dari aspek sosiologis,
maksud suatu negara adalah memahaminya sebagai anggota masyarakat atau zoon
politicon. Negara sebagai wadah bangsa menggambarkan cita-cita kehidupan
bangsanya. Pandangan sifat hakekat negara berkaitan dengan pandangan hidup yang
di anutnya.
Untuk itu perlu di kemukakan
beberapa pandangan filsuf terkemuka tentang negara dari aspek sosiologis,
sebagai berikut : [23]
a). Scorates,
menganggap polis identik dengan masyarakat dan masyarakat identik dengan
negara. Negara adalah suatu organisasi yang mengatur hubungan antara
orang-orang yang ada didalam polis (masyarakat atau negara) dan tidak hanya
mempersoalkan organisasinya saja, tetapi juga tentang kepribadian orang-orang
disekitarnya.
b). Plato
(murid Scorates), negara adalah keingingan kerjasama antara manusia untuk
memenuhi kepentingan mereka. Kesatuan mereka inilah kemudian disebut masyarakat
dan masyarakat itu adalah negara. Antara sifat-sifat manusia ada persamaannya
dengan sifat-sifat negara yaitu pikiran, keberanian dan aneka kebutuhan
sedangkan sifat-sifat negara yaitu golongan penguasa, golongan tentara dan
golongan pekerja.
c). Aristoteles,
(murid Plato), negara adalah gabunga keluarga sehingga menjadi kelompok yang
besar. Kebahagian dalam negara akan tercapai bila tercipta kebahagiaan
individu. Sebaliknya bila manusia ingin bahagia ia harus bernegara, karena
manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya dalam kepentingan hidupnya.
Manusia tidak dapat lepas dari kesatuannya dan kesatuan manusia itu adalah
negara.
d). Oppenheimer, negara merupakan suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat kepada golongan yang lemah. Maksudnya untuk menyusun dan membela kekuasaan dari penguasa.
e). Leon
Duguit, negara adalah kekuasaan orang-orang kuat memerintah orang-orang yang
lemah. Dalam negara moderen, kekuasaan orang-orang kuat diperoleh dari
faktor-faktor politik.
f). R.
Kraneburg, negara pada hakekatnya adalah suat organisasi kekuasaan, diciptakan
oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa, dimana tejadinya suatu negara
adanya kesadaran sekelompok manusia untuk mendirikan organisasi dengan tujuan
untuk memelihara kepentingan kelompok tersebut, manusia sebagai unsur primer
dan negara merupakan unsur sekunder.
g). Logeman,
negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok
manusia yang disebut bangsa. Berbeda dengan pendapat Kraneburg negara merupakan
unsur primer sedangkan manusia adalah unsur sekunder.
2). Aspek
Yuridis
Pada hakekatnya,
mengkaji negara secara keseluruhan, yaitu melihat peraturan-peraturan yang
membentuk negara itu. Ada tiga pandangan yang menguraikan tentang negara dari
aspek yuridis, sebagai berikut : [24]
a). Negara sebagai Recht object yaitu negara sebagai obyek
daripada orang-orang untuk dapat bertindak, dengan kata lain negara itu adalah
alat manusia untuk mencapai tujuannya.
b). Negara sebagai Recht subjet yaitu negara sebagai
pembentuk hukum. Menurut Logemann disebut ambten organisatie atau
organisasi dari jabatan-jabatan.
c). Negara sebagai Rechtsverhatnis (penghalusan hukum),
yaitu negara merupakan hasil perjanjian dengan orang-orang tertentu. Hans
Kelsen memberikan definisi bahwa negara merupakan suatu tertib hukum yang
memaksa atau dapat dikatakan bahwa negara identik dengan hukum.
Dengan demikian, berdasarkan
pandangan-pandangan para ahli yang telah dikemukakan di atas tentang negara
atau terbentuknya negara, terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya. Mereka
berargumentasi menurut sisi pandang dan pola pikirnya masing-masing. Namun
perlu di pahami bahwa pengertian negara bukanlah satu-satunya cara untuk
membahas konsep negara.
Sebagai pegangan yang digunakan
oleh penulis dalam penulisan makalah ini, bahwa negara adalah suatu organisasi
dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu
wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus
kepentingan manusia tersebut yang memliki unsur-unsur kelompok manusia
(rakyat), wilayah dan pemerintahan.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebelum lebih jauh membahas
tentang kedudukan hukum sebagai pengintegrasi kekuasaan negara, pada kesempatan
awal penulis mencoba untuk memberikan pembahasan mengenai salah satu fungsi
hukum sebagai alat pengintegrasi sosial, yang menurut hemat penulis dapat
dijadikan sebagai suatu pengantar dan bahan persandingan sehingga penulisan dan
pembahasan makalah ini dapat dikaji lebih mendalam.
Dalam kajian sosiologi
hukum, dikenal salah satu fungsi hukum yaitu sebagai sarana pengintegrasi
sosial adalah untuk mengurangi konflik yang terjadi dan memperlancar proses
interaksi pergaulan sosial. Artinya hukum menjadi sarana untuk menciptakan
keserasian berbagai kepentingan masyarakat sehingga proses pergaulan hidup
berlangsung dengan tertip dan lancar. Sehubungan dengan itu, hukum bertugas
sebagai mekanisme untuk melakukan
integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat dan
berlaku baik jika tidak ada konflik maupun setelah ada konflik. Namun demikian
harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-konflik kemasyarakatan, bukan
hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana
lain seperti kaidah agama, moral, dan sebagainya.
Pada dasarnya manusia
dalam hidup bermasyarakat menyadari dirinya bahwa ia di atur oleh berbagai
aturan. Aturan-aturan itu berupa nilai-nilai dan kaedah-kaedah sosial.
Pengaturan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Purnadi
Purbacaraka mengemukakan bahwa kaedah-kaedah itu sebagai pedoman untuk hidup yang
mempunyai dua aspek secara umum, yaitu aspek hidup pribadi dan aspek hidup
antar pribadi. Pertama aspek hidup pribadi mencakup kaedah-kaedah kepercayaan/ keagamaan
untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman, kaedah-kaedah
kesusilaan (moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup
pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak. Kedua aspek hidup antar pribadi meliputi kaedah-kaedah
sopan santun yang maksudnya untuk kesedapan hidup bersama, kaedah-kaedah hukum
yang tertuju kepada kedamaian hidup bersama.[25]
Menurut Satjipto
Rahardjo menjelaskan bahwa kaedah hukum memuat suatu penilaian mengenai
perbuatan tertentu. Hal ini jelas tampak dalam bentuk perintah dan larangan.
Kaedah hukum ini diwujudkan dalam bentuk petunjuk bertingkah laku. Oleh karena
itu kaedah hukum disebut petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan yang disertai dengan sanksi. Kaedah hukum tersebut
bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui keberlakuannya
oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat itu. Jika kaedah tersebut dilanggar
akan memberikan kewenangan pada otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi.
Agar dengan sanksi itu masyarakat diharapkan supaya selalu berada dalam koridor
yang baik, serta menghindarkan diri dari perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan
kedamaian dalam masyarakat.[26]
Kedamaian di sini
adalah suatu keadaan yang mencakup dua hal, yaitu ketertiban/keamanan dan
ketentraman/ketenangan. Ketertiban/keamanan menunjukkan pada hubungan atau
komunikasi lahiriah, jadi melihat pada proses interaksi para pribadi dalam
kelompok masyarakat. Sedang ketentraman/ketenangan menunjuk pada keadaan
bathiniah, jadi melihat pada kehidupan bathiniah (internal life) masing-masing
pribadi dalam kelompok masyarakat.[27]
Ketertiban dan
ketentraman bisa tercapai apabila ada kaedah-kaedah sosial. Salah satu kaedah
sosial dalam mekanisme pengintegrasian adalah kaedah hukum Apabila seseorang
sadar bahwa hampir semua hubungan kemasyarakatan di atur oleh kaedah-kaedah
hukum dan pola-pola tertentu dalam arti tunduk pada kaedah-kaedah dan pola-pola
tersebut. Sebagai contoh seseorang memiliki kesempatan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajibannya serta menuntut hak-haknya. Dengan demikian dia akan
lebih yakin bahwa ada kaedah-kaedah hukum dan pola-pola yang mengatur interaksi
sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Selain itu, hukum juga
berfungsi sebagai pengintegrasi masyarakat ketika terjadi konflik. Achmad Ali
menjelaskan bahwa penerapan hukum itu dalam hal tidak ada konflik dan dalam hal
terjadi konflik. Pertama, penerapan hukum pada saat tidak ada konflik.
Contohnya jika seorang pembeli barang
membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran sesuai dengan
kesepakatan bersama. Kedua, penerapan hukum pada saat terjadi konflik.
Contohnya si pembeli sudah membayar lunas harga barang, tetapi penjual tidak
mau menyerahkan barangnya yang telah dijual maka hukum diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi.[28]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi
terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat yang berlaku baik ada konflik
maupun tidak ada konflik. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam penyelesaian
konflik-konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi,
melainkan masih terdapat sarana pengintegrasi lain seperti kaedah agama, kaedah
moral, dan sebagainya.
Namun demikian, Thomas
Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia
satu dengan manusia lain atau antara masyarakat satu dengan masyarakat yang
lain. Oleh sebab itu, diperlukan suatu fungsi yang sifatnya lebih memaksa dan
tidak sekedar mempertahankan asas-asas terakhir yang mengatur kehidupan
masyarakat. Kaedah-kaedah ini mengkoordinasikan unit-unit dalam lalu lintas
kehidupan sosial dengan cara memberikan pedoman orientasi tentang bagaimana
seharusnya manusia itu bertindak. Sehingga jika terjadi konflik di dalam
masyarakat, maka hukum harus berperan. Olehnya itu, menurut Hobbes hukum itu
ditentukan untuk mengatur konflik-konflik yang timbul sebagai akibat adanya
interaksi sosial. Inilah yang disebut oleh Hobbes fungsi hukum sebagai
mekanisme pengintegrasi.[29]
Seirama dengan
pendapat Harry C.Bredemeier yang cenderung melihat fungsi hukum hanya sebagai
penjaga yang bertugas untuk menyelesaikan konflik-konflik. Hukum barulah
beroperasi setelah adanya suatu konflik, misalnya ada sesorang yang menggugat
bahwa kepentingannya terganggu oleh orang lain. Dalam hal ini, menjadi tugas
pengadilanlah untuk menjatuhkan suatu putusan, untuk mnyelesaikan konflik itu.[30]
Hukum sebagai Pengintegrasi Kekuasaan Negara
Selanjutnya, jika kita
lebih mengkhususkan pembahasan mengenai fungsi hukum selain sebagai alat
pengintegrasi sosial dan membahas mengenai kedudukan hukum sebagai
pengintegrasi kekuasaan negara, di kenal adanya teori Sibernetica yang
dikemukakan oleh Talcott Persons, berpendapat bahwa masyarakat dapat di ibaratkan
sebagai tubuh manusia yang merupakan suatu sistem yang di dalamnya dilengkapi
dengan organ (sub-sistem) yang secara hirarkis saling mempengaruhi satu sama
lain. Tingkatan hirarkis sub-sistem tersebut meliputi sub-sistem ekonomi yang
berfungsi adaptasi, sub-sistem politik yang berfungsi pencapaian tujuan,
sub-sistem hukum (sosial) yang berfungsi integrasi, dan sub-sistem budaya yang
berfungsi mempertahankan pola.[31]
Kemudian teori Sibernetica
Talcott Persons tersebut dikembangkan oleh pakar hukum Harrry C. Bredemeier yang memiliki
teori tentang fungsi hukum yang memandang a law as an
integrative mechanism. Ia membangun analisisnya tentang fungsi hukum
sebagai mekanisme pengintegrasi atau integrator dalam kerangka, yaitu adanya empat
fungsional utama yang di observasi di dalam suatu sistem sosial, terdiri dari
adaptasi di maksudkan sebagai proses ekonomi, pencapaian tujuan (goal
pursuance) sebagai proses politik, mempertahankan pola (pattern
maintenance) secara sederhana sebagai proses sosialisasi, dan integrasi
adalah proses hukum.[32]
Lebih lanjut menurut Bredemeier
mengungkapkan suatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya
dengan sub-sistem fungsional lain dari masyarakat. Ia kemudian membahas
beberapa garis penting dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan analisis
itu dan kedudukan sosiologi dalam hukum. Intisari dari konsep Bredemeier ini
melihat sistem hukum sebagai suatu mekanisme integrative yang
menyumbangkan koordinasi pada masyarakat berupa keluaran-keluaran pada
sektor-sektor lain dalam masyarakat dengan memperoleh masukan-masukan, yakni sebagai
berikut :
Pertama adalah sistem
hukum (badan peradilan maksudnya) merupakan suatu mekanisme yang berfungsi
untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi dalam masyarakat dan
mendapat masukkan (input) dari : (1) Sistem politik, yaitu berupa
penetapan tujuan dan dasar kekuasaan penegakkan hukum sebagai imbalan dari
penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh sistem hukum, (2) Sistem adaptif
berupa pengetahuan dan permasalahan-permasalahan sebagai patokan penelitian
sebagai imbalan terhadap organisasi serta kebutuhan akan pengetahuan, (3) Sistem pattern maintenance berupa
konflik dan penghargaan sebagai imbalan dari pemecahan konflik dan keadilan
yang diberikan oleh sistem hukum.
Kedua adalah di dalam
fungsinya untuk menciptakan integrasi maka efektifitasnya tergantung dari
berhasilnya sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas tertentu dalam
proses hubungan antara sistem hukum dengan sektor-sektor lainnya. Beberapa
faktor yang dapat mengganggu stabilitas tersebut antara lain : (1) kemungkinan
timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan dalam hukum yang tidak konsisten dengan
kebijaksanaan dengan sistem politik, (2) tanggapan dari kekuasaan legislatif
terhadap fluktuasi jangka pendek kepentingan-kepentingan pribadi, (3) tidak
adanya komunikasi perihal pengetahuan yang akurat dengan pengadilan, (4) tidak
adanya fasilitas untuk melembagakan fungsi peradilan dalam diri warga
masyarakat, (5) adanya perkembangan nilai-nilai dalam sistem pattern-maintenance
yang berlawanan dengan konsepsi keadilan, (6) tidak adanya atau kurangnya
saluran-saluran melalui mana kebutuhan peradilan dapat dipenuhi.
Ketiga adalah, hal-hal
tersebut di atas dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mengadakan penelitian
sosiologi hukum, terutama terhadap masalah-masalah sebagai berikut : (1) latar
belakang orang-orang yang berfungsi sebagai pembentuk hukum pada kekuasaan
legislatif, (2) mekanisme yang diperlukan untuk menjabarkan ideal-ideal hukum
dalam profesi hukum, (3) saluran komunikasi tentang ilmu pengetahuan kepada
kalangan hukum, (4) persepsi-persepsi dari masyarakat terhadap hukum, dan
dasar-dasar dari persepsi tersebut, (5) reaksi-reaksi warga masyarakat terhadap
hukum yang di perlakukan kepadanya, (6) sarana-sarana lainnya untuk
menyelesaikan konflik.di samping hukum.
Keberadaan hukum yang
dimaksudkan di atas ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang timbul dalam masyarakat secara teratur atau seperti yang sudah disebutkan di
atas sebagai mekanisme integrasi. Pada waktu timbul sengketa dalam masyarakat,
maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu
diselesaikan. Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan
menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. pada
itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama
yang produktif. Pada saat hukum itu mulai bekerja, maka pada saat itu pula
mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi
melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian masukan-masukan yang
nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran.
Berdasarkan teori Sibernetica
yang telah di kemukakan di atas, jika di kaitkan dengan hukum dan kekuasan dalam
suatu negara ternyata membawa kepada pemahaman dalam suatu permasalahan yang
tidak sederhana. Secara sepintas hubungan antara keduanya hanya saling menolak
dan meniadakan, maka dalam pengamatan lebih jauh hukum dan kekuasaan
menampilkan kompleksitas perbauran yang lebih kaya. Menurut Sacipto Rahardjo dengan
optik sosiologis kondisinya tidak sedemikian itu. Orang biasa mengatakan bahwa
begitu datang orde hukum, maka sekalian praktik yang menggunakan kekuasaan
telanjang menjadi berhenti atau ditabukan sama sekali. Tetapi, optik sosiologis
menemukan kenyataan bahwa kekuasaan itu tetap ada secara laten dan pada saat
tertentu dapat muncul kembali dalam hal ini dengan menggunakan hukum sebagai
selimut. Keadaan seperti itulah yang pernah di singgung oleh Alvin Toffler pada
waktu menceritakan betapa dunia makin bergeser dari praktik menggunakan kekuasaan
atau kekuatan kepada pendayagunaan otak, maka harus di akui bahwa kekuatan itu
sering muncul kembali dalam baju yang lebih halus antara lain melalui hukum.
