SISTEM PEMBALIKAN BEBAN
PEMBUKTIAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
20 TAHUN 2001
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pembangunan Nasional
bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil,
makmur, dan sejahtera tersebut, salah satu langkah yang perlu secara
terus-menerus ditingkatkan diantaranya dengan melakukan upaya-upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana yang berkembang ditengah-tengah kehidupan
masyarakat pada umumnya, serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
Tindak pidana korupsi
merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan
pembangunan. Akibat yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yaitu
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara sehingga menghambat
pembangunan nasional, serta merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas,
serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.
Perkembangan tindak
pidana korupsi di Indonesia tergolong tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa
korupsi sebagai suatu virus yang dengan mudahnya menyebar ke seluruh tubuh /
organ pemerintahan dalam waktu yang relatif singkat dan cenderung mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas
maupun kuantitasnya dan telah menjadi salah satu permasalahan nasional.
Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan karena
dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi, keluarga, kelompok dan kroninya.
Oleh karena itu, dalam mengantisipasi dan
menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana
yang bersifat sistematik memerlukan langkah-langkah pencegahan dan
pemberantasan yang bersifat komprehensif, sistematis, dan berkesinambungan.
Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang
efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik
oleh seluruh komponen baik pemerintah maupun masyarakat sehingga penanggulangan
dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.
Namun demikian, meskipun penanggulangan
tindak pidana korupsi telah diprioritaskan, diakui bahwa tindak pidana korupsi
termasuk jenis perkara yang sulit dalam penaggulangan maupun pemberantasannya. Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini
dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi
yang memiliki intelektualitas tinggi oleh karena itu korupsi dikelompokan
sebagai white collar crime (kejahatan kerah putih), sehingga membutuhkan
upaya dan komitmen yang sungguh-sungguh dari aparat penegak hukum dalam
mengungkap tindak pidana korupsi yang terjadi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi yaitu dengan
mengerluarkan Undang-Undang
no 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah
direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Adapun tujuan yang diemban dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini adalah harapan untuk
dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi
masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap
tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memuat ketentuan pembuktian yang berbeda dari ketentuan pembuktian perkara pidana
biasa. Dimana ketentuan-ketentuan yang di atur dalam undang-undang tersebut
mengatur tentang hak-hak seorang terdakwa berdasarkan asas praduga tak bersalah
(presumption in innoncent) yang sedikit dikurangi. Alasan yang
dipergunakan mengenai pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana
biasa, berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi yang disebabkan
pelaku tindak pidana korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu
pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi dan bahaya yang
diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas,
salah satu pembuktian khusus yang berbeda dari asas praduga tak bersalah (presumption
in innoncent), adalah ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian. Terdakwa dibebankan oleh hakim untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa
mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa.
Ketentuan tesebut memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi
kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan,
yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang bahwa
ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan di lain pihak Penuntut
Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Pengalaman
empiris yang terjadi selama ini menunjukan, walaupun secara teoritis beban
pembuktian telah di atur melalui Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, namun menurut hemat penulis kuantitas maupun kualitas tindak pidana
korupsi belum menunjukan arah penurunan yang signifikan. Permasalah inilah yang
hendak penulis kaji dan analisis, kaitan antara Pasal 37A dan 38A tentang
pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam rangka
optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
adalah bagaimanakah penerapan sistem pembalikan beban pembuktian menurut
ketentuan Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :untuk
mengetahui penerapan
sistem pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini memberikan
kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan
referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang penerapan sistem pembalikan beban
pembuktian menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Sistem Pembuktian
Sistem berasal dari
istilah Systema (Bahasa Yunani), yang berarti sesuatu yang teroganisasi,
suatu keseluruhan kompleks. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara
sistem dan sub sistem, sebab sub sistem adalah bagian dari suatu sistem. Jadi,
sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu kesatuan.[1]
Mengacu pada pengertian tersebut, maka sistem pembuktian dapat diartikan
sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan
berhubungan satu dengan lainnya serta saling mempengaruhi dalam suatu kesatuan.
Pembuktian secara etimologi berasal dari
bukti yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata
bukti jika mendapat awalan pe- dan akhiran -an maka berarti proses, perbuatan,
dari membuktikan, secara terminologi pembuktian berarti usaha untuk menunjukkan
benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.[2]
Pembuktian
dari sudut bahasa Indonesia, adalah berasal dari kata bukti yang berarti suatu
hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran
sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya), membuktikan berarti memberikan atau
memperlihatkan bukti. [3]
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan
yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh
undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan.[4]
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal penting oleh karena
dengan bukti yang ada akan dijadikan dasar dalam penuntutan oleh penuntut umum,
dan pemutusan perkara oleh hakim.[5]
Menurut Darwan Prinst bahwa Sistem Pembuktian mengandung arti bahwa benar
suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.[6]
Pembuktian
merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang
pengadillan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari
hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dinyatakan bersalah,
kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu para hakim harus
berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah
pembuktian. [7]
Sistem
pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan,
penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu
dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya [8]
1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan
dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum,
terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan
penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa
bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan
alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa
leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang
telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar
sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang
ditemukan selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak
meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan,
kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak
demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah akan
mendapat hukuman.
2. Harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang
secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
Dalam pemeriksaan perkara pidana (korupsi), hakim mempunyai kewajiban
menerapkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum pembuktian dan alat-alat bukti
(Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP) guna memperoleh kebenaran materiil,
terhadap :
1. Perbuatan manakah yang dapat dianggap
terbukti.
2.
Apakah
telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
3.
Delik
apa yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan terdakwa tersebut.
4.
Pidana apa yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
Mengkaji keempat persoalan ini bukan pekerjaan mudah, jika hendak
memperoleh kebenaran materil. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kebenaran itu
biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau.
Oleh karena itu, kebenaran atas keadaan pada masa lampau, sukar bagi hakim
untuk menyatakan kebenarannya, tidak dapat mungkin dicapai. Maka hukum acara
pidana hanya dapat menunjukan jalan berupaya guna mendekati sebanyak mungkin
persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Menelusuri kebenaran
sejati sangat luas aspeknya, oleh karena dalam KUHAP ada beberapa tahapan dalam
mencari kebenaran sejati yakni melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan persidangan.[10]
B. Teori-Teori Pembuktian
Ilmu pengetahuan hukum saat ini
mengenal beberapa teori pembuktian. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi
menurut waktu dan tempat (negara), sebagai berikut :
1. Teori Pembuktian yang hanya berdasarkan
kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif (positif
wettelijk bewijstheorie).
Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga teori
pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori ini berusaha menyingkirkan
segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat
secara tegas upaya hakim hanya tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah
alat bukti yang formil tercantum dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan
putusan.[11]
Menurut Wirjono Prodjodikoro
menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya
dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada keyakinannya tentang
kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. [12]
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat
kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap
seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di
atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru
dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar
terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
[13]
Sistem
pembuktian menurut undang-undang positif atau lebih singkatnya sistem
pembuktian positif adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat
bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.[14]
2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim
semata-mata (convition intime).
Artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim
telah menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul
dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini
menurut Martiman Prodjohamidjojo tidak dianut dalam peradilan umum ataupun
dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri.[15]
Menurut
Wirjono Prodjodikorom, sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia,
yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan
hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan
medium atau dukun.[16]
Teori
ini disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Hal ini
dikarenakan bahwa alat bukti berupa pengakuan sendiri tidak selalu membuktikan
kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar
telah melakukan perbuatan yang didakwakan.[17]
3. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim
dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee).
Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas
dasar pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat dan memberikan
keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakan alat bukti yang lain. Menurut teori sistem pembuktian ini, peranan keyakinan hakim sangat
penting. Namun hakim baru dapat menghukum seorang terdakwa apabila ia telah
meyakini bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan
tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu
rangkaian pemikiran (logika). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan
alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Alasan
tersebut harus benar-benar dapat diterima oleh akal.
[18]
4.
Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat
bukti dalam undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheori).
Dalam sistem ini ada dua hal yang menjadi syarat
yaitu wettelijk yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh
undang-undang dan negatif maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan
ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana
menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. [19]
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara
kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan
tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan
ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.
Dari
hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu,
terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Dimana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang. [20]
Dalam pengaturan hukum acara
selanjutnya, sistem pembuktian ini mengalami perkembangan. Dalam tindak pidana
tertentu misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dikenal
sistem pembuktian terbalik (sifting of burden proff). Dalam pembuktian
yang demikian, penuntut umum tidak lagi diwajibkan untuk membuktikan dakwaannya
melainkan dibebankan kepada terdakwa bahwa tindak pidana yang dituduhkan
kepadanya adalah tidak benar. [21]
C. Kekuatan Pembuktian
1. Keterangan Saksi
Dapat
tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus
diperhatikan oleh Hakim. Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dikatakan dalam
menilai keterangan saksi, Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa
hal, yakni :
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu
dengan saksi yang lain.
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan
alat bukti yang lain.
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh
saksi memberikan keterangan tertentu.
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi
itu dipercaya.
Jika hakim harus berpegang pada
ketentuan tersebut, maka setiap saksi harus dinilai mengenai cara hidup serta
sesuatu yang pada umumnya dapat berpengaruh pada cara hidup dan kesusilaan.
