Selasa, 25 Maret 2014

ASPEK POLITIK SEBAGAI ASPEK PENGUBAH HUKUM

ASPEK POLITIK SEBAGAI ASPEK PENGUBAH HUKUM


A.  Pendahuluan
Sebagai kerangka dasar pemikiran, sebaiknya terlebih dahulu perlu di kemukakan batasan rumusan politik. Pembahasan ini juga sangat penting guna memperkuat khasanah pemahaman dan pemikiran menyangkut batasan pengertian politik sehingga dapat memberikan masukan dalam mencermati terminologi politik dalam konteks yang tidak semata bersifat kotor, licik, tipu daya dan kebohongan.
Terminologi politik secara etimologis di reduksi dari bahasa Yunani yaitu politea yang berasal dari dua kata yaitu polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri dan kata teia yang berarti urusan. Dalam Bahasa Indonesia politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prisip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah dan medannya sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, adan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki, dimana pengambil kebijaksanaan biasaya dilakukan oleh seorang pemimpin.
Dari pengertian tersebut di atas, maka politik dipandang sebagai sebuah proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Sehingga politik dapat di artikan sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non-konstitusional.
Istilah politik pertama kali melalui buku karangan Plato yang berjudul politeia yang juga dikenal dengan buku republika, kemudian muncul pula karya Aristoteles yang berjudul politeia dan kedua buku ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa konsep politik merupakan istilah yang pergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat, sebab dalam pengertian politik itu dibahas berkenaan dengan bagaimana pemeritahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat yang baik, damai dan tentram dalam suatu negara.
Pada umumnya para analis politik serta filosof barat cenderung memandang politik sebagai hal yang berkaitan denga penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik kemudian dipandang sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat dimana politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Selanjutnya, apabila kata politik di kaitkan dengan hukum, maka lahirlah istilah politik hukum. Dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas, kata politiek mengandung arti beleid, yang dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan atau policy. Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan hukum sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Padmo Wahjono dikutip oleh Kotam Y. Stefanus mendefinisikan politik hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya. L.J. Van Apeldorn menyatakan bahwa politik hukum sebagai politik perundang–undangan serta menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang–undangan. Soerjono Soekanto mengemukakan politik hukum sebagai kegiatan–kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai–nilai. Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara–cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.[1]
Menurut Moh. Mahfud MD politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. [2]
Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan, merupakan upaya mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi suatu waktu. [3]
Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam hukum adalah kebijakan dasar penyelenggaran negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dari pengertian ini ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional yaitu pertama masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak, kedua penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut, ketiga materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, keempat proses pembentukan hukum, kelima tujuan politik hukum nasional.

B.  Hubungan Hukum dan Politik
Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.[4]
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.

C. Hukum dan Kekuasaan
Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan.[5]
Dengan demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit. Pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang dituangkan ke dalam aturan-aturan yang secara formal di undangkan. sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik penguasa.[6]
Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk menyelenggarakan kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum dari tuhan untuk manusia (the divine law) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya terdapat empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignty).
Pandangan realisme hukum, menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya  selalu dipengaruhi oleh berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya. Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politk yang lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena banyaknya peraturan hukum yang tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum tak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai masalah yang seharusnya menjadi tugas hukum untuk menyelesaikannya. Bahkan dewasa ini banyak produk hukum lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan.
Masalah kekuasaan (authority) merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia, bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk mendapatkannya. Dalam kaitan ini Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Lili Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan untuk mendukungnnya. Kekuasaan itu diperlukan karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan menjadi terhambat. Semakin tertib dan teratur masyarakat, semakin berkurang pula dukungan kekuasaan yang diperlukan.
Jika hal yang terakhir ini ada dalam masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah ada kesadaran hukum masyarakat untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada paksaan dari pemegang kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal yang penting digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga diperlukan unsur lain yang harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat yang tinggi.
Dalam pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan kekuasaan. Hukum juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, inteligensia, dan moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena biasanya kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik buruknya sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.
Moh. Mahfud MD dengan mengutip pendapat Dahrendorf mencatat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu pertama jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan, keempat kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai elite penguasa dalam bidang politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas / kelompoknya sendiri, keenam ada reduksi perubahasan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karatkter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politik berciri demokratis maka produk politiknya berkarakter responsif (populistik), sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bercorak ortoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks (konservatif / elitis). Perubahan konfigurasi politik dari ortoriter akan melahirkan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang ortoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif.
Dalam era reformasi saat ini, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai banyaknya produk-produk politik penguasa melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan konfigurasi politik demokratis yang sedang maraknya saat ini, agar tidak kebablasan maka perlu di ingat tentang tujuan politik nasional Indonesia yang di dasarkan pada perjuangan bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut kemerdekaannya, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

