ASPEK POLITIK SEBAGAI ASPEK PENGUBAH HUKUM
A. Pendahuluan
Sebagai
kerangka dasar pemikiran, sebaiknya terlebih dahulu perlu di kemukakan batasan rumusan
politik. Pembahasan ini juga sangat penting guna memperkuat khasanah pemahaman
dan pemikiran menyangkut batasan pengertian politik sehingga dapat memberikan
masukan dalam mencermati terminologi politik dalam konteks yang tidak semata
bersifat kotor, licik, tipu daya dan kebohongan.
Terminologi
politik secara etimologis di reduksi dari bahasa Yunani yaitu politea
yang berasal dari dua kata yaitu polis yang berarti kesatuan masyarakat
yang berdiri sendiri dan kata teia yang berarti urusan. Dalam Bahasa
Indonesia politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum
warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prisip,
keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu
yang kita kehendaki. Politics dan policy memiliki hubungan yang
erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah dan medannya
sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan
dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Dalam
bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan,
cara, adan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu.
Sedangkan policy yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
kebijaksanaan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat
menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki,
dimana pengambil kebijaksanaan biasaya dilakukan oleh seorang pemimpin.
Dari
pengertian tersebut di atas, maka politik dipandang sebagai sebuah proses
penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu
memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Sehingga politik dapat
di artikan sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun non-konstitusional.
Istilah
politik pertama kali melalui buku karangan Plato yang berjudul politeia
yang juga dikenal dengan buku republika, kemudian muncul pula karya
Aristoteles yang berjudul politeia dan kedua buku ini dipandang sebagai
pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari pengertian ini dapat
diketahui bahwa konsep politik merupakan istilah yang pergunakan untuk konsep
pengaturan masyarakat, sebab dalam pengertian politik itu dibahas berkenaan
dengan bagaimana pemeritahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat yang
baik, damai dan tentram dalam suatu negara.
Pada
umumnya para analis politik serta filosof barat cenderung memandang politik
sebagai hal yang berkaitan denga penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Politik kemudian dipandang sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan
dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat dimana politik adalah segala sesuatu
tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Selanjutnya,
apabila kata politik di kaitkan dengan hukum, maka lahirlah istilah politik
hukum. Dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas, kata politiek
mengandung arti beleid, yang dalam bahasa Indonesia berarti
kebijakan atau policy. Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa politik
hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan hukum sendiri
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan
dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Padmo Wahjono dikutip oleh Kotam Y.
Stefanus mendefinisikan politik hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara negara
tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan
sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan
hukum dan penerapannya. L.J. Van Apeldorn menyatakan bahwa politik hukum sebagai
politik perundang–undangan serta menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang–undangan.
Soerjono Soekanto mengemukakan politik hukum sebagai kegiatan–kegiatan memilih
nilai-nilai dan menerapkan nilai–nilai. Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik
hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara–cara
yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.[1]
Menurut Moh. Mahfud MD politik hukum
adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum
lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945. [2]
Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan,
merupakan upaya mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi suatu waktu. [3]
Politik
hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam hukum adalah kebijakan
dasar penyelenggaran negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah
berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk
mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian ini ada lima agenda
yang ditekankan dalam politik hukum nasional yaitu pertama masalah kebijakan
dasar yang meliputi konsep dan letak, kedua penyelenggara negara pembentuk
kebijakan dasar tersebut, ketiga materi hukum yang meliputi hukum yang akan,
sedang dan telah berlaku, keempat proses pembentukan hukum, kelima tujuan
politik hukum nasional.
B.
Hubungan Hukum dan Politik
Hubungan antara hukum dan politik
tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa
yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan
memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka
tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan
positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka
rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan
politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan
politik telah di atur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah
dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara
hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan
bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka dalam
menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat dikatakan bahwa hukum
dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan
politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).
Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang
determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa
kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal
yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk
membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan
konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi
di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.[4]
Demikian pula hukum harus dapat membatasi
kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi
hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi
hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi
bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat
negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan
pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik hukum
juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja
sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar
hukum.