Seperti adat istiadat, martabat, kebiasaan, pergaulan dan lain-lain, dapatlah
dibayangkan hal itu tidka mudah dilaksanakan. Oleh karena itu dalam hal ini
diberikan kebebasan kepada Hakim untuk memberi penilaiannya. Keterangan saksi
yang dinyatakan dimuka sidang harus mengenai apa yang ia lihat dengan mata
kepala sendiri, ia dengar dengan telinganya sendiri, ia rasakan dengan
perasaannya sendiri, ia alami dengan panca inderanya sendiri, adalah keterangan
saksi sebagian dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP.
Sedangkan keterangan saksi yang
diperoleh dari pihak ketiga (orang lain), misalnya pihak ketiga menceritakan
tentang suatu kejadian, maka kesaksian demikian disebut testimonium de
auditu. Keterangan saksi yang demikian tidak dapat diartikan sebagai saksi,
menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, tetapi dapat dianggap sebagai tambahan alat
bukti, asal dipenuhi Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
Dalam setiap kesaksian harus disebutkan
alasan saksi mengapa memberikan keterangan ini, atau dengan kata lain segala
sebab tentang pengetahuan saksi. Jadi saksi harus memberikan keterangan tentang
sebab musababnya, tentang suatu kasus yang sedang diperiksa. Suatu keterangan
saksi tanpa disertai alasan sebab musababnya atau alasan pengetahuannya, harus
dianggap sebagai alat bukti kurang sempurna (Pasal 185 ayat (6) huruf c KUHAP).
Kemudian ditegaskan dalam Pasal 185
ayat (5) KUHAP, bahwa pendapat atau rekaan (rekayasa) yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Jadi rekayasa pendapat dari
hasil akal (ratio concludendi) tidak dianggap sebagai keterangan saksi.
Dalam memberikan keterangan saksi
diharuskan bersumpah atau berjanji menurut agama atau kepercayaan
masing-masing, sehingga memiliki nilai kesaksian sebagai alat bukti. Apabila
keterangan saksi tidak disertai dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan
itu sesuai dengan satu yang lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana
saksi yang disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat 7) KUHAP.
Akhirnya, Hakim tidak boleh menjatuhkan
putusan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan kepada satu saksi saja, oleh
karena satu saksi belum mencukupi minimum alat bukti, dan dianggap sebagai alat
bukti yang kurang cukup (Pasal 185 ayat 2) KUHAP. Artinya kekuatan pembuktian
dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh Hakim. Ketentuan Pasal 185
ayat (2) KUHAP ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat
bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3) KUHAP.
Sering terjadi dalam praktek, suatu
peristiwa dibutuhkan beberapa orang saksi dalam arti bahwa seorang saksi dengan
saksi lain pengetahuannya berbeda atau seorang saksi hanya mengetahui fase dari
keseluruhan kejadian, hingga perlu adanya beberapa saksi untuk didengar
keterangannya. Jadi penilaian terhadap beberapa saksi itu masing-masing berdiri
sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain tentang berbagai peristiwa sehingga
untuk membuktikan suatu peristiwa diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim.
2. Keterangan Ahli
Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, diberi
pengertian umum tentang keterangan ahli yang menyebutkan bahwa keterangan ahli
ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 KUHAP menyebutkan pengertian keterangan ahli
dalam proses permeriksaan sidang yaitu apa yang dinyatakan oleh seorang ahli
dalam sidang.
Dari keterangan pihak ketiga untuk
memperoleh kebenaran sejati, Hakim dapat minta bantuan seorang ahli, dalam
praktek sering disebut sebagai saksi ahli (expertis, deskundigen).
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus dan objektif dengan maksud membuat terang suatu
perkara atau guna menambah pengetahuan Hakim sendiri dalam suatu hal. Sebagai
asas dalam peradilan, Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang yang
diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang tidak mengaturnya. Karena
itu hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang
mendalam tentang suatu hal yang menyangkut perkara yang ditanganinya.
Mengenai saksi ahli, diatur dalam Pasal
160 ayat (1) KUHAP yang menetapkan bilamana pengadilan menganggap perlu,
seorang ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu selesai memberikan
keterangan, dan dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP ditentukan saksi ahli yang tidak
disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang
sah tetapi hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Mengenai siapa atau apa yang disebut
sebagai ahli tidak diberi penjelasan oleh KUHAP, sehingga dengan demikian
tentang ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan dan
keahliannya yang khusus tetapi ditentukan oleh karena panggilan pengadilan yang
wajib dipenuhi. Dalam praktek di negara kita, pendidikan formal yang menjadi
ukurannya, seharusnya perlu ditambahkan syarat pengalaman dalam salah satu
bidang.