D. Pengaruh Partai Politik
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun kemudian proses hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum.[7]    
Dari kenyataan ini di sadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata process dan kata institutions, dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan.[8]
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara seperti Presiden, DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing
Dalam negara demokrasi, partai politik merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, sebab melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara untuk mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang paling ampuh dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya pemeo dalam masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja dengan kolam yang tidak ada ikannya.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh masyarakat yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu dianggap sebagai salah satu atribut dari negara moderen, sebab partai politik itu sangat diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana penyalur aspirasi rakyat, juga merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering kali di asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu tempatnya seseorang atau sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah negara. Menurut Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science, sebagaimana yang dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-program dan menempatkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah.
Partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu pertama ikut serta dalam pelaksanaan pemerintaahn secara sah melalui pemilihan umum dengan merebut suara terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive) untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih lanjut dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian integral dalam proses guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan memperkuat posisi elite dalam menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih lanjut yakni mengawasi kebijakan umum pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, peran partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama DPR. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif mempunyai peran seimbang dalam membuat dan mengadakan perubahan undang-undang. Berdasarkan ketentuan itu pula ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang mewakili atau diusulkan oleh Partai Politik yang ada.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden membentuk undang-undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan pengawasan dalam pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan APBN dan Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan negara dan pengelolaan keuangan negara serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang DPR sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa tugas dan wewenang itu seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.      
    
E.   Pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat
Tidak semua aspirasi yang ada dalam masyarakat dapat tertampung dalam partai politik yang telah ada dalam satu negara. Aspirasi masyarakat yang tidak tertampung itu biasanya diwujudkan dalam berbagai organisasi yang dibentuk diluar pemerintah, seperti organisasi profesi, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok penekan (pressure group), dan kelompok kepentingan (interest group). Disamping itu juga terdapat kelompok dari lembaga-lembaga internasional seperti Internasional Monetary Fund (IMF), World Bank, dan berbagai lembaga internasional lainnya yang dapat mempengaruhi produk-produk hukum dalam suatu negara.
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang di atur dalam Pasal 53 yang berbunyai masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi di segala bidang berhasil di menangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas.
Kenyataan yang perlu di sadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Satu catatan penting yang perlu menjadi perhatian para lawmaker seperti yang dikemukakan oleh Walter Lippmann, yaitu  jika opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.[9]
Sehubungan dengan organisasi kemasyarakatan terdapat ciri penting yaitu kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat bebas membentuk, memiliki dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepentingan. Organisasi kemasyarakatan dibentuk atas dasar sifat kekhususannya masing-masing, maka sudah semestinya apabila organisasi kemasyarakatan berusaha melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingan anggotanya. Oleh karena itu, keberadaan organisasi kemasyarakatan, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak dapat terelakkan.
Syaiful Hakim mengemukakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah organisasi non pemerintah yang didirikan oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, terutama untuk ikut memberikan andil dalam pembangunan. LSM yang di dirikan itu mempunyai perhatian dan fokus garapan yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan kepentingan masyarakat yang menghendaki lahirnya LSM itu. Adapun bentuk LSM berbagai spesifikasi misalnya dalam bidang lingkungan hidup dan pelestarian alam, perlindungan anak-anak, penegakan hukum dan keadilan, kekayaan pejabat dan mantan pejabat negara, kemandirian peradilan, tentang dugaan korupsi dan pemberantasan KKN, tentang hak-hak asasi manusia dan kesetaraan gender dan lembaga yang memerhatikan pelaksanaan demokrasi dan supremasi hukum.
Dalam melaksanakan kegiatan dan program kerja sesuai dengan bidang yang menjadi sorotan masing-masing LSM, kebanyakan dari mereka terlebih dahulu memgumpul data yang diperlukan dengan mengadakan penelitian lapangan untuk mendapatkan dan mengetahui kondisi objektif tentang persoalan yang menjadi bidang garapannya. Data-data yang terkumpul itu dioleh sedemikian rupa sehingga di dapat data yang akurat yang selanjutnya disusun langkah-langkah strategis selanjutnya untuk mengupayakan perbaikan kondisi yang diinginkan oleh LSM tersebut. Dari hasil penelitian ini, mereka mengadakan kajian lebih lanjut dengan mengadakan seminar-seminar guna mendapatkan solusi terbaik terhadap persoalan yang dihadapinya. Hasil dari penelitian dan kajian yang telah diseminarkan itu diserahkan kepada pembuat kebijakan, baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang pada gilirannya kalau hasil kajian itu bermanfaat untuk kepentingan masyarakat, maka akan ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan baru dalam bidang hukum.
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 kegiatan dari LSM semakin marak. Lembaga yang tumbuh di dalam masyarkat itu telah berfungsi sebagai penegak peraturan yang berlaku di dalam masyarakat, dan juga telah berfungsi sebagai alat untuk mendidik anggota masyarakat, supaya mereka itu memiliki kesadaran untuk mematuhi segala peraturan, dengan demikian dalam masyarakat akan terdapat ketertiban dan kedamaian.
Jadi dalam kehidupan masyarakat diperlukan LSM untuk mengontrol penyelenggara negara agar segala sesuatu dapat berjalan sebagaimana yang telah ditentukan. Misalnya WALHI, LSM dalam Pemantauan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekosistem, lebih mengarahkan kegiatannya pada upaya bagaimana agar kelestarian lingkungan tetap terjaga dengan cara mengurangi penebangan hutan secara ilegal agar bangsa Indonesia terhindar dari ancaman banjir dan bencana alam lainnya.
LSM yang bergerak dalam bidang masing-masing telah memberikan berbagai masukan kepada pembuat kebijakan baik dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif baik dalam rangka membuat aturan hukum maupun dalam bidang penerapan hukum menuju kepada hal yang lebih baik daripada sebelumnya. Pada era reformasi ini banyak aturan hukum (undang-undang) yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah terlebih dahulu diminta masukan-masukan dari berbagai pihak, termasuk LSM dalam bidang masing-masing. Sehingga tampak bahwa peranan pengaruh dari LSM dalam mengubah suatu hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat cukup dominan.