Kekuatan dan kekuasaan
yang pada masa sebelumnya dapat bergerak bebas sekarang harus mencari sandaran
atau legitimasinya pada hukum, tetapi bagaimanapun tetapi tetap saja ia tampil
sebagai suatu kekuatan atau kekerasan sehingga hukum adalah kekuasaan yang
diorganisasikan kembali sehingga menjadi lebih beradab dan tidak tampak
ketelanjangannya. Pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, aparat birokasi,
dan penjara, misalnya merupakan penjabaran kekuasaan negara ke dalam orde
hukum. Manusia sebagai warga negara setiap saat berada pada ujung penodongan
kekuasaan semacam itu. Orang harus mematuhi hukum atau menerima resiko
berhadapan dengan polisi dan aparat penegak hukum lainnya.
Menurut Sacipto
Rahardjo, kekuasaan itu dapat bersifat netral atau tidak tergantung kepada
penggunaannya. Sekalipun demikian tidak dapat dihilangkan kesan bahwa kekuasaan
itu memiliki kecenderungan tertentu yang lebih kuat daripada sifat netral.
Dalam kerangka pemahaman yang demikian merupakan hal yang tidak benar jika
kekuasaan itu netral. Kekuasaan itu memiliki bakat untuk menjurus kepada praktek-praktek
yang bersifat negatif, sebagaimana nampak dalam adagium populer yang
disampaikan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan
yang mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran. Hal tersebut
mendorong pemikiran untuk menciptakan bangunan peradaban baru yang boleh
dikatakan bertolak dari pemahaman kekuasaan yaitu demokrasi dan negara hukum.
Bangunan tersebut penuh dengan rambu-rambu untuk mengamankan warga negara dari
ulah kekuasaan yang dikatakan berwatak jahat itu.
Belajar dari
pengalaman sejarah mengenai dinamika penyalahgunaan kekuasaan yang masih terus
menerus berlangsung dan bahkan sudah ada semenjak munculnya kekuasaan itu
sendiri, maka sejak awal sebenarnya sudah ada gagasan untuk membangun kekuasaan
itu untuk melekatkan kepada fitrahnya semula yaitu untuk memberikan tempat
terhormat kepada rakyat dalam mengatur negara sekaligus memberikan pedoman
kepada penyelenggara negara bagaimana membangun kekuasaan untuk maksud
tersebut. Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah itu perlu dibatasi pernah dirumuskan
oleh seorang ahli sejarah Inggris yaitu Lord Acton. Menurutnya, pemerintahan selalu
diselenggarakan oleh politisi dan negarawan, akan tetapi pada mereka tanpa
kecuali selalu melekat kelemahan. Teori itu kemudian terkenal dengan rumusan Power
tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely.
.Sehubungan dengan pendapat
tersebut di atas, pada masa sekarang ini kemudian muncul perdebatan mengenai
eksistensi suatu undang-undang yang berhubungan langsung dengan kekuasaan politik.
Dalam praktek kerapkali politik melakukan intervensi atas pembuatan dan
pelaksanaan hukum sehingga menimbulkan pertanyaan manakah antara hukum dan
politik yang lebih supreme dan sejauh mana pengaruh politik terhadap
hukum. Jika dilakukan pengkajian tentang hubungan kasualitas antara hukum dan
politik, minimal ada 3 (tiga) macam jawaban yaitu pertama, hukum determinan
atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik harus di atur dan harus
tunduk kepada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena
hukum merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bahkan bersaingan dalam proses pembentukannya di parlemen Ketiga,
politik dan hukum sebagai sub-sistem kemasyarakatan berada posisi sederajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum
merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan
politik harus tunduk kepada aturan-aturan hukum.
Jawaban atas
pertanyaan tersebut tentang mana yang lebih determinan di antara keduanya (pertama
dan kedua), tentu sangat ditentukan oleh sudut pandang masing-masing ahli yang memandangnya.
Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa
hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat,
termasuk kehidupan politik di dalamnya. Sebagai keinginan tentu wajar jika ada
upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena
dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan
masyarakat akan menjadi lebih relevan. Tetapi kaum realis seperti Von Savigny
mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi independent variable atas
keadaan luarnya, terutama keadaan politiknya. Memang di dalam kenyataan hukum
itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan hukum itu tidak lain
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. [33]
Menurut Afan Gaffar,
hukum tidaklah berada dalam keadaan yang vakum akan tetapi merupakan entitas
yang berada pada suatu environment di mana antara hukum dengan environment
tersebut terjadi hubungan yang kait-mengait. Akan tetapi tampaknya hukum merupakan
produk berbagai elemen termasuk di dalamnya elemen politik, ekonomi, sosial, budaya,
agama dan sistem nilainya. Oleh karena itu ekosistem hukum banyak tergantung kepada
faktor-faktor yang berada di luar hukum. Jadi hukum bukan sesuatu yang supreme,
adanya hukum karena adanya kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
lain-lain.[34]
Untuk melihat siapa
yang paling banyak terlibat di dalam pembentukan agenda sebelum keluarnya sebuah
rancangan undang-undang, Afan Gaffar membuat suatu perbandingan antara dua
model, yaitu yang demokratis dan yang tidak demokratis. [35] Di negara-negara yang tingkat demokratisnya rendah sekali yang terlibat
di dalam pembentukan hukum yaitu para elit-elit utama di negara itu. Kalau di regime
yang sosialistis adalah pemimpin partai ditambah sejumlah tokoh militer. Sedangkan
di negara yang non-sosialistik biasanya para top birokrat, pemimpin militer,
dan pengusaha kaya yang mempunyai kepentingan tertentu. Oleh karena itu,
orientasi hukumnya tentu saja bersifat elitis dan selalu saja melindungi dan
membela kepentingan mereka sendiri. Di samping itu, karakteristik lain yang
menonjol adalah sangat bersifat konservatif dan rumusan-rumusan aturan (wardings)
seringkali bersifat multi tafsir sehingga terbuka untuk mengadakan intepretasi baru
dengan peraturan lebih lanjut dan harap diperhatikan bahwa intepretasi yang
paling kuat adalah yang datang dari penguasa.
Sebaliknya, dalam
pemerintahan /regime yang demokratis, berbagai macam lembaga terlibat di
dalam agenda pembentukan hukum. Keterlibatan masyarakat sangat tinggi karena di
akui pluralisme politik di mana kelompok-kelompok dalam masyarakat baik
yang tergabung di dalam partai politik ataupun tidak (pressure group, interest
group, mass media, dan lain-lain) termasuk di dalamnya lembaga swadaya
masyarakat / organisasi non-pemerintah. Oleh karena itu produk hukumnya bersifat
populis yang sangat berbeda dengan elitis di dalam regime tidak demokratis.
Hukum yang dikembangkan adalah bersifat progressive dan memberikan space
yang sedikit kepada pihak eksekutif untuk memberikan intepretasi lebih lanjut
dari sebuah peraturan.
Di dalam sistem
politik, para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan masukan berupa
tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya
pada legitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan
keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara lain dalam
bentuknya yang utama yaitu berupa berbagai hukum dan kebijakan umum. Apabila
ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk
menyerap umpan balik. Kesimpulannya ingin ditegaskan bahwa hukum dan politik
hukum (legal policy) pada dasarnya merupakan produk dari sistem politik.
Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam
masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang berlaku.
Sehingga dapat
dikatakan bahwa apabila suatu politik hukum yang berantakan pada tahap pertama
akan menghasilkan kaidah-kaidah hukum dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan
yang simpang-siur dan tidak jelas tahap pelaksanaannya. Kesimpang-siuran itu
pada tahap kedua akan membiasakan orang untuk melakukan by-pass di segala
tahapan pemerintahan. Kebiasan itu akan mendorong orang untuk melakukan
spekulasi hukum dengan berpegang kepada penafsiran jika tidak jelas hukumnya,
maka bolehlah kaidahnya. Spekulasi hukum yang semakin meluas akan mengantarkan
masyarakat kepada tahap yang berikutnya yaitu keadaan tanpa kepastian hukum.
Jika negara tidak memiliki kepastian hukum, maka akan sulit sekali menampilkan
diri sebagai negara hukum.
Selanjutnya, menurut
Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum merupakan
produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat
dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel
berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik
atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat
realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak
(pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama
pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya
merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik
dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.[36]
Uraian di atas
menegaskan bahwa hukum sebagai dependent variable dan politik sebagai independent
variable, sehingga dapat dikatakan bahwa karena keberlangsungan hukum yang
sangat ditentukan oleh arus kepentingan politik, hukum beralih fungsi menjadi
alat pengintegrasi, maksudnya hukum tak ubahnya berposisi sebagai pengintegrasi
keinginan-keinginan/kepentingan-kepentingan politik para elit/penguasa yang
berada di seputar pusat-pusat kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai alat
untuk mencapai keinginan politiknya dalam suatu negara.
Khususnya di
Indonesia, dewasa ini dalam penyelenggaraan pemerintahan baik oleh eksekutif
maupun parlemen, sering terjadi adanya suatu praktek-praktek penyalahgunaan
fungsi hukum sebagai alat untuk memuluskan keinginan-keinginan politik penguasa
dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya tersebut, bahkan hukum seringkali
digunakan untuk mempertahankan status-quo pemerintah sebagai penguasa terhadap
lawan-lawan politiknya yang dianggap menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal
ini dapat dilihat dari sekian banyaknya produk-produk hukum yang dihasilkan
baik di tingkat pusat antara DPR dan Pemerintah maupun di daerah yaitu antara
kepala daerah yakni Gubernur dan Bupati/Walikota bersama dengan DPRD yang cenderung
lebih berpihak kepada permerintah dan mengesampingkan kepentingan masyarakat.
Sebagai contoh,
kenangan masa lalu ketika Bung Karno pernah memerintahkan untuk mengeluarkan
Perpu Anti Subversi 1963, guna mencoba memberangus lawan-lawan politiknya.
Demikian juga sikap Menteri Penerangan Harmoko di zaman Orde Baru yang cuma
bermodalkan Peraturan Menteri Penerangan untuk membreidel Majalah Tempo yang
dianggap terlalu kurang ajar dengan penguasa orde baru, padahal dari sisi
normatif, jelas produk Permen itu merupakan tindakan yang melabrak asas hirarki
perundang-undangan, yaitu bertentangan secara diametral dengan Undang-Undang
Pokok Pers saat itu, sebagai aturan yang lebih tinggi (lex superior). [37]
Selanjutnya, dalam hal penggunaan hukum sebagai alat pengitegrasi
kekuasaan di daerah-daerah, telah banyak dilahirkan berbagai macam produk peraturan
daerah yang dikeluarkan oleh DPRD bersama Gubernur, Bupati dan Walikota dalam
hal untuk membungkus suatu kebijakan yang telah dijalaninya, yang notabene
sangat merugikan kepentingan masyarakat luas dan hanya terkesan memuluskan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan penguasa dengan kelompok-kelompok tertentu utamanya
para pemilik modal yang telah melakukan kesepakatan dengan kepentingan-kepentingan
politik atau ekonomi diantara mereka, sehingga cita-cita hukum untuk
menciptakan adanya suatu ketertiban dan ketentraman di dalam kehidupan
masyarakat jauh dari harapan.
Demikian pula dalam tataran pelaksanaannya, hukum seringkali
di intervensi oleh kepentingan kekuasaan dan politik. Arus kepentingan politik
penguasa kadangkala merasuki sendi-sendi penegakan hukum di Indonesia. Telah
banyak terjadi kasus-kasus yang melibatkan elit-elit politik dan penguasa, yang
dengan mudahnya mematahkan kinerja dan upaya aparat penegak hukum, sehingga
menimbulkan citra dan wibawa hukum semakin merosot dan kemudian dapat
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan dapat dikatakan
bahwa hukum seakan-akan tidak berdaya jika berhadapan dengan kekuasaan.
Akhirnya, sebagai
penutup penulis berpendapat bahwa seharusnya hukum harus dapat membatasi
kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan, dan hokum tidak hanya alat yang digunakan sebagai pengintegrasi
kekuasaan oleh penguasa. Demikian sebaliknya, kekuasaan politik juga diperlukan
untuk menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum
yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik
salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum
ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi
kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh
kekuasaan dari kekuasaan-politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada
masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar
para penguasa pemegang kekuasaan dan elit politik jika terbukti melanggar hukum
tanpa ada diskriminasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum sebagai alat pengintegrasi
kekuasaan negara, hukum seringkali digunakan oleh para penguasa dan elit-elit
politik dalam suatu negara sebagai alat kekuasaan dalam membuat suatu peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politik penguasa. Kemudian
dalam tataran penerapannya, hukum seringkali di intervensi oleh politik, terutama
jika melibatkan kalangan penguasa sehingga mengakibatkan pelaksanaan penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan maksimal dalam rangka mewujudkan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
B. Saran-Saran
Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan
sebagaimana telah disimpulkan diatas, maka disarankan :
1. Diharapkan kepada para pemegang
kekuasaan dalam hal ini kalangan eksekutif dan legislatif untuk lebih membuka
ruang dan kesempatan dalam menerima saran dan masukan dari berbagai pihak dalam
rangka proses pembuatan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan
sehingga kepentingan masyarakat dapat terakomodir dengan baik dalam suatu
produk hukum dan lebih responsif terhadap rakyat.
2. Diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat
yang ada untuk selalu bersikap kritis terhadap pemerintah dalam menjalankan
pemerintahan sehingga penyelenggaraan kekuasaan dapat berjalan dengan baik
sesuai dengan yang diharapkan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
|
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Achmad
Ali, 2000, Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta
, 2002, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.
Anthony Giddens dan David Held, 2000, Pendekatan
Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok Kekuasaan dan Konflik, Rajawali
Pers, Jakarta.
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum
sebuah telaah Sosiologis, PT. Suryandru Utama, Semarang.
Miriam Budiarjo, 1991, Aneka Pemikiran
tentang Kekuasaan dan Wibawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Muh. Jufri Dewa, 2002, Bahan Kuliah
Esensial Ilmu Negara (Staatsleer), UMK, Kendari.
Muh Syaiful, 2010, Wajah Politik Hukum
di Indonesia, Kendari.
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
, Pergulatan Politik dan Hukum di
Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
Otje Salman, 1993, Beberapa Aspek
Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung.
Purnadi Purbacaraka, dkk, 1993, Perihal
Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sacipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo, 1983, Pengantar
Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soerjono
Soekanto, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta.
,1982, Beberapa
Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI-Pres,
Jakarta.
[1]
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta, 2000
[2]
Ibid
[3] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1983
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Esmi
Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT. Suryandru Utama,
Semarang, 2005
[7]
Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT. Suryandru
Utama, Semarang, 2005
[8]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
[9]
Ibid
[10] J,
Kalof, Kepemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika, Jakarat, 2009. hlm 106
[11] J,
Kalof, Ibid hlm 107
[12] Soerjono
Soekanto, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm
20
[13]
Definisi kata Kuasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996, Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, hlm 528
[14]
Miriam Budiarjo, Aneka Pemikiran tentang Kekuasaan dan Wibawa, 1991,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm 31
[15]
Anthony Giddens dan David Held, 2000, Pendekatan Klasik dan Kontemporer
mengenai Kelompok Kekuasaan dan Konflik, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 21
[16]
Anthony Giddens, hlm 22
[17]
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia,, Jakarta, UI-Pres, 1982 hal 158
[18]
Soerjono Soekanto, ibid hal 86
[19] Ibid
hal 86
[20] Achmad
Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung,
Jakarta, 2002, hlm 56.
[21]
Soerjono Soekanto, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty,
2003, hlm 20
[22] Sacipto
Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 146
[23]
Muh. Jufri Dewa, Bahan Kuliah Esensial Ilmu Negara (Staatsleer), UMK,
Kendari, 2002, hlm 4-5
[24]
Ibid, hlm 6
[25]
Purnadi Purbacaraka dkk, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm 8
[26]
Sacipto Raharjo, op cit, hlm 33
[27]
Purnadi Purbacaraka dkk, op cit, hlm 20
[28]
Ahmad Ali, op cit, hlm 101
[29]
Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1993, hlm
16
[30]
Ahmad Ali, op cit, hlm 102
[31]
Muh Syaiful, Wajah Politik Hukum di Indonesia, Kendari, 2010, hlm 39
[32] Ibid
[33] Muh.
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, hlm 70
[34]
Afan Gafar, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, 1992, UII-Pres, Yogyakarta,
hlm 104
[35] Ibid,
hlm 108
[36] Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm
10.
[37]
Muh Syaiful, op cit, hlm 42-43
sangat bermanfaat,, ayo kunjungi juga https://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/fungsi-hukum/#comment-278
BalasHapusQQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!