3. Alat Bukti Surat
Menurut Pitlo, surat adalah pembawa
tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. Atas bahan
apa dicantumkannya tanda bacaan ini di atas kertas, karton kayu atau kain
adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari
huruf yang kita kenal atau dari huruf cina, tanda stenografi atau dari tulisan
rahasia yang disusun sendiri, yang tidak termasuk dalam kata surat adalah foto
dan peta, barang-barang ini tidak memuat tanda bacaan. [22] Bandingkan dengan Pasal
26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Surat sebagai alat bukti
tertulis dapat dibagi dalam dua golongan yaitu akte dan surat-surat lain bukan
akte. Sedangkan akte dapat dibagi dalam dua : akte otentik dan akte dibawah
tangan. Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang
menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja
untuk pembuktian. Keharusan tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai
akte dari Pasal 1869 KUHPdt.
Akte otentik adalah suatu
akte yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat akte itu
dibuat (Pasal 1868 KUHPdt). Akte otentik yaitu suatu akte yang dibuat oleh dan
dihadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang. Sedangkan Akte dibawah
tangan ialah akte yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh pihak-pihak tanpa
bantuan dari pegawai umum yang berwenang untuk itu (Pasal 1874 KUHPdt).
Surat sebagai alat bukti
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP dan diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi
surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yaitu :
a.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat
Umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b.
Surat
yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.
c.
Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi daripadanya.
d.
Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Pengertian
petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yaitu perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. Sedangkan ayat (2), perbuatan, kejadian atau
keadaan itu hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi, b. Surat, c.
Keterangan terdakwa. Menurut Wiryono Prodjodikoro, apa yang disebut petunjuk
sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan
menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa. [23]
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan
terdawa sebagai alat bukti disebut dalam Pasal 184 huruf e KUHAP dan juga
disebut dalam Pasal 188 KUHAP, tentang kadar keterangan terdakwa adalah sama
dengan keterangan tersangka di muka penyidik (Pasal 52 Jo Pasal 117 KUHAP),
artinya terdakwa memberikan keterangan secara bebas. Keterangan terdakwa dalam
dalam Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP adalah apa yang dinyatakan oleh
terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau
alami sendiri. Selain itu, keterangan terdakwa dapat berisi pembenaran
seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebut dalam surat dakwaan, dan
penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan dalam surat
dakwaan.
Menurut
Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang
dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal keterangan
itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.
Pasal
189 ayat (3) KUHAP memberi penegasan bahwa keterangan terdakwa di muka sidang
hanya merupakan bukti bagi diri sendiri, dan tidak bagi kawan terdakwa. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menjelaskan bahwa
keterangan dari terdawa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 52 KUHAP menjelaskan
bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim.
Pengertian kebebasan memberi keterangan dalam penjelasan pasal demi pasal
adalah supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada
yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh
karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau
terdakwa.
D. Tindak Pidana Korupsi
Pada
mulanya pemahaman korupsi mulai berkembang di barat (permulaan abad ke-19,
yaitu setelah adanya revolusi Perancis, Inggris, dan Amerika) ketika prinsip
pemisahan antara keuangan umum/negara dan keuangan pribadi mulai diterapkan. [24]
Korupsi berasal dari bahasa
latin corruptio atau corruptus, yang berarti perbuatan busuk,
buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari
kesucian dan kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[25] Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua.
Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption,
corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie,
korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia
yaitu korupsi. [26]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. [27]
Dalam Kamus Hukum menuturkan
bahwa perkataan korup berarti busuk; rusak; busuk; suka menerima uang sogok;
menyelewengkan uang / barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan
menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Korupsi dalam kamus tersebut
diartikan penyelewengan uang perusahaan atau sebagai tempat seseorang bekerja
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. [28]
Menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan Corruption,
yang berarti kerusakan. Di samping itu, perkataan korupsi dipakai pula untuk
menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada
ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan. [29]
Definisi Yuridis dari Tindak Pidana Korupsi adalah Tindak Pidana Korupsi
yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang, yang memberi batas-batas dalam
pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Barda Nawawi Arief,
dilihat dari sistematika Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, maka ruang lingkup tindak pidana korupsi yang akan
diberantas terdiri dari dua kelompok tindak pidana, yaitu:
Ke-1:
Kelompok Tindak Pidana (TP) dalam Bab II yang berjudul ”Tindak Pidana Korupsi”…,
yaitu delik-delik yang langsung berhubungan dengan perbuatan melakukan atau
menunjang terjadinya korupsi (diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16); dan
Ke-2:
Kelompok Tindak Pidana (TP) dalam Bab III yang berjudul “Tindak Pidana Lain
yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi”…, yaitu delik-delik yang
berhubungan dengan proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (dilakukan
oleh orang-orang yang menghalangi proses, si pengadu, saksi, dan aparat/pejabat
yang menangani perkara korupsi). Tindak Pidana (TP) ini diatur dalam Pasal 21
sampai dengan Pasal 24. [30]
Dari berbagai definisi korupsi di atas, sebagai pedoman dalam penulisan
ini korupsi diartikan dalam pengertian yuridis Tindak Pidana Korupsi yang
dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang, yang memberi batas-batas dalam
pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
BAB III
PEMBAHASAN
Telah diakui bahwa korupsi sudah
dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau extra ordinary crime,
sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai beyond the law karena
melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic)
dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic), baik birokratik
ekonomi maupun pemerintah. Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan
kekuasaan, ini akan sangat sulit pembuktiannya. Selain itu kehendak adanya
pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan
yang mungkin melibatkan para birokrasi tersebut.
Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu extra
ordinary crime yang sulit pembuktiannya, maka sebagian besar kalangan
(akademisi dan praktisi) berpendapat bahwa penanganannya harus dilakukan
sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula yaitu melalui pergeseran komprehensif
terhadap sistem pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam hukum
pidana formil ini tetap menempatkan perangkat Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak
yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini diletakan pada
terdakwa.
Istilah sistem pembuktian terbalik lebih
dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada
masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Menurut Andi Hamzah,
istilah ini sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan pendekatan gramatikal.
Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering Van bet Bewijslast atau Reversal
Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi pembalikan
beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang
bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Disini ada suatu beban
pembuktian yang diletakan kepada salah satu pihak, yang universalitais terletak
pada Penuntut Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang sangan
mendesak beban pembuktian itu diletakan
tidak lagi pada Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan
beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai pembalikan beban
pembuktian yang bagi masyarakat awam bukan hukum cukup dikenal dengan istilah
sistem pembuktian terbalik. [31]
Pendapat
Andi Hamzah ini sungguh dapat dibenarkan, karena tanpa meletakan bunyi kata
beban, maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata
beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa, sehingga
bisa saja ditafsirkan secara harfiah yang hanya melihat pergeseran tata urutan alat
bukti saja. Namun demikian, terlepas adanya polemik tersebut, publik cukup
mengenal istilah pembuktian terbalik sebagai bagian dari proses terobosan hukum
dalam kerangka mempermudah pembuktian suatu perkara korupsi.[32]
Asas
pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada
diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal.
Dalam hukum pidana formil, baik sistem continental maupun anglo saxon,
mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajiban kepada Jaksa Penuntut
Umum, hanya saja dalam certain cases diperkenankan penerapan dengan
mekanisme yang diferensial yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau
dikenal sebagai Reversal of Burden Proof (Omkering Van Bewijslast),
itupun tidak dapat dilakukan secara overall, namun memiliki batas-batas
yang seminimal mungkin tidak melakukan destruktif terhadap perlindungan Hak
Asasi Manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa. [33]
Sebelum
memasuki pembahasan substansi pembahasan ini perlu dilakukan suatu klarifikasi
mengenai makna dari : a. Perbedaan antara Shifting of Burden Proof dan Reversal
of Burden Proof, b. Extra ordinary terhadap kejahatan korupsi dan
penanganannya memerlukan perangkat extra ordinary pula. Makna Shifting
of Burden Proof adalah suatu pergesaran beban pembuktian yang dianut oleh
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Menurut Oemar Seno Adji, pada periode
undang-undang ini belum terjadi suatu pembalika beban pembuktian karena asas
ini potensial bertentangan dan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia, khususnya
perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak terdakwa. Beban pembuktian dalam
periode ini tetap diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Ide
untuk memberlakukan asas pembalikan beban pembuktian secara total dan absolute
telah tidak diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan-alasan di atas.
Karenanya meskipun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terdapat suatu
perumusan bahwa terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan
korupsi, namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan terjadi tindak
pidana korupsi tetap berada ditangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi
adalah pergeseran (Shifting) bukan suatu pembalikan (Reversal)
beban pembuktian, begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Kedua
produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu
pergeseran saja bukan pembalikan beban pembuktian, sehingga istilah yang
populer pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pembuktian terbalik
adalah sistem pembuktian beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang.
Terbatas, karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan
secara total dan absulute terhadap semua delik yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sedangkan berimbang artinya beban pembuktian
terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Karenanya banyak yang
berpendapat bahwa implementasian asas pembalikan beban pembuktian pada kedua
produk perundang-undangan ini hanyalah gerakan simbilis yang tidak memiliki
daya represi terhadap pemberantasan korupsi.[34]
Alasan
utama mengajukan asas ini adalah bahwa tindak pidana korupsi sangat sulit
pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian
yang sangat sulit, juga tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para
profesional yang memiliki edukasi yang akseptabel bagi kemungkinan dilakukan
kejahatan tersebut. Selain itu, integritas, kapabilitas dan aktivitas pelaku
pada umumnya sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi
ini, artinya pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk
menghindari terjadinya pelacakan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi ini.[35]
Meningat
khususnya peraturan perundang-undangan ini (lex specialis) maka
penanganan tindak pidana korupsi inipun harus bersifat khusus. Kekhususan
penanganan ini yaitu melalui perubahan sistem pembuktian yang semula beban
pembuktian diletakan kepada Jaksa Penuntut Umum beralih kepada terdakwa.