C. Hukum dan Kekuasaan
Menurut
John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is a
command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti
perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar
sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme
hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau
kekuasaan.[5]
Dengan
demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan forum
kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil
sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung
oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum
untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit. Pengaturan
ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang dituangkan ke dalam
aturan-aturan yang secara formal di undangkan. sehingga dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik penguasa.[6]
Pemerintah
pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain merupakan
manifestasi dari sistem politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari
keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap,
logis dan tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum
dari tuhan untuk manusia (the divine law) dan hukum yang dibuat oleh
manusia. Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya terdapat empat unsur yaitu
perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan
kedaulatan (sovereignty).
Pandangan
realisme hukum, menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari
penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh berbagai hal. Hukum
adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan
bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem
kemasyarakatannya. Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan
pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara
hukum dan politk yang lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena
banyaknya peraturan hukum yang tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum
tak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai
masalah yang seharusnya menjadi tugas hukum untuk menyelesaikannya. Bahkan
dewasa ini banyak produk hukum lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan
politik pemegang kekuasaan.
Masalah
kekuasaan (authority) merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia,
bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk mendapatkannya. Dalam kaitan ini
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Lili Rasjidi menjelaskan
bahwa hukum dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan untuk mendukungnnya.
Kekuasaan itu diperlukan karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya
kekuasaan, pelaksanaan hukum akan menjadi terhambat. Semakin tertib dan teratur
masyarakat, semakin berkurang pula dukungan kekuasaan yang diperlukan.
Jika
hal yang terakhir ini ada dalam masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah
ada kesadaran hukum masyarakat untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada
paksaan dari pemegang kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal
yang penting digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak
rakyat. Oleh karena itu disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga
diperlukan unsur lain yang harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak
yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat yang tinggi.
Dalam
pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan kekuasaan. Hukum
juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber
lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah,
inteligensia, dan moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas bagi
kekuasaan, oleh karena biasanya kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu
selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa
yang dimilikinya.
Sehubungan
dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik buruknya sesuatu
kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Artinya
baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk
mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih
dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat
yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.
Moh.
Mahfud MD dengan mengutip pendapat Dahrendorf mencatat ada enam ciri kelompok
dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu pertama jumlahnya selalu
lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua memiliki kelebihan kekayaan
khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material,
intelektual, dan kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan selalu
terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan, keempat kelas
penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang
politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai elite penguasa dalam bidang
politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan mewariskan kekuasaan
politiknya kepada kelas / kelompoknya sendiri, keenam ada reduksi perubahasan
sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi politik suatu negara akan
melahirkan karatkter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara
yang konfigurasi politik berciri demokratis maka produk politiknya berkarakter
responsif (populistik), sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya
bercorak ortoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks (konservatif /
elitis). Perubahan konfigurasi politik dari ortoriter akan melahirkan
produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum
yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang ortoriter akan melahirkan
produk hukum yang konservatif.
Dalam
era reformasi saat ini, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai
banyaknya produk-produk politik penguasa melibatkan berbagai elemen masyarakat
dalam mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan konfigurasi politik demokratis
yang sedang maraknya saat ini, agar tidak kebablasan maka perlu di ingat
tentang tujuan politik nasional Indonesia yang di dasarkan pada perjuangan
bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut kemerdekaannya, berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan tersebut guna mencapai
masyarakat adil dan makmur.
D. Pengaruh Partai Politik
Menurut
Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan
struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan
alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan
politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun kemudian proses
hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya
seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni
konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat
yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum.[7]
Dari
kenyataan ini di sadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk
hukum. Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata process dan
kata institutions, dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan
sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan
perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan
masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan.[8]
Dalam proses
pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik
yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi
politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah
institusi yang vacum tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu.
karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan
politik. Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi
kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam
hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara seperti
Presiden, DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari
infrastruktur politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan
demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari
pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang
diberikan otoritas untuk itu.
Pengaruh
kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan
berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing
lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara
dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem checks and balances,
yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar,
tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing
Dalam negara demokrasi,
partai politik merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara,
sebab melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih
presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik
merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara
untuk mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang
paling ampuh dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian
pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya
pemeo dalam masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja
dengan kolam yang tidak ada ikannya.
Partai politik sebagai
institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam
mengendalikan kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi
oleh masyarakat yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu
dianggap sebagai salah satu atribut dari negara moderen, sebab partai politik
itu sangat diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang
berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana
penyalur aspirasi rakyat, juga merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan
negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering
kali di asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu tempatnya
seseorang atau sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah
negara. Menurut Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science,
sebagaimana yang dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik
adalah sekelompok orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan
pemerintahan agar dapat melaksanakan program-program dan menempatkan
anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah.
Partai politik berusaha
untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu pertama ikut serta dalam
pelaksanaan pemerintaahn secara sah melalui pemilihan umum dengan merebut suara
terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive) untuk
memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih
lanjut dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian
integral dalam proses guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum.
Partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan
memperkuat posisi elite dalam menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih
lanjut yakni mengawasi kebijakan umum pemerintah.
Dalam konteks Indonesia,
peran partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk
kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama DPR.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif mempunyai peran seimbang dalam
membuat dan mengadakan perubahan undang-undang. Berdasarkan ketentuan itu pula
ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang mewakili atau diusulkan
oleh Partai Politik yang ada.
Dalam UUD 1945
dijelaskan bahwa tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden
membentuk undang-undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan
pengawasan dalam pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan
APBN dan Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan negara dan pengelolaan
keuangan negara serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan
atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan
atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan
melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang
DPR sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa tugas dan wewenang
itu seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam
melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga
berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan
tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.
E. Pengaruh Lembaga Swadaya
Masyarakat
Tidak
semua aspirasi yang ada dalam masyarakat dapat tertampung dalam partai politik
yang telah ada dalam satu negara. Aspirasi masyarakat yang tidak tertampung itu
biasanya diwujudkan dalam berbagai organisasi yang dibentuk diluar pemerintah,
seperti organisasi profesi, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok
penekan (pressure group), dan kelompok kepentingan (interest group). Disamping
itu juga terdapat kelompok dari lembaga-lembaga internasional seperti
Internasional Monetary Fund (IMF), World Bank, dan berbagai lembaga
internasional lainnya yang dapat mempengaruhi produk-produk hukum dalam suatu
negara.
Di luar
kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk
hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi. Bahkan
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat
yaitu yang di atur dalam Pasal 53 yang berbunyai masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
Kenyataan di
atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum,
mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi di segala bidang berhasil di menangkan,
dengan ditandai jatuhnya orde baru yang otoriter, maka era reformasi telah
membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah
undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas.
Kenyataan
yang perlu di sadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap
pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika
tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu
Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek
opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika
tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan
yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan
penting yang perlu menjadi perhatian para lawmaker seperti yang
dikemukakan oleh Walter Lippmann, yaitu jika
opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu
penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang
hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah. Karena itu
perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan
suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk
mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan
politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme
demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga
kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah,
kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.[9]
Sehubungan dengan organisasi kemasyarakatan terdapat
ciri penting yaitu kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota
masyarakat bebas membentuk, memiliki dan bergabung dalam organisasi
kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepentingan.
Organisasi kemasyarakatan dibentuk atas dasar sifat kekhususannya
masing-masing, maka sudah semestinya apabila organisasi kemasyarakatan berusaha
melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingan anggotanya. Oleh karena itu,
keberadaan organisasi kemasyarakatan, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat
merupakan kebutuhan yang tidak dapat terelakkan.
Syaiful Hakim mengemukakan bahwa Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) adalah organisasi non pemerintah yang didirikan oleh
masyarakat untuk tujuan tertentu, terutama untuk ikut memberikan andil dalam
pembangunan. LSM yang di dirikan itu mempunyai perhatian dan fokus garapan yang
berbeda dan biasanya disesuaikan dengan kepentingan masyarakat yang menghendaki
lahirnya LSM itu. Adapun bentuk LSM berbagai spesifikasi misalnya dalam bidang
lingkungan hidup dan pelestarian alam, perlindungan anak-anak, penegakan hukum
dan keadilan, kekayaan pejabat dan mantan pejabat negara, kemandirian
peradilan, tentang dugaan korupsi dan pemberantasan KKN, tentang hak-hak asasi
manusia dan kesetaraan gender dan lembaga yang memerhatikan pelaksanaan
demokrasi dan supremasi hukum.
Dalam melaksanakan kegiatan dan program kerja
sesuai dengan bidang yang menjadi sorotan masing-masing LSM, kebanyakan dari
mereka terlebih dahulu memgumpul data yang diperlukan dengan mengadakan
penelitian lapangan untuk mendapatkan dan mengetahui kondisi objektif tentang
persoalan yang menjadi bidang garapannya. Data-data yang terkumpul itu dioleh
sedemikian rupa sehingga di dapat data yang akurat yang selanjutnya disusun
langkah-langkah strategis selanjutnya untuk mengupayakan perbaikan kondisi yang
diinginkan oleh LSM tersebut. Dari hasil penelitian ini, mereka mengadakan
kajian lebih lanjut dengan mengadakan seminar-seminar guna mendapatkan solusi
terbaik terhadap persoalan yang dihadapinya. Hasil dari penelitian dan kajian
yang telah diseminarkan itu diserahkan kepada pembuat kebijakan, baik pihak
eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang pada gilirannya kalau hasil kajian
itu bermanfaat untuk kepentingan masyarakat, maka akan ditindaklanjuti dengan
membuat kebijakan baru dalam bidang hukum.
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998
kegiatan dari LSM semakin marak. Lembaga yang tumbuh di dalam masyarkat itu
telah berfungsi sebagai penegak peraturan yang berlaku di dalam masyarakat, dan
juga telah berfungsi sebagai alat untuk mendidik anggota masyarakat, supaya
mereka itu memiliki kesadaran untuk mematuhi segala peraturan, dengan demikian
dalam masyarakat akan terdapat ketertiban dan kedamaian.
Jadi dalam kehidupan masyarakat diperlukan LSM
untuk mengontrol penyelenggara negara agar segala sesuatu dapat berjalan
sebagaimana yang telah ditentukan. Misalnya WALHI, LSM dalam Pemantauan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekosistem, lebih mengarahkan kegiatannya pada
upaya bagaimana agar kelestarian lingkungan tetap terjaga dengan cara
mengurangi penebangan hutan secara ilegal agar bangsa Indonesia terhindar dari
ancaman banjir dan bencana alam lainnya.
LSM yang bergerak dalam bidang masing-masing
telah memberikan berbagai masukan kepada pembuat kebijakan baik dalam bidang
eksekutif, legislatif dan yudikatif baik dalam rangka membuat aturan hukum
maupun dalam bidang penerapan hukum menuju kepada hal yang lebih baik daripada
sebelumnya. Pada era reformasi ini banyak aturan hukum (undang-undang) yang
dibuat oleh DPR bersama pemerintah terlebih dahulu diminta masukan-masukan dari
berbagai pihak, termasuk LSM dalam bidang masing-masing. Sehingga tampak bahwa
peranan pengaruh dari LSM dalam mengubah suatu hukum yang akan diberlakukan
kepada masyarakat cukup dominan.
F. Kelompok Penekan (Pressure
Group)
Kelompok penekan adalah
sekumpulan orang yang mempunyai visi yang berlainan dengan visi dari
orang-orang yang duduk dalam suatu lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk
membuat kebijakan nasional terhadap sesuatu hal yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Dalam dunia politik kelompok ini lazim dikenal dengan kelompok
oposisi. Kelompok ini pada umumnya adalah orang-orang yang tidak masuk dalam
lingkaran pemerintah yang berkuasa, dan tidak pula terwakili suaranya dalam
salah satu partai politik tertentu, atau orang-orang yang kecewa terhadap
wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif, termasuk juga terhadap
orang-orang yang tidak puas dengan perkembangan penegakan hukum dan kinerja
aparat pemerintah dalam suatu negara.