F.   Kelompok Penekan (Pressure Group)
Kelompok penekan adalah sekumpulan orang yang mempunyai visi yang berlainan dengan visi dari orang-orang yang duduk dalam suatu lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan nasional terhadap sesuatu hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam dunia politik kelompok ini lazim dikenal dengan kelompok oposisi. Kelompok ini pada umumnya adalah orang-orang yang tidak masuk dalam lingkaran pemerintah yang berkuasa, dan tidak pula terwakili suaranya dalam salah satu partai politik tertentu, atau orang-orang yang kecewa terhadap wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif, termasuk juga terhadap orang-orang yang tidak puas dengan perkembangan penegakan hukum dan kinerja aparat pemerintah dalam suatu negara.
Orang-orang yang temasuk dalam kelompok penekan ini terdiri dari orang-orang berada dalam berbagai golongan dari lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah sampai kepada masyarakat kelas menengah dan atas. Mereka terkadang tidak mempunyai organisasi yang tetap sebagaimana layaknya anggota dari suatu lembaga sosial lainnya dalam masyarakat. Kelompok penekan juga bisa datang dari luar negeri atau organisasi internasional. Dengan kondisi domestik yang tidak stabil dan dikelilingi oleh suasana yang tidak menentu dan membutuhkan bantuan dari negara super power, atau negara kaya, sehingga mereka dengan mudah mencampur urusan dalam negeri negara yang meminta bantuan tersebut.
Dalam sosiologi hukum dikenal dengan teori gerakan sosial yang mengatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat sering terjadi ketidakpuasan terhadap bidang-bidang  tertentu yang dapat menimbulkan ketidaktentraman dan ketegangan dalam masyarakat yang kadang-kadang atas ketidaktentraman dan ketegangan ini timbul gerakan untuk mengadakan perubahan yang pada akhirnya menimbulkan suatu hukum baru. Biasanya kelompok penekan ini memperjuangkan keinginannya dan tujuan gerakannya dengan cara melakukan demonstrasi yaitu mengerahkan massa secara besar-besaran menentang kebijakan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aspirasi kelompoknya dan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan. Dengan cara berdemonstrasi seperti inilah meraka berharap pemerintah akan meninjau ulang dengan membuat kebijakan baru yang lebih sesuai dengan kepentingan rakya banyak.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengaruh dari kelompok penekan dan organisasi internasional terhadap suatu masalah dalam kelompok masyarakat suatu bangksa dapat mempengaruhi kebijakan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara negara. Meskipun tidak semua perjuangan kelompok penekan berhasil mempengaruhi kebijakan negara, tetapi banyak juga perjuangan kelompok penekan ini dapat berhasil diperjuangkan sehingga kebijakan yang telah ditetapkan terpaksa harus diubah, yang pada akhirnya berubah pula pada produk hukum yang dibuatnya.
Hal ini dapat dilihat dari campur tangannya urusan dalam negeri Indonesia dari lembaga organisasi Internasional Monetary Fund (IMF) sampai pada batas-batas yang sangat mengkhawatirkan yaitu cair tidaknya pinjaman baru sangat ditentukan oleh tekanan-tekanan dari organisasi tersebut untuk melaksanakan kebijakan dalam negeri yang menerima donor. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh dari kelompok penekan dan tekanan organisasi internasional dalam masalah-masalah tertentu akan mengakibatkan pada perubahan hukum dan pembentukan hukum.
    
G.  Kesimpulan
Aspek politik merupakan salah satu aspek yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap hukum baik dalam proses pembentukan suatu produk hukum maupun dalam tatanan penerapannya. Aspek politik tersebut diantaranya melalui politik kekuasaan oleh penguasa dalam hal ini pemerintah dan DPR proses pembahasan dan pembentukan suatu produk hukum, pengaruh partai politik yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah, pengaruh LSM terhadap hukum dan pengaruh kelompok penekan dalam menentukan materi/substansi hukum.

DAFTAR  PUSTAKA

Buku-Buku  
                                                            
      Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, 2005, Kencana, Jakarta.
      Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.
      Daniel S. Lev, 1990, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
      Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
      Soerjono Soekanto, 1994,  Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
      Walter Lippman, 1999, Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul  The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

      .                 



[1] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. hlm 14.
[2] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm 1.
[3] Ibid
[4] Moh. Mahfud MD, op.cit, hlm 10.
[5] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm 56.
[6] Achmad Ali, op.cit. hlm 57
[7] Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990. hlm 18.
[8] Daniel S. Lev, op cit. hlm 19
[9] Walter Lippman. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul  The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar