Selasa, 25 Maret 2014

SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB  I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
         Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, salah satu langkah yang perlu secara terus-menerus ditingkatkan diantaranya dengan melakukan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat pada umumnya, serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
         Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan. Akibat yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yaitu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara sehingga menghambat pembangunan nasional, serta merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.
         Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia tergolong tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan mudahnya menyebar ke seluruh tubuh / organ pemerintahan dalam waktu yang relatif singkat dan cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun kuantitasnya dan telah menjadi salah satu permasalahan nasional. Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan kroninya.
         Oleh karena itu, dalam mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat komprehensif, sistematis, dan berkesinambungan. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik oleh seluruh komponen baik pemerintah maupun masyarakat sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.
         Namun demikian, meskipun penanggulangan tindak pidana korupsi telah diprioritaskan, diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit dalam penaggulangan maupun pemberantasannya. Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi oleh karena itu korupsi dikelompokan sebagai white collar crime (kejahatan kerah putih), sehingga membutuhkan upaya dan komitmen yang sungguh-sungguh dari aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana korupsi yang terjadi.
         Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi yaitu dengan mengerluarkan Undang-Undang no 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Adapun tujuan yang diemban dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
         Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memuat ketentuan pembuktian yang berbeda dari ketentuan pembuktian perkara pidana biasa. Dimana ketentuan-ketentuan yang di atur dalam undang-undang tersebut mengatur tentang hak-hak seorang terdakwa berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption in innoncent) yang sedikit dikurangi. Alasan yang dipergunakan mengenai pembuktian khusus yang berlainan dengan perkara pidana biasa, berhubung sangat sulitnya pembuktian perkara korupsi yang disebabkan pelaku tindak pidana korupsi mempunyai kecakapan atau pengalaman dalam suatu pekerjaan tertentu yang memberikan kesempatan korupsi dan bahaya yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.
         Berkaitan dengan hal tersebut diatas, salah satu pembuktian khusus yang berbeda dari asas praduga tak bersalah (presumption in innoncent), adalah ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian. Terdakwa dibebankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tanpa mengurangi kewajiban Penuntut Umum untuk tetap membuktikan kesalahan terdakwa. Ketentuan tesebut memberikan gambaran watak hukum yang mengandung isi kontradiktif sekaligus menjamin dua macam kepentingan yang saling berhadapan, yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat membuktikan menurut Undang-Undang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan di lain pihak Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
         Pengalaman empiris yang terjadi selama ini menunjukan, walaupun secara teoritis beban pembuktian telah di atur melalui Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, namun menurut hemat penulis kuantitas maupun kualitas tindak pidana korupsi belum menunjukan arah penurunan yang signifikan. Permasalah inilah yang hendak penulis kaji dan analisis, kaitan antara Pasal 37A dan 38A tentang pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam rangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi. 

B.   Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimanakah penerapan sistem pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ?
     
C.  Tujuan Penulisan
                Tujuan penulisan makalah ini adalah :untuk mengetahui penerapan sistem pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

D.  Manfaat Penulisan
                Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang penerapan sistem pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 


BAB II
KERANGKA TEORI


A. Pengertian Sistem Pembuktian
               Sistem berasal dari istilah Systema (Bahasa Yunani), yang berarti sesuatu yang teroganisasi, suatu keseluruhan kompleks. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara sistem dan sub sistem, sebab sub sistem adalah bagian dari suatu sistem. Jadi, sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu kesatuan.[1] Mengacu pada pengertian tersebut, maka sistem pembuktian dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan lainnya serta saling mempengaruhi dalam suatu kesatuan.
                Pembuktian secara etimologi berasal dari bukti yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jika mendapat awalan pe- dan akhiran -an maka berarti proses, perbuatan, dari membuktikan, secara terminologi pembuktian berarti usaha untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.[2]
                Pembuktian dari sudut bahasa Indonesia, adalah berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya), membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti. [3]
                  Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.[4]         
               Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal penting oleh karena dengan bukti yang ada akan dijadikan dasar dalam penuntutan oleh penuntut umum, dan pemutusan perkara oleh hakim.[5]
               Menurut Darwan Prinst bahwa Sistem Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.[6]
               Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadillan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dinyatakan bersalah, kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu para hakim harus berhati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. [7]
               Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya [8]
               Ditinjau dari segi hukum acara pidana, maka arti pembuktian mengandung makna yaitu : [9]
1.  Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah akan mendapat hukuman.

2.  Harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.                      
               Dalam pemeriksaan perkara pidana (korupsi), hakim mempunyai kewajiban menerapkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum pembuktian dan alat-alat bukti (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP) guna memperoleh kebenaran materiil, terhadap :
1.      Perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.
2.      Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3.      Delik apa yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan terdakwa tersebut.
4.      Pidana apa yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

                Mengkaji keempat persoalan ini bukan pekerjaan mudah, jika hendak memperoleh kebenaran materil. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kebenaran itu biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau. Oleh karena itu, kebenaran atas keadaan pada masa lampau, sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenarannya, tidak dapat mungkin dicapai. Maka hukum acara pidana hanya dapat menunjukan jalan berupaya guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Menelusuri kebenaran sejati sangat luas aspeknya, oleh karena dalam KUHAP ada beberapa tahapan dalam mencari kebenaran sejati yakni melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan.[10]                                         
               
B.   Teori-Teori Pembuktian
                Ilmu pengetahuan hukum saat ini mengenal beberapa teori pembuktian. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara), sebagai berikut :                       
1.      Teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijstheorie).
                Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori ini berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif, oleh karena itu mengikat secara tegas upaya hakim hanya tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formil tercantum dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan.[11]
                Menurut Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. [12]
                Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. [13]
                Sistem pembuktian menurut undang-undang positif atau lebih singkatnya sistem pembuktian positif adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.[14]

2.      Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (convition intime).
                Artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman Prodjohamidjojo tidak dianut dalam peradilan umum ataupun dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri.[15]
                Menurut Wirjono Prodjodikorom, sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.[16]
                Teori ini disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Hal ini dikarenakan bahwa alat bukti berupa pengakuan sendiri tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.[17]

3.      Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee).
                Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat dan memberikan keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakan alat bukti yang lain. Menurut teori sistem pembuktian ini, peranan keyakinan hakim sangat penting. Namun hakim baru dapat menghukum seorang terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian pemikiran (logika). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Alasan tersebut harus benar-benar dapat diterima oleh akal. [18]

4.      Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheori)
                Dalam sistem ini ada dua hal yang menjadi syarat yaitu wettelijk yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan negatif maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. [19]
                Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.
                Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. [20]               
                Dalam pengaturan hukum acara selanjutnya, sistem pembuktian ini mengalami perkembangan. Dalam tindak pidana tertentu misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dikenal sistem pembuktian terbalik (sifting of burden proff). Dalam pembuktian yang demikian, penuntut umum tidak lagi diwajibkan untuk membuktikan dakwaannya melainkan dibebankan kepada terdakwa bahwa tindak pidana yang dituduhkan kepadanya adalah tidak benar. [21]

C. Kekuatan Pembuktian                                      
      1.    Keterangan Saksi
                      Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh Hakim. Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dikatakan dalam menilai keterangan saksi, Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni :
a.       Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.
b.      Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
c.       Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tertentu.
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.

         Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut, maka setiap saksi harus dinilai mengenai cara hidup serta sesuatu yang pada umumnya dapat berpengaruh pada cara hidup dan kesusilaan. Seperti adat istiadat, martabat, kebiasaan, pergaulan dan lain-lain, dapatlah dibayangkan hal itu tidka mudah dilaksanakan. Oleh karena itu dalam hal ini diberikan kebebasan kepada Hakim untuk memberi penilaiannya. Keterangan saksi yang dinyatakan dimuka sidang harus mengenai apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, ia dengar dengan telinganya sendiri, ia rasakan dengan perasaannya sendiri, ia alami dengan panca inderanya sendiri, adalah keterangan saksi sebagian dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP.
         Sedangkan keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga (orang lain), misalnya pihak ketiga menceritakan tentang suatu kejadian, maka kesaksian demikian disebut testimonium de auditu. Keterangan saksi yang demikian tidak dapat diartikan sebagai saksi, menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, tetapi dapat dianggap sebagai tambahan alat bukti, asal dipenuhi Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
         Dalam setiap kesaksian harus disebutkan alasan saksi mengapa memberikan keterangan ini, atau dengan kata lain segala sebab tentang pengetahuan saksi. Jadi saksi harus memberikan keterangan tentang sebab musababnya, tentang suatu kasus yang sedang diperiksa. Suatu keterangan saksi tanpa disertai alasan sebab musababnya atau alasan pengetahuannya, harus dianggap sebagai alat bukti kurang sempurna (Pasal 185 ayat (6) huruf c KUHAP).
         Kemudian ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP, bahwa pendapat atau rekaan (rekayasa) yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Jadi rekayasa pendapat dari hasil akal (ratio concludendi) tidak dianggap sebagai keterangan saksi.
         Dalam memberikan keterangan saksi diharuskan bersumpah atau berjanji menurut agama atau kepercayaan masing-masing, sehingga memiliki nilai kesaksian sebagai alat bukti. Apabila keterangan saksi tidak disertai dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu sesuai dengan satu yang lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat 7) KUHAP.
         Akhirnya, Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi belum mencukupi minimum alat bukti, dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup (Pasal 185 ayat 2) KUHAP. Artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh Hakim. Ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3) KUHAP.
         Sering terjadi dalam praktek, suatu peristiwa dibutuhkan beberapa orang saksi dalam arti bahwa seorang saksi dengan saksi lain pengetahuannya berbeda atau seorang saksi hanya mengetahui fase dari keseluruhan kejadian, hingga perlu adanya beberapa saksi untuk didengar keterangannya. Jadi penilaian terhadap beberapa saksi itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain tentang berbagai peristiwa sehingga untuk membuktikan suatu peristiwa diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim.


      2.    Keterangan Ahli
         Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, diberi pengertian umum tentang keterangan ahli yang menyebutkan bahwa keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 KUHAP menyebutkan pengertian keterangan ahli dalam proses permeriksaan sidang yaitu apa yang dinyatakan oleh seorang ahli dalam sidang.
         Dari keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, Hakim dapat minta bantuan seorang ahli, dalam praktek sering disebut sebagai saksi ahli (expertis, deskundigen). Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan objektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan Hakim sendiri dalam suatu hal. Sebagai asas dalam peradilan, Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang yang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang tidak mengaturnya. Karena itu hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu hal yang menyangkut perkara yang ditanganinya.
         Mengenai saksi ahli, diatur dalam Pasal 160 ayat (1) KUHAP yang menetapkan bilamana pengadilan menganggap perlu, seorang ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu selesai memberikan keterangan, dan dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP ditentukan saksi ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah tetapi hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
         Mengenai siapa atau apa yang disebut sebagai ahli tidak diberi penjelasan oleh KUHAP, sehingga dengan demikian tentang ahli atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan dan keahliannya yang khusus tetapi ditentukan oleh karena panggilan pengadilan yang wajib dipenuhi. Dalam praktek di negara kita, pendidikan formal yang menjadi ukurannya, seharusnya perlu ditambahkan syarat pengalaman dalam salah satu bidang.

      3.    Alat Bukti Surat
         Menurut Pitlo, surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini di atas kertas, karton kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari huruf cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri, yang tidak termasuk dalam kata surat adalah foto dan peta, barang-barang ini tidak memuat tanda bacaan. [22] Bandingkan dengan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
         Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibagi dalam dua golongan yaitu akte dan surat-surat lain bukan akte. Sedangkan akte dapat dibagi dalam dua : akte otentik dan akte dibawah tangan. Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja untuk pembuktian. Keharusan tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai akte dari Pasal 1869 KUHPdt.
         Akte otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat akte itu dibuat (Pasal 1868 KUHPdt). Akte otentik yaitu suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang. Sedangkan Akte dibawah tangan ialah akte yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh pihak-pihak tanpa bantuan dari pegawai umum yang berwenang untuk itu (Pasal 1874 KUHPdt).
         Surat sebagai alat bukti disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP dan diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yaitu :
a.       Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat Umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b.      Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.
c.       Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi daripadanya.
d.      Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.                                     

      4.    Petunjuk
                      Pengertian petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Sedangkan ayat (2), perbuatan, kejadian atau keadaan itu hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi, b. Surat, c. Keterangan terdakwa. Menurut Wiryono Prodjodikoro, apa yang disebut petunjuk sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. [23]

      5.    Keterangan Terdakwa
                      Keterangan terdawa sebagai alat bukti disebut dalam Pasal 184 huruf e KUHAP dan juga disebut dalam Pasal 188 KUHAP, tentang kadar keterangan terdakwa adalah sama dengan keterangan tersangka di muka penyidik (Pasal 52 Jo Pasal 117 KUHAP), artinya terdakwa memberikan keterangan secara bebas. Keterangan terdakwa dalam dalam Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP adalah apa yang dinyatakan oleh terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau alami sendiri. Selain itu, keterangan terdakwa dapat berisi pembenaran seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebut dalam surat dakwaan, dan penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan.
                      Menurut Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
                      Pasal 189 ayat (3) KUHAP memberi penegasan bahwa keterangan terdakwa di muka sidang hanya merupakan bukti bagi diri sendiri, dan tidak bagi kawan terdakwa.  Pasal 189 ayat (4) KUHAP menjelaskan bahwa keterangan dari terdawa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.  
                      Pasal 52 KUHAP menjelaskan bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim. Pengertian kebebasan memberi keterangan dalam penjelasan pasal demi pasal adalah supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.                       
             
D. Tindak Pidana Korupsi
                Pada mulanya pemahaman korupsi mulai berkembang di barat (permulaan abad ke-19, yaitu setelah adanya revolusi Perancis, Inggris, dan Amerika) ketika prinsip pemisahan antara keuangan umum/negara dan keuangan pribadi mulai diterapkan. [24]
                Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus, yang berarti perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian dan kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[25] Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. [26]
                Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. [27]
                Dalam Kamus Hukum menuturkan bahwa perkataan korup berarti busuk; rusak; busuk; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang / barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Korupsi dalam kamus tersebut diartikan penyelewengan uang perusahaan atau sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. [28]
                     Menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan Corruption, yang berarti kerusakan. Di samping itu, perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan. [29]
                     Definisi Yuridis dari Tindak Pidana Korupsi adalah Tindak Pidana Korupsi yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang, yang memberi batas-batas dalam pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
                Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sistematika Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka ruang lingkup tindak pidana korupsi yang akan diberantas terdiri dari dua kelompok tindak pidana, yaitu:
                Ke-1: Kelompok Tindak Pidana (TP) dalam Bab II yang berjudul ”Tindak Pidana Korupsi”…, yaitu delik-delik yang langsung berhubungan dengan perbuatan melakukan atau menunjang terjadinya korupsi (diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16); dan

             Ke-2: Kelompok Tindak Pidana (TP) dalam Bab III yang berjudul “Tindak Pidana Lain yang           Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi”…, yaitu delik-delik yang berhubungan dengan proses penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (dilakukan oleh orang-orang yang menghalangi proses, si pengadu, saksi, dan aparat/pejabat yang menangani perkara korupsi). Tindak Pidana (TP) ini diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24. [30]

                     Dari berbagai definisi korupsi di atas, sebagai pedoman dalam penulisan ini korupsi diartikan dalam pengertian yuridis Tindak Pidana Korupsi yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang, yang memberi batas-batas dalam pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  

BAB III
PEMBAHASAN


   Telah diakui bahwa korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau extra ordinary crime, sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai beyond the law karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic), baik birokratik ekonomi maupun pemerintah. Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan, ini akan sangat sulit pembuktiannya. Selain itu kehendak adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang mungkin melibatkan para birokrasi tersebut.
   Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu extra ordinary crime yang sulit pembuktiannya, maka sebagian besar kalangan (akademisi dan praktisi) berpendapat bahwa penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula yaitu melalui pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam hukum pidana formil ini tetap menempatkan perangkat Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini diletakan pada terdakwa.
   Istilah sistem pembuktian terbalik lebih dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Menurut Andi Hamzah, istilah ini sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering Van bet Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakan kepada salah satu pihak, yang universalitais terletak pada Penuntut Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang sangan mendesak beban pembuktian itu diletakan  tidak lagi pada Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai pembalikan beban pembuktian yang bagi masyarakat awam bukan hukum cukup dikenal dengan istilah sistem pembuktian terbalik. [31]
         Pendapat Andi Hamzah ini sungguh dapat dibenarkan, karena tanpa meletakan bunyi kata beban, maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa, sehingga bisa saja ditafsirkan secara harfiah yang hanya melihat pergeseran tata urutan alat bukti saja. Namun demikian, terlepas adanya polemik tersebut, publik cukup mengenal istilah pembuktian terbalik sebagai bagian dari proses terobosan hukum dalam kerangka mempermudah pembuktian suatu perkara korupsi.[32]
         Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal. Dalam hukum pidana formil, baik sistem continental maupun anglo saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajiban kepada Jaksa Penuntut Umum, hanya saja dalam certain cases diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal sebagai Reversal of Burden Proof (Omkering Van Bewijslast), itupun tidak dapat dilakukan secara overall, namun memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan destruktif terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa. [33]
         Sebelum memasuki pembahasan substansi pembahasan ini perlu dilakukan suatu klarifikasi mengenai makna dari : a. Perbedaan antara Shifting of Burden Proof dan Reversal of Burden Proof, b. Extra ordinary terhadap kejahatan korupsi dan penanganannya memerlukan perangkat extra ordinary pula. Makna Shifting of Burden Proof adalah suatu pergesaran beban pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Menurut Oemar Seno Adji, pada periode undang-undang ini belum terjadi suatu pembalika beban pembuktian karena asas ini potensial bertentangan dan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia, khususnya perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak terdakwa. Beban pembuktian dalam periode ini tetap diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum.
         Ide untuk memberlakukan asas pembalikan beban pembuktian secara total dan absolute telah tidak diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan-alasan di atas. Karenanya meskipun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terdapat suatu perumusan bahwa terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan terjadi tindak pidana korupsi tetap berada ditangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran (Shifting) bukan suatu pembalikan (Reversal) beban pembuktian, begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
         Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu pergeseran saja bukan pembalikan beban pembuktian, sehingga istilah yang populer pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pembuktian terbalik adalah sistem pembuktian beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang. Terbatas, karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absulute terhadap semua delik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sedangkan berimbang artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.  Karenanya banyak yang berpendapat bahwa implementasian asas pembalikan beban pembuktian pada kedua produk perundang-undangan ini hanyalah gerakan simbilis yang tidak memiliki daya represi terhadap pemberantasan korupsi.[34]
         Alasan utama mengajukan asas ini adalah bahwa tindak pidana korupsi sangat sulit pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit, juga tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para profesional yang memiliki edukasi yang akseptabel bagi kemungkinan dilakukan kejahatan tersebut. Selain itu, integritas, kapabilitas dan aktivitas pelaku pada umumnya sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi ini, artinya pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi ini.[35]
         Meningat khususnya peraturan perundang-undangan ini (lex specialis) maka penanganan tindak pidana korupsi inipun harus bersifat khusus. Kekhususan penanganan ini yaitu melalui perubahan sistem pembuktian yang semula beban pembuktian diletakan kepada Jaksa Penuntut Umum beralih kepada terdakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah perbuatan melawan hukum (korupsi).
         Dengan meletakan beban pembuktian kepada terdakwa, maka asas yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini pun beralih dari presumption of innocence (praduga tidak bersalah) menjadi preseumption of corruption (praduga korupsi) atau presumption of guilt (praduga bersalah). Karena itu sering dikatakan bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dapat dibayangkan seorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi justru harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan korupsi. Sehingga berdasarkan penelitian akademis dan praktis, maka kehendak diberlakukannya asas ini tidak dalam konteks total dan absolut, tetapi pendekatan komparatif negara yang memberlakukan asas ini.[36]
         Sistem pembalikan beban pembuktian ini tidak pernah ada yang bersifat absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatas, yaitu terhadap delik yang berkenaan dengan gratification (pemberian) yang berkaitan dengan suap (bribery) sebagai hasil studi komparatif dari negara Anglo-saxon misalnya Malaysia maupun Singapura, sebagai cikal bakal sistem pembalikan beban pembuktian tetap mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang meliputi sistem pembalikan beban pembuktian ini.
         Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti terbatas atau khusus dari implementasi sistem pembalikan beban pembuktian di Indonesia, adalah : [37]
1.   Sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik gratification (pemberian) yang berkaitan dengan bribery (suap), dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
2.       Sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap perampasan dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Apabila terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan salah satu dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya, terdakwa wajib membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
3.       Sistem pembalikan beban pembuktian terbatas penerapan asas lex temporisnya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara retro-aktif (berlaku surut) karena potensial terjadinya pelanggaran HAM, pelanggaran terhadap asas legalitas.
4.       Sistem pembalikan beban pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas Daderstrafrecht. Dalam arti memperhatikan keseimbangan dan kepentingan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dengan tidak melanggar hak-hak prinsipil dari pelaku.
Dari penjelasan tersebut di atas, bahwa sistem pembalikan beban pembuktian diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 delik perbuatan saja, yaitu :
         1.    Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Penyuapan
                  Dalam Pasal 12A yang diadopsi dari sistem Anglo-saxon, memiliki sifat khusus, yakni delik mengenai gratification (pemberian) yang berkaitan dengan bribery (penyuapan). Pemberian ini ditujukan kepada pegawai negeri (dalam arti luas) dan penyelenggaran Negara yang memiliki kekuasaan yang melekat pada jabatannya tersebut dan telah melakukan pekerjaan bertentangan dengan kewajibannya. Suatu pemberian dianggap suap sampai dibuktikan bukan suap oleh penerima pemberian tersebut (berkaitan dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP).
                   Adapun bunyi ketentuan Pasal 12A ayat (1), sebagai berikut :
                   Setiap pemberian kepada pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2     Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 atau kepada penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, dianggap pemberian suap sampai dibuktikan sebaliknya oleh penerima pemberian tersebut.

                   Menurut penjelasan pasal ini, yang dimaksud dengan pemberian diartikan secara luas, antara lain meliputi berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian sebagaimana ditentukan di dalam undang-undang ini adalah pemberian yang diterima di dalam atau diluar negeri baik dilakukan secara elektronik maupun tanpa menggunakan alat elektronik. Pemberian ini menurut penjelasan undang-undang ini, selalu berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya baik sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, dibuktikan dengan pembalikan beban pembuktian.
                   Menurut ayat (2) disebutkan bahwa pidana yang berlaku bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut adalah pidana yang tercantum pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 419 Jo Pasal 420 KUHP, kecuali apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian tersebut melaporkan pemberian tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum penyidikan dimulai dan dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal diterimanya pemberian tersebut (ayat 3). Komisi Pemberantasan Korupsi inilah yang akan menentukan pemberian tersebut dapat dimiliki oleh penerima ataukah dirampas untuk negara (ayat 4). Sedangkan bagi setiap pemberian dibawah Rp 10.000.000,- tetap menjadi kewajiban Jaksa untuk membuktikan bahwa pemberian itu sebagai suap (ayat 5).
                   Adapun bunyi ketentuan Pasal 12A ayat (2) :
               Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian             sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah pidana yang tercantum dalam Pasal 12 undang-undang ini yang hanya mengacu pada Pasal 419 atau Pasal 420 KUHPidana.

                   Pasal 12 ayat (3) :
                 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku jika penerima pemberian     melaporkan pemberian yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum penyidikan dimulai dan dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal pemberian tersebut diterima.

                   Pasal 12 ayat (4) :
                   Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menentukan pemberian tersebut dapat dimiliki    oleh penerima atau diserahkan kepada Negara.
  
                   Pasal 12 ayat (5) :
                  Bagi pemberian yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian pemberian tersebut bukan merupakan suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 undang-undang ini yang hanya mengacu pada Pasal 419 atau Pasal 420 KUHPidana, dilakukan oleh Penuntut Umum.

                   Dari kelima ayat Pasal 12A tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 12 ayat (1) itu belumlah menjadi delik (tindak pidana) selama si penerima (pegawai negeri atau penyelenggara negara) melaporkan pemberian tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila si penerima tidak melaporkan pemberian tersebut, maka terhadap yang bersangkutan dikenakan (dugaan) tindak pidana korupsi (delik) berdasarkan Pasal 419 (pegawai negeri) Jo Pasal 420 (Hakim) KUHP yang telah diintrodusirkan ke dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan bagi si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukanlah korupsi (suap). Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap : 1. menerima hadiah atau janji, 2. berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan, 3, bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya.
                   Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum.

         2.   Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Perampasan Harta Benda Terdakwa
                   Sistem pembalikan beban pembuktian diberlakukan terhadap perampasan harta benda Terdakwa (Pasal 38A), artinya Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 wajib membuktikan harta benda yang diperoleh sesudah tindak pidana korupsi yang didakwakan bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan harta benda tersebut diajukan Penuntut Umum saat membacakan tuntutan (requisitoir) pada perkara pokok.
                   Masalah perampasan berlaku untuk semua delik tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, artinya penerapan asas pembalikan beban pembuktian haruslah ada proses hukum yang mendahuluinya terhadap seseorang, sedangkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 tetap memakai pembuktian biasa (Penuntut Umum yang membuktikan).
                   Jadi sistem pembalikan beban pembuktian sama sekali tidak diterapkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, artinya kewajiban pembuktian atau sistem pembuktian tentang ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Pasal 2 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tetap ada pada Jaksa Penuntut Umum (Pasal 37A ayat 3), hanya saja apabila Jaksa Penuntut Umum melalui requisitoir (tuntutan) menganggap Terdakwa telah terbukti melanggar salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dan harta benda Terdakwa dikenakan perampasan, maka perampasan terhadap harta benda Terdakwa itulah yang wajib dibuktikan secara terbalik terhadap perolehan harta benda Terdakwa hanyalah terjadi dalam proses di pengadilan, bukan saat proses penyidikan maupun penuntutan. Hal ini bertujuan untuk mengakomodir masukan masyarakat yang mengkhawatirkan terjadinya korupsi gaya baru (pemerasan dan penyuapan) apabila beban pembuktian diterapkan pada saat proses penyidikan dan penuntutan yang sifatnya tidak transparantif tersebut.
      

BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
             Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana di atur dalam Pasal 37A dan 38A, bahwa penerapan Pasal 37A hanya dapat dipergunakan di dalam persidangan perkara korupsi bagi mereka yang diduga melakukan delik gratifikasi ataupun suap (khusus pegawai negeri dalam arti luas atau penyelenggara negara) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Tindak pidana ini baik gratifikasi maupun suap pendeteksiannya selain tertangkap tangan, kecuali gratifikasi hanya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yakni melalui mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sedangkan Pasal 38A, penerapannya hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perampasan harta benda Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 sampai dengan 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tuntutan perampasan harta benda diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan requisitoir (tuntutan) dalam perkara pokoknya dan hal ini bisa dilakukan penyitaan terhadap harta benda milik Terdakwa yang diperoleh setelah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan atau patut diduga bahwa harta benda yang dimiliki Terdakwa adalah harta benda yang diperolehnya dari kejahatan korupsi, sehingga Terdakwa dibebankan untuk membuktikan bahwa harta benda yang disita tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi.
  
B. Saran-Saran
             Berdasarkan pembahasan sebagaimana yang telah disimpulkan di atas, maka disarankan :
1.  Agar pengaturan pembalikan beban pembuktian suatu perkara korupsi dapat diterapkan secara efektif, maka sudah saatnya melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktian ke arah asas praduga bersalah (presemption of guilt) dengan merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 yaitu konsep HAM Indonesia sehingga tetap melindungi kepentingan hak-hak individu.
2.   Agar pelaksanaan sistem pelaporan dalam bentuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat dilakukan secara intensif dan tegas, sehingga memonitor terjadinya pidana suap atau gratifikasi dengan berpedoman kepada Pasal 5 dan 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).



DAFTAR  PUSTAKA

Buku-Buku  
      Andi Hamzah, Perkembangan Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
                            , Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
                            , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.
      Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan   Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
      Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006.
      A.S Hormby, The News Webster International Dictionary, Oxford,1980.
      Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
      Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
      Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998.
      Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
      Ilham Gunawan, Postur Korupsi di Indonesia, Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya, dan Politis, Angkasa, Bandung, 1990.
      M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
      Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007.
      Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
                                , Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnyaparamita, Jakarta, 1988.

 
      Moh. Askin dan Suhandi Cahaya, Hukum Acara Di Luar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011.
      Pitlo, Bewijs en Verjaring Naar het nederlands Bugerlijk Wetboek, Wetbook, Nederlands, 1968.
      Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
      Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.
      Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
      Wirjono Prodjodikoro, Pembuktian Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1995.

Peraturan Perundang-undangan   
      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
     
Makalah
      Andi Hamzah, Ide yang melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian, disampaikan pada acara Seminar Nasional Debat Publik tentang Pembalikan Beban Pembuktian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta tanggal 11 Juli 2001.
     


[1] A.S Hormby, The News Webster International Dictionary, (Oxford : 1980), hal 877.
[2] Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan   Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal 25.
[3] Poerwadamita dikutip oleh Moh, Askin dan Suhandi Cahaya, Hukum Acara diluar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011. hal 21.
[4] M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan                 Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 273.
[5] Moh, Askin dan Suhandi Cahaya, Hukum Acara diluar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011. hal 21.
[6] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998. hal 133.
[7] M.Yahya Harahap, op cit, hal 793.
[8] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara    Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 11.
[9] M.Yahya Harahap, op cit, hal 274.
[10] Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnyaparamita, Jakarta, 1988, hal 133
[11] Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakata, 1984, hal 38
[12] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal 259
[13] Ibid, hal 278.
[14] Hari Sasangka dan Lily Rosita, op cit, hal 16.
[15] Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakata, 1983, hal 12
[16] Wirjono Prodjodikoro, Pembuktian Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1995, hal 72
[17] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, op cit, hal 20
[18] M.Yahya Harahap, op cit, hal 277.
[19] Martiman Prodjohamidjojo, op  cit, hal 14
[20] M.Yahya Harahap, op cit, hal 278-279.
[21] Moh, Askin dan Suhandi Cahaya, op cit. hal 23.
[22] Pitlo, Bewijs en Verjaring Naar het nederlands Bugerlijk Wetboek, Nederlands : Wetbook, 1968, hal 51
[23] Wirjono Prodjodikoro, op cit hal 78
[24] Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006, hal. 13
[25] Ilham Gunawan, Postur Korupsi di Indonesia, Tinjauan Yuridis, Sosiologis, budaya, dan Politis,, Angkasa, Bandung, 1990), hal. 8.
[26] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 4
[27] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka: Jakarta, 2001, hal. 597
[28] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 221
[29] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 115.
[30] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 72-73.
[31] Andi Hamzah, Ide yang melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian, disampaikan pada acara Seminar Nasional Debat Publik tentang Pembalikan Beban Pembuktian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta tanggal 11 Juli 2001, hal 24.
[32] Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal 328
[33] Ibid, hal 329
[34] Ibid, hal 330
[35] Ibid, hal 329
[36] Andi Hamzah, Perkembangan Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 31
[37] Andi Hamzah, Ide yang melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian, op cit, hal 26.

1 komentar:

  1. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    BalasHapus