Terdakwa wajib membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah perbuatan
melawan hukum (korupsi).
Dengan
meletakan beban pembuktian kepada terdakwa, maka asas yang diberlakukan dalam
tindak pidana korupsi ini pun beralih dari presumption of innocence (praduga
tidak bersalah) menjadi preseumption of corruption (praduga korupsi)
atau presumption of guilt (praduga bersalah). Karena itu sering
dikatakan bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian berpotensi
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dapat dibayangkan seorang yang
didakwa melakukan tindak pidana korupsi justru harus membuktikan bahwa dirinya
tidak melakukan perbuatan korupsi. Sehingga berdasarkan penelitian akademis dan
praktis, maka kehendak diberlakukannya asas ini tidak dalam konteks total dan absolut,
tetapi pendekatan komparatif negara yang memberlakukan asas ini.[36]
Sistem
pembalikan beban pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat absolut, artinya
hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik yang berkenaan
dengan gratification (pemberian) yang berkaitan dengan suap (bribery)
sebagai hasil studi komparatif dari negara Anglo-saxon misalnya Malaysia
maupun Singapura, sebagai cikal bakal sistem pembalikan beban pembuktian tetap
mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Begitu
pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 yang meliputi sistem pembalikan beban pembuktian ini.
Dari
pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti terbatas
atau khusus dari implementasi sistem pembalikan beban pembuktian di Indonesia,
adalah : [37]
1. Sistem pembalikan beban
pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik gratification (pemberian)
yang berkaitan dengan bribery (suap), dan bukan terhadap delik-delik
lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban
pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
2.
Sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
perampasan dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana
tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Apabila terdakwa berdasarkan tuntutan
Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan salah satu dari delik-delik
tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya, terdakwa wajib
membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian) bahwa harta
bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
3.
Sistem pembalikan beban
pembuktian terbatas penerapan asas lex temporisnya, artinya sistem ini
tidak dapat diberlakukan secara retro-aktif (berlaku surut) karena
potensial terjadinya pelanggaran HAM, pelanggaran terhadap asas legalitas.
4.
Sistem pembalikan beban
pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas Daderstrafrecht.
Dalam arti memperhatikan keseimbangan dan kepentingan antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu dengan tidak melanggar hak-hak prinsipil
dari pelaku.
Dari
penjelasan tersebut di atas, bahwa sistem pembalikan beban pembuktian
diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 delik perbuatan saja,
yaitu :
1. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Penyuapan
Dalam Pasal 12A yang diadopsi
dari sistem Anglo-saxon, memiliki sifat khusus, yakni delik mengenai gratification
(pemberian) yang berkaitan dengan bribery (penyuapan). Pemberian ini
ditujukan kepada pegawai negeri (dalam arti luas) dan penyelenggaran Negara
yang memiliki kekuasaan yang melekat pada jabatannya tersebut dan telah
melakukan pekerjaan bertentangan dengan kewajibannya. Suatu pemberian dianggap
suap sampai dibuktikan bukan suap oleh penerima pemberian tersebut (berkaitan
dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 419 dan Pasal 420
KUHP).
Adapun bunyi ketentuan Pasal
12A ayat (1), sebagai berikut :
Setiap
pemberian kepada pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 atau kepada penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang nilainya
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, dianggap pemberian suap
sampai dibuktikan sebaliknya oleh penerima pemberian tersebut.
Menurut penjelasan pasal ini,
yang dimaksud dengan pemberian diartikan secara luas, antara lain meliputi
berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Pemberian sebagaimana ditentukan di dalam undang-undang ini
adalah pemberian yang diterima di dalam atau diluar negeri baik dilakukan
secara elektronik maupun tanpa menggunakan alat elektronik. Pemberian ini
menurut penjelasan undang-undang ini, selalu berhubungan dengan jabatan dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya baik sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara negara, dibuktikan dengan pembalikan beban pembuktian.
Menurut
ayat (2) disebutkan bahwa pidana yang berlaku bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut adalah pidana yang
tercantum pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 419 Jo Pasal
420 KUHP, kecuali apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian tersebut melaporkan pemberian tersebut kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebelum penyidikan dimulai dan dalam waktu paling lambat
15 (lima belas) hari sejak tanggal diterimanya pemberian tersebut (ayat 3).
Komisi Pemberantasan Korupsi inilah yang akan menentukan pemberian tersebut
dapat dimiliki oleh penerima ataukah dirampas untuk negara (ayat 4). Sedangkan
bagi setiap pemberian dibawah Rp 10.000.000,- tetap menjadi kewajiban Jaksa
untuk membuktikan bahwa pemberian itu sebagai suap (ayat 5).
Adapun bunyi ketentuan Pasal
12A ayat (2) :
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah pidana
yang tercantum dalam Pasal 12 undang-undang ini yang hanya mengacu pada Pasal
419 atau Pasal 420 KUHPidana.
Pasal 12 ayat (3) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku jika penerima pemberian melaporkan pemberian yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum penyidikan dimulai dan dalam jangka
waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal pemberian
tersebut diterima.
Pasal 12 ayat
(4) :
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menentukan
pemberian tersebut dapat dimiliki oleh penerima atau diserahkan kepada Negara.
Pasal 12 ayat (5) :
Bagi pemberian yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian pemberian tersebut bukan
merupakan suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 undang-undang ini yang hanya
mengacu pada Pasal 419 atau Pasal 420 KUHPidana, dilakukan oleh Penuntut Umum.
Dari kelima ayat Pasal 12A
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 12 ayat (1) itu belumlah
menjadi delik (tindak pidana) selama si penerima (pegawai negeri atau
penyelenggara negara) melaporkan pemberian tersebut kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Apabila si penerima tidak melaporkan pemberian tersebut, maka terhadap
yang bersangkutan dikenakan (dugaan) tindak pidana korupsi (delik) berdasarkan
Pasal 419 (pegawai negeri) Jo Pasal 420 (Hakim) KUHP yang telah diintrodusirkan
ke dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan bagi si penerima wajib
membuktikan bahwa pemberian itu bukanlah korupsi (suap). Ada 3 unsur yang
esensial dari delik suap : 1. menerima hadiah atau janji, 2. berkaitan dengan
kekuasaan yang melekat pada jabatan, 3, bertentangan dengan kewajiban dan
tugasnya.
Si penerima wajib membuktikan
bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa
pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus
ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum.
2. Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian terhadap Perampasan Harta Benda Terdakwa
Sistem pembalikan beban
pembuktian diberlakukan terhadap perampasan harta benda Terdakwa (Pasal 38A),
artinya Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 sampai dengan
16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 wajib membuktikan harta benda yang
diperoleh sesudah tindak pidana korupsi yang didakwakan bukan berasal dari
tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan harta benda tersebut diajukan
Penuntut Umum saat membacakan tuntutan (requisitoir) pada perkara pokok.
Masalah perampasan berlaku
untuk semua delik tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, artinya penerapan asas pembalikan beban
pembuktian haruslah ada proses hukum yang mendahuluinya terhadap seseorang,
sedangkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 tetap
memakai pembuktian biasa (Penuntut Umum yang membuktikan).
Jadi
sistem pembalikan beban pembuktian sama sekali tidak diterapkan terhadap
pelanggaran delik Pasal 2 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
artinya kewajiban pembuktian atau sistem pembuktian tentang ada atau tidaknya
pelanggaran terhadap Pasal 2 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tetap ada pada Jaksa Penuntut Umum (Pasal 37A ayat 3), hanya saja apabila Jaksa
Penuntut Umum melalui requisitoir (tuntutan) menganggap Terdakwa telah
terbukti melanggar salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dan harta benda Terdakwa dikenakan perampasan,
maka perampasan terhadap harta benda Terdakwa itulah yang wajib dibuktikan
secara terbalik terhadap perolehan harta benda Terdakwa hanyalah terjadi dalam
proses di pengadilan, bukan saat proses penyidikan maupun penuntutan. Hal ini
bertujuan untuk mengakomodir masukan masyarakat yang mengkhawatirkan terjadinya
korupsi gaya baru (pemerasan dan penyuapan) apabila beban pembuktian diterapkan
pada saat proses penyidikan dan penuntutan yang sifatnya tidak transparantif
tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian
menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana di atur dalam Pasal 37A
dan 38A, bahwa penerapan Pasal 37A hanya dapat dipergunakan di dalam
persidangan perkara korupsi bagi mereka yang diduga melakukan delik gratifikasi
ataupun suap (khusus pegawai negeri dalam arti luas atau penyelenggara negara)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Tindak
pidana ini baik gratifikasi maupun suap pendeteksiannya selain tertangkap
tangan, kecuali gratifikasi hanya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi yakni melalui mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Sedangkan Pasal 38A, penerapannya hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
perampasan harta benda Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2
sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Tuntutan perampasan harta benda diajukan Penuntut Umum pada saat
membacakan requisitoir (tuntutan) dalam perkara pokoknya dan hal ini
bisa dilakukan penyitaan terhadap harta benda milik Terdakwa yang diperoleh
setelah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan atau patut diduga bahwa harta
benda yang dimiliki Terdakwa adalah harta benda yang diperolehnya dari kejahatan
korupsi, sehingga Terdakwa dibebankan untuk membuktikan bahwa harta benda yang
disita tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi.
B. Saran-Saran
Berdasarkan pembahasan sebagaimana yang telah
disimpulkan di atas, maka disarankan :
1. Agar pengaturan pembalikan beban
pembuktian suatu perkara korupsi dapat diterapkan secara efektif, maka sudah
saatnya melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktian ke arah asas praduga
bersalah (presemption of guilt) dengan merujuk kepada filosofi dan substansi
ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 yaitu konsep HAM Indonesia sehingga tetap
melindungi kepentingan hak-hak individu.
2. Agar pelaksanaan sistem pelaporan
dalam bentuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat
dilakukan secara intensif dan tegas, sehingga memonitor terjadinya pidana suap
atau gratifikasi dengan berpedoman kepada Pasal 5 dan 10 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Andi Hamzah, Perkembangan Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
, Pemberantasan
Korupsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
,
Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2004.
Arya Maheka, Mengenali
dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006.
A.S
Hormby, The News Webster International Dictionary, Oxford,1980.
Bambang
Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta, 1984.
Barda Nawawi Arief, Kapita
Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik,
Djambatan, Jakarta, 1998.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian
Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Ilham Gunawan, Postur
Korupsi di Indonesia, Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya, dan Politis, Angkasa, Bandung, 1990.
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi
Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007.
Martiman
Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1983.
, Pembahasan Hukum
Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnyaparamita, Jakarta, 1988.
|
Moh. Askin dan Suhandi Cahaya, Hukum
Acara Di Luar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011.
Pitlo,
Bewijs en Verjaring Naar het nederlands Bugerlijk Wetboek, Wetbook,
Nederlands, 1968.
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001.
Sudarto, Hukum dan Hukum
Pidana, Alumni, Bandung, 1986.
Sudarsono, Kamus
Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Wirjono
Prodjodikoro, Pembuktian Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1995.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Makalah
Andi Hamzah, Ide yang melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian,
disampaikan pada acara Seminar Nasional Debat Publik tentang Pembalikan Beban
Pembuktian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta
tanggal 11 Juli 2001.
[1] A.S
Hormby, The News Webster International Dictionary, (Oxford : 1980), hal
877.
[2] Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut
Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 25.
[3]
Poerwadamita dikutip oleh Moh, Askin
dan Suhandi Cahaya, Hukum Acara diluar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia,
Jakarta, 2011. hal 21.
[4] M.Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan
Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 273.
[5] Moh, Askin dan Suhandi Cahaya, Hukum
Acara diluar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011. hal 21.
[6] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam
Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998. hal 133.
[7] M.Yahya Harahap, op cit, hal 793.
[8] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 11.
[9] M.Yahya Harahap, op cit, hal 274.
[10]
Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek, Pradnyaparamita, Jakarta, 1988, hal 133
[11]
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakata, 1984, hal 38
[12]
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996,
hal 259
[13]
Ibid, hal 278.
[14] Hari Sasangka dan Lily Rosita, op cit,
hal 16.
[15]
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Ghalia
Indonesia, Jakata, 1983, hal 12
[16]
Wirjono Prodjodikoro, Pembuktian Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan
dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1995, hal 72
[17]
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, op cit, hal 20
[18] M.Yahya Harahap, op cit, hal 277.
[19]
Martiman Prodjohamidjojo, op cit,
hal 14
[20] M.Yahya Harahap, op cit, hal
278-279.
[21] Moh, Askin dan Suhandi Cahaya, op cit. hal 23.
[22]
Pitlo, Bewijs en Verjaring Naar het nederlands Bugerlijk Wetboek, Nederlands
: Wetbook, 1968, hal 51
[23]
Wirjono Prodjodikoro, op cit hal 78
[24] Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006, hal. 13
[25] Ilham Gunawan, Postur Korupsi di
Indonesia, Tinjauan Yuridis, Sosiologis, budaya, dan Politis,, Angkasa, Bandung,
1990), hal. 8.
[26] Andi Hamzah, Pemberantasan
Korupsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 4
[27] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka: Jakarta, 2001, hal. 597
[28] Sudarsono, Kamus
Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 221
[29] Sudarto, Hukum dan Hukum
Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 115.
[30] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum
Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 72-73.
[31] Andi Hamzah, Ide yang melatarbelakangi
Pembalikan Beban Pembuktian, disampaikan pada acara Seminar Nasional Debat
Publik tentang Pembalikan Beban Pembuktian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum
Universitas Trisakti di Jakarta tanggal 11 Juli 2001, hal 24.
[32] Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan
Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal 328
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!