Orang-orang yang temasuk dalam kelompok penekan
ini terdiri dari orang-orang berada dalam berbagai golongan dari lapisan
masyarakat, mulai dari kelas bawah sampai kepada masyarakat kelas menengah dan
atas. Mereka terkadang tidak mempunyai organisasi yang tetap sebagaimana
layaknya anggota dari suatu lembaga sosial lainnya dalam masyarakat. Kelompok
penekan juga bisa datang dari luar negeri atau organisasi internasional. Dengan
kondisi domestik yang tidak stabil dan dikelilingi oleh suasana yang tidak
menentu dan membutuhkan bantuan dari negara super power, atau negara kaya,
sehingga mereka dengan mudah mencampur urusan dalam negeri negara yang meminta
bantuan tersebut.
Dalam sosiologi hukum dikenal dengan teori
gerakan sosial yang mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat sering terjadi
ketidakpuasan terhadap bidang-bidang
tertentu yang dapat menimbulkan ketidaktentraman dan ketegangan dalam
masyarakat yang kadang-kadang atas ketidaktentraman dan ketegangan ini timbul gerakan
untuk mengadakan perubahan yang pada akhirnya menimbulkan suatu hukum baru.
Biasanya kelompok penekan ini memperjuangkan keinginannya dan tujuan gerakannya
dengan cara melakukan demonstrasi yaitu mengerahkan massa secara besar-besaran
menentang kebijakan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan
aspirasi kelompoknya dan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan. Dengan
cara berdemonstrasi seperti inilah meraka berharap pemerintah akan meninjau
ulang dengan membuat kebijakan baru yang lebih sesuai dengan kepentingan rakya
banyak.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa
pengaruh dari kelompok penekan dan organisasi internasional terhadap suatu
masalah dalam kelompok masyarakat suatu bangksa dapat mempengaruhi kebijakan
yang telah ditetapkan oleh penyelenggara negara. Meskipun tidak semua
perjuangan kelompok penekan berhasil mempengaruhi kebijakan negara, tetapi
banyak juga perjuangan kelompok penekan ini dapat berhasil diperjuangkan
sehingga kebijakan yang telah ditetapkan terpaksa harus diubah, yang pada
akhirnya berubah pula pada produk hukum yang dibuatnya.
Hal ini dapat dilihat dari campur tangannya
urusan dalam negeri Indonesia dari lembaga organisasi Internasional Monetary
Fund (IMF) sampai pada batas-batas yang sangat mengkhawatirkan yaitu cair
tidaknya pinjaman baru sangat ditentukan oleh tekanan-tekanan dari organisasi
tersebut untuk melaksanakan kebijakan dalam negeri yang menerima donor. Tidak
dapat dipungkiri, pengaruh dari kelompok penekan dan tekanan organisasi
internasional dalam masalah-masalah tertentu akan mengakibatkan pada perubahan
hukum dan pembentukan hukum.
G. Kesimpulan
Aspek politik merupakan salah satu
aspek yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap hukum baik dalam proses
pembentukan suatu produk hukum maupun dalam tatanan penerapannya. Aspek politik
tersebut diantaranya melalui politik kekuasaan oleh penguasa dalam hal ini
pemerintah dan DPR proses pembahasan dan pembentukan suatu produk hukum, pengaruh
partai politik yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah, pengaruh LSM
terhadap hukum dan pengaruh kelompok penekan dalam menentukan materi/substansi
hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
Abdul Manan, Aspek-aspek
Pengubah Hukum, 2005, Kencana, Jakarta.
Achmad
Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.
Daniel
S. Lev, 1990, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cet I, LP3S, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1994, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Walter Lippman, 1999, Filsafat Publik, Terjemahan dari
buku aslinya yang berjudul The
Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor
Indonesia.
.
[1] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994. hlm 14.
[2] Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm
1.
[3]
Ibid
[4]
Moh. Mahfud MD, op.cit, hlm 10.
[5] Achmad
Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet.
II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm 56.
[6] Achmad
Ali, op.cit. hlm 57
[7] Daniel
S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cet I, LP3S, Jakarta, 1990. hlm 18.
[8] Daniel
S. Lev, op cit. hlm 19
[9]
Walter Lippman. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang
berjudul The Publik Philosophy, oleh
A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar